Mohon tunggu...
Ryo Kusumo
Ryo Kusumo Mohon Tunggu... Penulis - Profil Saya

Menulis dan Membaca http://ryokusumo.com

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Terorisme dan Fenomena Viral, Antara Optimisme dan Lecehisme

16 Januari 2016   01:48 Diperbarui: 16 Januari 2016   12:01 626
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="Courtesy: www.photo.sindonews.com"][/caption]14 January 2016.

6.54 GMT+3 / 10.52 WIB GMT+7 Informasi pertama masuk melalui WhatsApp grup yang mengabarkan bahwa terjadi bom di Sarinah, pesan masuk terus bersambung hingga 10.57 WIB masuk video amatir yang diambil dari atas gedung perkantoran yang menggambarkan situasi terkini dan terupdate terjadinya tembak menembak di depan Starbucks, video yang luar biasa. 

Pesan terus menerus masuk dalam sekejap mata, dalam hitungan detik dan informasi berkembang dengan kecepatan yang sama, membuat setiap orang yang membacanya larut dalam hegemoni teror. Belum lagi ketika muncul video live mengerikan, meledaknya bom di pos Polisi Sarinah lengkap dengan korban yang masih ada disana, tanpa sensor? jelas. Perkembangan menjadi semakin seru dan tak bisa dilewatkan.

12.28 WIB sudah beredar video baku tembak antara polisi dengan teroris. Belum selesai baku tembak di gedung Djakarta Theater, pada pukul 12.32 WIB akhirnya muncul screenshot twitter yang mengatakan bahwa hari ini (14 Januari 2016) adalah batas akhir penawaran divestasi Freeport, ya batas akhir. Tentunya si pemuda itu tidak mengecek apa yang dimaksud dengan batas akhir. Pokoknya posting dan mengarahkan pada kesimpulan, ini adalah pengalihan isu.

16.24 WIB Muncul screenshot email dari pihak US yang memperingatkan kepada warganya untuk menjauhi tempat-tempat yang dimaksud dan semua lokasinya tepat. Ini menjadi keributan di netizen bahwa USA sudah mengetahui rencana pengemboman itu, namun dibantah oleh pihak kedutaan US sendiri dengan alibi email diterima pada 7.51 AM GMT+7, artinya 11.44 WIB menurut mereka.

Selanjutnya adalah eksploitasi potongan-potongan foto si pelaku yang tergambar secara detail dari mulai persiapan, kebingungan, mulai beraksi, polantas yang ketakutan hingga tewasnya si pelaku, tentunya sang fotografer mungkin perlu mendapat Pulitzer award atas apresiasinya, karena mengambil foto dengan timing yang pas, depth of field dan fokus yang tepat dalam kondisi yang serba cepat dan tidak diprediksi. 

Menjelang malam, informasi bagai air bah, para ahli berkoar-koar, isu-isu mulai berhembus. Mulai bertebaran hashtag-hashtag #KamiTidakTakut, #WeAreNotAfraid, #KamiBerani dan sebagainya, menjadi viral dan trending topic. Hashtag yang bermakna positif, bertujuan agar kita berani dan jangan takut menghadapi teroris, Indonesia berani!.

Dalam sekejap, Indonesia dilanda optimisme yang tinggi, optimisme untuk tidak takut melawan aksi terorisme. Namun dalam sekejap pula, viral tersebut berubah menjadi meme yang melecehkan, bahkan dalam sebuah artikel jelas menggambarkan bahwa masyarakat Indonesia justru bisa melecehkan teroris, meledek dan bahkan melawan teroris meskipun dengan hashtag.

Sampai sini sepertinya harus ada pengendapan. Informasi sudah terlalu banyak, overloaded.

 

"Sang Beruang kembali ke Hutan

Setelah puas tahu dalamnya Lautan

Ikan ikan pun tertawa senang

Mengira Beruang telah usang..

..Sang Beruang pun kembali ke Hutan

Untuk membuat perahu rakitan.."

 

Mari kita bertanya, apakah kita telah aman? sehingga kita pantas untuk melecehkan para teroris yang diakui oleh para pengamat adalah teroris yang masih amatir.

Apakah kita sudah aman wahai para netizen, sehingga kita layak tertawa dan berfoto selfie didepan pos polisi yang hancur, dan sebelumnya tergeletak mayat Polisi yang kita cintai disana?

Apakah kita sudah sepenuhnya aman, untuk mengejek ledakan bom bagaikan petasan besan di Ciledug? Dan membuat satir menyedihkan tentang 'menembak' seorang wanita?

Tidak takut bukan berarti melecehkan, berani bukan berarti meremehkan. Tak satupun dari kita tahu dan paham apa yang terjadi, kita hanya mendapat berita, mengamati dan dalam sekejap mata menggerakkan jempol ke gadget untuk menyebarkan apa yang kita lihat dan kita dapat, lantas menjadi trending, yah sebegitu mudahnya viral dibentuk.

Tidak sedikit dari kita yang mengabaikan fungsi sel-sel kelabu di kepala atau untuk sejenak mengendapkan apa yang kita lihat, memberi kesempatan bagi sel-sel kelabu untuk bekerja sebelum memerintahkan syaraf di jempol untuk meneruskan pesan.

Bahkan tokoh sekaliber Sutiyoso pun harus mengakui bahwa sulit mendeteksi waktu serangan, apalagi dengan orang awam seperti kita, ya kita, kita semua, kita kebanyakan.

Kita yang tidak pernah bisa memastikan keselamatan kita sendiri walaupun hanya satu langkah.

Untuk itu kepada para bapak Polri dan TNI yang rela mengorbankan jiwa raganya demi kami yang #TidakTakut ini, mohon kiranya untuk semakin diperkuat pengamanan kepada kami, semakin diperkokoh barisan pertahanan negara ini.

Viral datang bagai tsunami dan hilang bagai buang gas. Jangan lengah sedikitpun wahai bapak Polri dan TNI atas kami yang baru sadar bahwa kami harus bersatu setelah kami sibuk menghujat satu sama lain.

Atau mungkin kami butuh Dart Vader?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun