Termasuk jika subsidi itu dicabut oleh Presiden Jokowi yang secara logika itu masuk akal jika aliran dana dari pencabutan subsidi ini betul-betul untuk infrastruktur. Karena, ketika harga minyak dunia jatuh, yang harus dilakukan adalah membeli minyak sebanyak mungkin dan untuk ini Presiden sudah melakukan gerak cepat dengan instruksi.
Masalah kemudian muncul, mau ditaruh di mana?
Solusinya: storage. Inilah mengapa Pertamina menggenjot banyak pembangunan fasilitas penyimpangan (storage), seperti yang sedang berjalan di Pulau Sambu dan Pulau Udang, untuk memperbesar jarak simpan dari 15 hari menjadi 30 hari, bahkan 2 bulan.
Pandangan yang berseberangan dengan Menko Kemaritiman, padahal kita selalu direpotkan dengan biaya distribusi migas yang membuat harga BBM kita selalu di atas Malaysia, Indonesia disuruh sewa storage di luar negeri, untuk jangka pendek oke, untung jangka panjang? Mengerikan.
Meskipun butuh dana hingga 30 triliun, tapi inilah infrastruktur. Storage pun infrastruktur. Bukan cuma jalan raya atau rel kereta api. Justru ketahanan energi jauh lebih penting daripada kereta api cepat Jakarta-Bandung yang cuma berguna untuk plesiran.
Jadi, penurunan harga BBM 500 perak pada awal bulan lalu sejatinya hanya mengikuti fluktuasi meskipun dampaknya tidak terlalu besar tapi arahnya sudah benar, hanya bilangannya yang masih dipertanyakan. Justru yang dinanti ialah ketika storage baru itu sudah jadi, sudah efisien dan konsep “simpan 30 hari” itu tercapai, apakah pemerintah berani menurunkan harga BBM di bawah si tetangga Malaysia? Itu pun kalau belum terlambat, storage belum jadi, eh harga minyak naik lagi... Apes deh
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H