Mohon tunggu...
RIRIN YULIANINGSIH
RIRIN YULIANINGSIH Mohon Tunggu... Relawan - S.Ds.,MM

Traveller, Volunteer, Writer !! Faculty of Art and Design DKV '12 Master of Business Management '18

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Pengabdian Masyarakat; Setumpuk Cinta di Seraya Marannu

2 Maret 2021   00:01 Diperbarui: 2 Maret 2021   01:02 1163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Delegasi Youcan Social Expedition di Labuan Bajo

Mayoritas pelancong lokal maupun mancanegara sudah tidak asing dengan Nusa Tenggara Timur atau yang biasa disingkat NTT, atau yang biasa dikenal dengan Labuan Bajo. Labuan Bajo sebelumnya adalah kelurahan sekaligus ibukota kecamatan Komodo yang juga merupakan ibukota kabupaten Manggarai Barat, NTT, yang sudah dikembangkan menjadi Kota Labuan Bajo. Wajar saja, Labuan Bajo merupakan salah satu surganya Indonesia yang menyimpan banyak sekali harta karun yang sangat menawan, berupa alamnya yang luar biasa. Bebukitan hijau yang cerah, lautnya yang biru hingga dasarnya dapat dilihat dengan mata telanjang, mutiaranya, hingga habitat Komodo yang saat ini sudah dianggap langka. Namun sayangnya, wisatawan hanya familiar dengan Pulau Padar, Pulau Komodo, Pulau Rinca, Bukit Cinta, Pink Beach, Wae Rebo, Taka Makassar, dan lain sebagainya. Padahal, ada sebuah desa di Pulau Seraya Besar yang tak kalah indahnya dengan wisata-wisata yang sudah menjadi buah bibir tersebut. Namanya Desa Seraya Marannu.

Pada tulisan kali ini, penulis ingin menceritakan secara garis besar mengenai pengalaman mengabdi di desa tersebut. Sebelumnya, penulis ingin mengenalkan dahulu sedikit mengenai pengabdian. Tidak menutup kemungkinan jika ada yang masih asing dengan istilah ‘pengabdian’. Menurut KBBI, pengabdian adalah proses, cara, perbuatan mengabdi atau mengabdikan. Orang yang mengabdi biasanya disebut relawan. Kalau kata pak Anies Baswedan (Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022), “Relawan tidak dibayar bukan karena tidak bernilai, melainkan karena tak ternilai.” Nah, kalau menurut penulis sendiri, pengabdian adalah sebuah dedikasi yang tulus dan ikhlas untuk berkontribusi nyata, aktif, dan positif, untuk siapa pun itu, entah itu orang tua, keluarga, agama, masyarakat, hingga ke jangkauan yang lebih luas dan global; yakni negeri dan bumi tercinta.

a1-jpg-603d201b8ede487f2046fe02.jpg
a1-jpg-603d201b8ede487f2046fe02.jpg
Lalu, apa manfaat mengabdi? Tentunya ada banyak sekali dampaknya, diantaranya; kita akan berkontribusi untuk memberi dampak positif bagi masyarakat, terutama bagi mereka yang tinggal di wilayah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar) Indonesia. Selain itu, dengan mengikuti pengabdian masyarakat, relasi dan koneksi kita juga akan bertambah. Kapabilitas berupa soft skill dan public speaking juga akan meningkat, belajar banyak hal dan pengalaman baru, serta lebih memupuk sifat empati dan simpati.

a10-jpg-603d217e8ede4855de10e3a2.jpg
a10-jpg-603d217e8ede4855de10e3a2.jpg
Kembali lagi ke pokok bahasan. Sebanyak 27 orang relawan dari berbagai daerah dan kampus di seluruh penjuru tanah air, mengikuti program pengabdian sosial ini pada 1 hingga 6 Februari 2021. Lebih tepatnya, kami mengikuti Youcan Social Expedition (YSE) yang diprakarsai oleh Youth Center to Act For Nation (Youcan), yang diselenggarakan di desa Seraya Marannu kec.Komodo Kab.Manggarai Barat Provinsi Nusa Tenggara Barat. Untuk mencapai desa tersebut, kami harus menempuh waktu 2,5 jam dengan menggunakan pesawat dari Jakarta hingga mendarat di Bandara Internasional Komodo. Namun, jika berangkat dari Surabaya, maka Labuan Bajo dapat ditempuh dalam waktu 1,5 jam. Lalu, bandara ke pelabuhan Labuan Bajo berjarak sekitar 2,9 km dan dapat ditempuh dalam kurun waktu 10 menit saja. Dari pelabuhan, kami menggunakan perahu nelayan milik desa atau biasa disebut long boat. Desa Seraya Marannu yang terletak sekitar 10 km di sebelah utara Kota Labuan Bajo, dapat ditempuh dalam waktu kurang lebih 1 jam perjalanan. Ombak yang lumayan besar setia menemani perjalanan kami siang itu. Namun, hamparan bebukitan hijau tak kalah hebat, membuat kami berdecak kagum akan indahnya.

