Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Blunder Yusron dan Lunturnya Primordialisme

2 April 2016   15:50 Diperbarui: 3 April 2016   13:22 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Courtesy: www.sahabatkulitsehat.blogspot.com"][/caption]Ada dua surat dari masyarakat di media yang patut di perhitungkan isinya belakangan ini. Pertama adalah surat terbuka dari Sdr Naftalia dan yang kedua dari PPI Jepang. Kedua surat yang dikemas dalam bentuk Surat Terbuka ini menunjuk hal yang sama, yaitu tentang twitter Yusron Ihza Mahendra, seorang Dubes Indonesia Jepang yang dinilai penuh muatan SARA.

Tidak perlu meng-capture lagi apa isi twitternya karena pasti semua orang sudah tahu. Dan Yusron bukanlah inisiator twitter tersebut, melainkan Suryo Prabowo, seorang Letjen bintang tiga, tokoh militer Indonesia yang menjadi tim sukses Prabowo waktu Pilpres lalu.

Tapi siapa yang peduli dengan Suryo Prabowo? Justru Yusron lah yang menjadi bulan-bulanan media. Ada dua hal mengapa Yusron yang disorot. Pertama, karena dia Dubes aktif, kedua karena kakaknya, Yusril Ihza Mahendra saat ini lagi berpeluh keringat untuk menaiki tebing terjal bernama Pilkada DKI.

Lho, jadi Yusron enggak salah dong? Gini kawan, kalau saya ngeliat ada orang yang BAB didepan rumah saya, lalu saya bawa ke Kamtib, terus dia teriak "Bukan saya dong, itu sebelum saya ada yang BAB disitu juga". Saya tinggal jawab "Saya enggak kenal yang sebelum kamu, tapi kamu itu RT dikampung sini!, RT ya liat-liat donk kalo kebelet!".

Dari awal mula kebelet, ternyata twitter Yusron sampai juga ke kawan-kawan etnis Tionghoa di kantor saya, yang letaknya jauh sekali dari Jakarta. Nah bayangkan, dalam jarak ribuan mil hasil jempol kita bisa berpengaruh, "Ini maksudnya apa?" Apa yang harus saya jawab?

Sebetulnya saya tidak perlu bermetafora seperti itu karena mereka (teman-teman etnis Tionghoa saya) juga tahu maksud dan tujuan twitter Yusron yang terbaca sebagai dalih strategi Pilkada. Ahok yang memang keturunan Tionghoa, non-muslim, kasar dan sebagainya adalah sasaran empuk para lawannya. Dan Yusril, yang sudah mati kutu nyaris tidak punya lagi jurus andalan hanya bisa naikan alis. Yusron sebagai adik yang baik mungkin kasihan melihat kakaknya dan melancarkan satu buah jurus pamungkas, yang ternyata..bunuh diri.

Sebagai lulusan Universitas Tsukuba Japan hingga level Phd, seharusnya, Yusron sudah paham betul bahwa vaksin atau Anti-Virus justru diciptakan dari virus itu sendiri dengan perlakuan berulang-ulang. Serangan virus, itulah yang ditunggu, dan dengan penempaan berulang-ulang dengan kesabaran, maka munculah vaksin.

Ah mungkin beliau terlalu sibuk, sehingga juga enggak sempat baca komik Dragon Ball, dimana kekuatan Boo justru bertambah dari menghisap kekuatan lawannya dan merubahnya menjadi kekuatan sendiri.

Dan parahnya, ini pula yang dialami oleh para penantang petahana di Pilgub DKI nanti. Tidak ada satupun yang belajar dari Anti-Virus dan Boo. Mereka tetap menganggap diri mereka adalah Mahapatih Gajahmada yang harus bertarung melawan Ra-Kuti, seorang Patih sombong bermulut besar. Mereka lupa, bahwa suksesnya Gajamada karena dukungan penuh dari Jayanegara, terlepas dari Jayanegara banyak pendukungnya atau tidak, atau justu ada yang membencinya diam diam seperti Ra-Tanca.

Runtuhnya Primordialisme

Ada yang berpendapat bahwa justru Ahok-lah yang menciptakan anekdot minoritas. Tapi seingat otak saya yang tak seberapa besar, ketika Jokowi naik mimbar menjadi Presiden di 2014 dan isu beralih kepada posisi Gubernur yang saat itu kosong, seperti hampir serentak Masjid di Ibukota berbicara soal pemimpin yang seagama. Kebetulan pada waktu itu, dalam sebulan saya bersholat Jumat di Masjid yang berbeda.

Istilah haram, kafir, etnis Tiongkok, sudah mulai sedikit merebak, tapi belum booming, karena waktu itu tidak ada yang bisa menjegal Ahok karena kosongnya kursi Gubernur. Jadi istilah itu hanya mampir saja. Hanya FPI yang memang tidak pernah bisa menjaga mulutnya dan terus berkoar.

