Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Mundurnya Maroef Sjamsoeddin dan "Manufacturing Un-Hope"

19 Januari 2016   03:24 Diperbarui: 19 Januari 2016   16:49 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Courtesy: https://dreamindonesia.files.wordpress.com"][/caption]Membaca artikel seorang mantan Menteri kemarin pagi sungguh menarik, bahkan sangat menarik sebab Pak mantan Menteri yang biasanya menuliskan artikel yang berbau optimisme, menggebu-gebu dan berisikan 'hope', kemarin pagi terasa berbeda, lebih 'rasional' kalau tidak mau menyebut pesimis.

Ini berkaitan dengan lika-liku Freeport yang disebut serba sulit dan serba berat, akibat penawaran divestasi saham sebesar 20 persen atau sekitar 1.7 milyar USD setara dengan kurang lebih 20 Trilyun rupiah. Apakah harga sebesar itu pantas untuk membeli Freeport yang saat ini masih dalam kondisi merugi. Merugi karena harga komoditas dunia sedang turun plus kesalahan investasi Freeport di Plains Company.

Ketika berbicara Freeport, pikiran kita secara langsung teringat pada Papua. Pulau di timur Indonesia yang disebut oleh Presiden sebagai 'Surga Indonesia'. Surga yang indah dan kaya.

Namun kenyataannya, berbagai tulisan yang bisa kita temui tentang Papua menulis tentang keprihatinan, foto anak yang kurus kering kurang gizi dan orang berkoteka yang jauh dari kesan 'berpendidikan' seperti trademark bagi Papua.

Cadangan kekayaan alam Papua yang terbukti adalah 2.27 miliar ton bijih, dengan perincian tembaga 2.2 juta ton, emas 1860 ton, perak 9600 biji perak (Wahyu Sunyoto). Dengan angka sebesar itu, di prediksi akan cukup hingga 2041. Jadi, bicara Freeport adalah bicara Papua dan amatlah sempit jika kita hanya bicara berangkat dari pertanyaan: Apakah membeli saham Freeport akan menguntungkan?

Secara jumlah saham, jika angka 10.64 persen tersebut jadi diambil alih oleh pemerintah atau BUMN, maka kepemilikan Indonesia di Freeport baru sebesar 20 persen. Untuk kapasitas sebagai pemegang saham, angka 20 persen bukanlah angka yang wah, apalagi jika ini dihubungkan dengan kondisi Freeport yang lagi sakit seperti pemberitaan media New York. Lebih dari itu.

Itu jika hanya berpikir tentang saham, yang notabenenya berarti kepemilikan. Kepemilikan kepada siapa? tentunya kepada PT Freeport. Bukan kepemilikan terhadap isi perut bumi Papua.

Amatlah naif jika kita saat ini berpikir soal untung rugi pemerintah dalam membeli saham Freeport. Market Cap Freeport masih bisa disaingi oleh BNI atau bahkan Telkom yang selalu mencetak laba puluhan trilyun, ini tidaklah terlalu istimewa. Jadi kalau bicara soal untung, Indonesia masih bisa mendapat untung yang lebih besar dari sektor lain.

Tapi ada yang lain disana.

Indonesia adalah pemilik. Indonesia adalah pemilik bumi Papua dan apa yang terkandung di dalamnya harus berdasarkan UU 1945 pasal 33 (2) & (3). Itu adalah mutlak. Bumi Papua adalah investasi abadi. Ini adalah investasi bagi anak-cucu-cicit kita nanti.

Memang, disisi lain kita pun harus rasional menghitung kemampuan kita dalam menggarap lahan emas terbesar didunia tersebut. Antam, yang digadang-gadang memiliki kemampuan menggantikan masih harus bersusah payah untuk meraih untung yang stabil saat ini, namun bukan tidak mungkin untuk bisa menggarap Grasberg dan sekitarnya. Indonesia punya banyak engineer anak negeri yang berkiprah di bumi Papua dan kita harus yakin bahwa mereka mampu mengaplikasi teknologi tersebut.

Kita hanya tidak mau untuk mengeluarkan biaya yang di prediksi hingga puluhan trilyun untuk eksplorasi yang sejatinya adalah investasi. Kita masih berhitung untung rugi yang notabenenya adalah perkiraan saat ini.

Bayangkan,

Untuk emas Papua, Freeport sampai harus merogoh kocek hingga ratusan milyar USD untuk investasi, beragam kerja keras yang terbilang luar biasa selama 44 tahun, bukan hanya soal aktifitas fisik, tapi juga intelijen. Hingga mendapat izin usaha pada tahun 1966, yang entah mengapa bersamaan dengan tragedi berdarah di Indonesia.

Tak heran jika Freeport sampai harus mengangkat militer bintang dua dan mantan BIN untuk jadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, tujuannya tentu saja tak lepas dari operasi intelijen yang salah satunya mengamankan kelangsungan Freeport di Indonesia, dari sisi keamanan maupun politik.

Sayangnya, saat ini permainannya kurang cantik, muncul 'gerombolan si berat' yang mengganggu. Pemerintah yang mencium gelagat politik mulai bekerja sama dan hasilnya salah satu personil gerombolan harus turun tahta dan satunya lagi meninggalkan Indonesia.

Freeport yang selama ini 'tak tersentuh' mulai di colek, bahkan ada yang mulai membuka bajunya, mungkin saat ini hanya tinggal kutangnya yang belum terbuka. Ini tak lepas dari keinginan pemerintah sekarang untuk 'berkontribusi lebih banyak' di dalam Freeport. Salah satunya adalah tantangan dari Komisi VII DPR Bowo Sidil Pangarso yang secara terang-terangan meminta Maroef Syamsoeddin untuk mundur jika terbukti ada intervensi Amerika yang merugikan Indonesia.

Hingga puncaknya adalah malam tadi (18/1) dimana Maroef Syamsoeddin menyatakan mundur dari jabatannya, belum ada keterangan resmi soal alasannya dan harus kita nantikan, tapi sangat menarik apakah Maroef mundur karena tantangan dari Bowo Sidil? (yang artinya Amerika memang berniat buruk terhadap Indonesia), ataukah memang ia gagal di mata Amerika karena Freeport mulai 'get naked'? Ataukah memang dia lelah?

Apapun itu, patut di apresiasi usaha pemerintah untuk divestasi saham ini meskipun belum ada arti yang signifikan apabila pemerintah mengambil porsi total 30 persen saham, justru yang ditakutkan kemudian adalah 10,64 persen ini hanya formalitas bagi-bagi jatah. Tapi setidaknya ada kemajuan dari pemerintah untuk 'berkontribusi lebih banyak'.

Kita pun jangan muluk langsung menginginkan 100 persen pengelolaan, yang artinya memutus kontrak Freeport secara langsung, banyak yang berbicara begitu, tapi perlu ditekankan karena itu tidak rasional.

Yang cukup rasional adalah Indonesia perlu persentase kepemilikan yang signifikan, meskipun bertahap. Ataupun melakukan re-negosiasi kontrak pembagian kawasan tambang sehingga Antam atau BUMN/BUMD yang lain untuk bisa menggelar kemampuan mereka. Setidaknya seperti blok Mahakam dimana Pertamina sudah berani mengambil alih kepemilikan dari Total E&P dan Inpex.

Kita perlu kebangkitan 'Manufacturing Hope', bukan 'Manufacturing Un-Hope' lalu pasrah menyerahkan begitu saja.

Soal Amerika, bukankah kita punya hashtag #KamiTidakTakut? Atau jangan-jangan sudah mulai berubah #KamiMulaiSedikitKhawatir?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun