Tapi dari situ sepertinya sang Gubernur, mulai mencium aroma strategi yang harum karena koaran itu. Ingat saya di acara yang ada "Mata"-nya, Ahok mulai mengeluarkan statement soal etnis dan agama dan berulang kali berucap kata-kata "kafir" yang memojokkan dirinya.
Semua tersihir. Dimulai dari kaum konservatif yang masih berurusan tetek bengek dengan primordialisme dibanding logika, dengan lantang bersuara anti Ahok, segala macam isu SARA diangkat, menjadi viral.
Sebaliknya kaum progresif yang sangat anti-primordialisme, dengan jumlah lebih banyak dan berotak lebih encer (fleksibel) justru menangkap sinyal itu masuk ke dapur pacu pikiran, mengendapkan, mengolah hingga siap menjadi anti-virus yang siap ditembakkan. Siapa peduli dengan kata "fair"?
Inilah yang kemudian justru menjadi kekuatannya, Ahok berhasil merubah virus menjadi Anti-virus yang siap disuntikkan kembali ke virus, sifatnya jelas menaklukkan. Ahok dan kaum progresif lain, sangat sadar, dengan kemampuan intelegensianya menegaskan bahwa isu primordialisme adalah isu basi. Isu SARA adalah isu yang betul-betul basi dan berbahaya.
Dan memang benar, isu primordialis adalah sarana ketakutan kaum konservatif ketika ranah kenyamanannya terganggu. Sama halnya dengan Trumph di USA dengan pernyataan rasisnya yang tak lebih dari perlindungan terhadap konsep konservatif.
Sayangnya, ini Jakarta, ibukota yang didominasi kaum progresif. Trumph pun saya yakin akan kalah jika hanya pemilihan untuk Walikota Los Angles yang pernah mengangkat Thomas Bradley yang berkulit hitam (pertama) menjadi Walikota di tahun 1973. Ahok mungkin akan sangat berat ketika harus bertarung di RI 1, bahkan mungkin gagal sebelum bertarung. Indonesia adalah primordialis, kecuali Jakarta.
Pertimbangan ini berhasil, ketika berita-berita yang berkaitan dengan isu SARA masuk ke media dan menjadi headline, maka lihatlah kolom komentar di bawahnya, mungkin 70% lebih yang mengecam isu ini, belum ditambah yang di media sosial. Artinya jelas, kaum progresif lebih banyak dan primordialisme semakin luntur.
Twit Berbahaya
Bagaimana tidak berbahaya, untuk hal ini saya sampai menonton kembali film "Hotel Rwanda" yang berisi pembantaian suku Hutu terhadap Tutsi, padahal sama-sama kulit hitam. masih segar ingatan pembantaian etnis Tionghoa pada 1953 dan 1998 di Jakarta. Lalu hal-hal tersebut di twit oleh seorang tokoh militer dan disambung secara tidak cerdas oleh seorang Dubes? Apa-apaan?
Kami sekeluarga hidup bertetangga dengan keluarga keturunan Tionghoa, yang sangat baik, hampir setiap bulan mengirimi kami ayam bakar bumbu bali, atau membuat opor ketika lebaran tanpa kami minta. Belum lagi dengan rekan kerja yang dari dulu tak pernah putus berinteraksi. Entah pekerjaan, bisnis dan perkawanan. Dan itu ingin di hancurkan dengan sekelumit kata "hati-hati kalau ada yang mau membantai"?
Rupanya sang tokoh TNI dan Dubes ini tidak sadar bahwa bagaimana traumanya rakyat Indonesia terhadap pembantaian pada 1998 yang secara naluri membentuk anti tesis terhadap SARA. Dan ketika kemudian isu ini dilempar lagi, mereka hanya membakar diri mereka sendiri. Sialnya, isu ini dilempar sebagai bagian strategi politik pilkada.
Lebay oh lebay..
Terus terang, para penantang petahana sudah tidak punya apa-apa lagi yang bisa dijual ke masyarakat, padahal masih 2017 tetapi energi sudah habis sekarang. Beragam artikel tentang cara mengalahkan Ahok muncul, bahkan mungkin bisa dibuat buku 1001 cara mengalahkan bla bla bla, tapi faktanya belum ada.