Tapi dari situ sepertinya sang Gubernur, mulai mencium aroma strategi yang harum karena koaran itu. Ingat saya di acara yang ada "Mata"-nya, Ahok mulai mengeluarkan statement soal etnis dan agama dan berulang kali berucap kata-kata "kafir" yang memojokkan dirinya.

Semua tersihir. Dimulai dari kaum konservatif yang masih berurusan tetek bengek dengan primordialisme dibanding logika, dengan lantang bersuara anti Ahok, segala macam isu SARA diangkat, menjadi viral.

Sebaliknya kaum progresif yang sangat anti-primordialisme, dengan jumlah lebih banyak dan berotak lebih encer (fleksibel) justru menangkap sinyal itu masuk ke dapur pacu pikiran, mengendapkan, mengolah hingga siap menjadi anti-virus yang siap ditembakkan. Siapa peduli dengan kata "fair"?

Inilah yang kemudian justru menjadi kekuatannya, Ahok berhasil merubah virus menjadi Anti-virus yang siap disuntikkan kembali ke virus, sifatnya jelas menaklukkan. Ahok dan kaum progresif lain, sangat sadar, dengan kemampuan intelegensianya menegaskan bahwa isu primordialisme adalah isu basi. Isu SARA adalah isu yang betul-betul basi dan berbahaya.

Dan memang benar, isu primordialis adalah sarana ketakutan kaum konservatif ketika ranah kenyamanannya terganggu. Sama halnya dengan Trumph di USA dengan pernyataan rasisnya yang tak lebih dari perlindungan terhadap konsep konservatif.

Sayangnya, ini Jakarta, ibukota yang didominasi kaum progresif. Trumph pun saya yakin akan kalah jika hanya pemilihan untuk Walikota Los Angles yang pernah mengangkat Thomas Bradley yang berkulit hitam (pertama) menjadi Walikota di tahun 1973. Ahok mungkin akan sangat berat ketika harus bertarung di RI 1, bahkan mungkin gagal sebelum bertarung. Indonesia adalah primordialis, kecuali Jakarta.

Pertimbangan ini berhasil, ketika berita-berita yang berkaitan dengan isu SARA masuk ke media dan menjadi headline, maka lihatlah kolom komentar di bawahnya, mungkin 70% lebih yang mengecam isu ini, belum ditambah yang di media sosial. Artinya jelas, kaum progresif lebih banyak dan primordialisme semakin luntur.

Twit Berbahaya

Bagaimana tidak berbahaya, untuk hal ini saya sampai menonton kembali film "Hotel Rwanda" yang berisi pembantaian suku Hutu terhadap Tutsi, padahal sama-sama kulit hitam. masih segar ingatan pembantaian etnis Tionghoa pada 1953 dan 1998 di Jakarta. Lalu hal-hal tersebut di twit oleh seorang tokoh militer dan disambung secara tidak cerdas oleh seorang Dubes? Apa-apaan?

Kami sekeluarga hidup bertetangga dengan keluarga keturunan Tionghoa, yang sangat baik, hampir setiap bulan mengirimi kami ayam bakar bumbu bali, atau membuat opor ketika lebaran tanpa kami minta. Belum lagi dengan rekan kerja yang dari dulu tak pernah putus berinteraksi. Entah pekerjaan, bisnis dan perkawanan. Dan itu ingin di hancurkan dengan sekelumit kata "hati-hati kalau ada yang mau membantai"?

Rupanya sang tokoh TNI dan Dubes ini tidak sadar bahwa bagaimana traumanya rakyat Indonesia terhadap pembantaian pada 1998 yang secara naluri membentuk anti tesis terhadap SARA. Dan ketika kemudian isu ini dilempar lagi, mereka hanya membakar diri mereka sendiri. Sialnya, isu ini dilempar sebagai bagian strategi politik pilkada.

Lebay oh lebay..

Terus terang, para penantang petahana sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa dijual ke masyarakat, padahal masih 2017 tetapi energi sudah habis sekarang. Beragam artikel tentang cara mengalahkan Ahok muncul, bahkan mungkin bisa dibuat buku 1001 cara mengalahkan bla bla bla, tapi faktanya belum ada.

Hanya Sandiaga Uno yang fokus pada jualannya, tentunya karena dia seorang pengusaha yang punya 'kelas', ketimbang menjatuhkan lawan, lebih baik perbaiki produk sendiri, itu prinsipnya.

Saya pun mungkin tidak memilih Ahok karena prinsip, tetapi mewakili kaum progresif hanya menghimbau bahwa isu-isu SARA adalah betul betul basi. Tidak ada satupun yang ingin kejadian 1998 terulang kecuali sebuah kejadian besar yang menuntut seorang Presiden yang tak tersentuh untuk lengser.

Dan amatlah berlebihan jika seorang Ahok disamakan dengan Soeharto.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun