Kita hanya tidak mau untuk mengeluarkan biaya yang di prediksi hingga puluhan trilyun untuk eksplorasi yang sejatinya adalah investasi. Kita masih berhitung untung rugi yang notabenenya adalah perkiraan saat ini.
Bayangkan,
Untuk emas Papua, Freeport sampai harus merogoh kocek hingga ratusan milyar USD untuk investasi, beragam kerja keras yang terbilang luar biasa selama 44 tahun, bukan hanya soal aktifitas fisik, tapi juga intelijen. Hingga mendapat izin usaha pada tahun 1966, yang entah mengapa bersamaan dengan tragedi berdarah di Indonesia.
Tak heran jika Freeport sampai harus mengangkat militer bintang dua dan mantan BIN untuk jadi Presiden Direktur PT Freeport Indonesia, tujuannya tentu saja tak lepas dari operasi intelijen yang salah satunya mengamankan kelangsungan Freeport di Indonesia, dari sisi keamanan maupun politik.
Sayangnya, saat ini permainannya kurang cantik, muncul 'gerombolan si berat' yang mengganggu. Pemerintah yang mencium gelagat politik mulai bekerja sama dan hasilnya salah satu personil gerombolan harus turun tahta dan satunya lagi meninggalkan Indonesia.
Freeport yang selama ini 'tak tersentuh' mulai di colek, bahkan ada yang mulai membuka bajunya, mungkin saat ini hanya tinggal kutangnya yang belum terbuka. Ini tak lepas dari keinginan pemerintah sekarang untuk 'berkontribusi lebih banyak' di dalam Freeport. Salah satunya adalah tantangan dari Komisi VII DPR Bowo Sidil Pangarso yang secara terang-terangan meminta Maroef Syamsoeddin untuk mundur jika terbukti ada intervensi Amerika yang merugikan Indonesia.
Hingga puncaknya adalah malam tadi (18/1) dimana Maroef Syamsoeddin menyatakan mundur dari jabatannya, belum ada keterangan resmi soal alasannya dan harus kita nantikan, tapi sangat menarik apakah Maroef mundur karena tantangan dari Bowo Sidil? (yang artinya Amerika memang berniat buruk terhadap Indonesia), ataukah memang ia gagal di mata Amerika karena Freeport mulai 'get naked'? Ataukah memang dia lelah?
Apapun itu, patut di apresiasi usaha pemerintah untuk divestasi saham ini meskipun belum ada arti yang signifikan apabila pemerintah mengambil porsi total 30 persen saham, justru yang ditakutkan kemudian adalah 10,64 persen ini hanya formalitas bagi-bagi jatah. Tapi setidaknya ada kemajuan dari pemerintah untuk 'berkontribusi lebih banyak'.
Kita pun jangan muluk langsung menginginkan 100 persen pengelolaan, yang artinya memutus kontrak Freeport secara langsung, banyak yang berbicara begitu, tapi perlu ditekankan karena itu tidak rasional.
Yang cukup rasional adalah Indonesia perlu persentase kepemilikan yang signifikan, meskipun bertahap. Ataupun melakukan re-negosiasi kontrak pembagian kawasan tambang sehingga Antam atau BUMN/BUMD yang lain untuk bisa menggelar kemampuan mereka. Setidaknya seperti blok Mahakam dimana Pertamina sudah berani mengambil alih kepemilikan dari Total E&P dan Inpex.
Kita perlu kebangkitan 'Manufacturing Hope', bukan 'Manufacturing Un-Hope' lalu pasrah menyerahkan begitu saja.