Desa Seraya Marannu memiliki luas wilayah 755 km persegi dengan 619 jiwa pada tahun 2019. Data BPS tahun 2020 menunjukkan bahwa 100 persen penduduk Desa Seraya Marannu beragama Islam. Penduduk aslinya adalah suku Manggarai, Flores, Bajo, dan Saluan. Namun, saat ini sudah ada berbagai suku pendatang seperti suku Jawa, Bugis, dan Bima. Namun, terlepas dari apa pun sukunya, seluruh penduduk Desa Seraya Marannu sangatlah ramah terhadap pendatang, termasuk para relawan seperti kami. Mereka menyambut kami dengan hangat. Mulai dari anak-anak hingga lansia, melemparkan senyuman manisnya di kala berpapasan dengan kami.

a9-jpg-603d21678ede4856493acde2.jpg
a9-jpg-603d21678ede4856493acde2.jpg
Kami tinggal di rumah sebuah keluarga kecil dengan 2 orang putri yang cantik dan sangat baik. Sang Ibu selalu memasak untuk kami 3 kali sehari, sang Bapak selalu siaga memenuhi segala kebutuhan kami, dan kedua anak selalu setia menjadi tour guide lokal yang sangat baik. Mereka menemani kami mandi di sumur yang terletak di tengah hutan, menemani kami mendaki bebukitan hijau yang indah, mencari sinyal internet di pinggiran pantai, mencari kopi tumbuk yang khas di sana sebagai oleh-oleh, dan lain sebagainya. mereka sudah kami anggap sebagai bagian dari keluarga.

Singkat cerita, kami menghabiskan waktu 6 hari di Desa Seraya Marannu. Kami sebagai relawan social expedition dibagi menjadi 3 divisi yakni divisi Pendidikan, Kesehatan, dan Ekonomi Lingkungan (Ekling). Program dari divisi Pendidikan diantaranya Aku Cinta Indonesia, Merajut Mimpi Mengukir Asa, Satu Buku Berjuta Manfaat, New Normal Education (berkolaborasi dengan divisi Kesehatan), edukasi sikat gigi (berkolaborasi dengan divisi Kesehatan), lomba mewarnai, lomba cipta puisi, serta perlombaan cerdas cermat (Rangking 1). Program kerja hanya ditujukan kepada siswa SD dan SMP, karena di pulau Seraya Besar tidak ada SMA. Sehingga, mereka menempuh pendidikan SMA di Kota Labuan Bajo.

a2-jpg-603d20418ede4825c70a1112.jpg
a2-jpg-603d20418ede4825c70a1112.jpg
Divisi Kesehatan melakukan general check up kepada para lansia, penyuluhan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS), penyuluhan etika batuk, bersin, pentingnya sarapan bergizi, mencuci tangan dengan sabun, cara menyikat gigi yang benar, pentingnya menjaga kesehatan dan lingkungan, serta edukasi Covid-19 dan new normal. Sedangkan divisi Ekling melaksanakan program pembuatan video promosi desa dan video dokumentasi kegiatan YSE, mengelola limbah kayu menjadi plang menunjuk arah yang kreatif dan inovatif, serta membuat majalah dinding (mading) untuk diserahkan kepada pihak desa.

a3-603d2015d541df6cac4344d2.jpg
a3-603d2015d541df6cac4344d2.jpg
a8-jpg-603d20edd541df05d0196ec6.jpg
a8-jpg-603d20edd541df05d0196ec6.jpg
Kami menyukseskan semua program kerja dengan baik dan bersemangat, meski waktu mengabdi sangatlah singkat. Kami percaya bahwa bukanlah kuantitas yang terpenting, tetapi kualitasnya. Kami juga diberi reward oleh kepala Desa Seraya Marannu untuk berwisata ke Pulau Hatamin Coral Sanctuary yang luar biasa indah. Selain itu, antusias kepala desa dan warga juga sangat tinggi. Mereka sengaja mengadakan lomba tahunan di Pulau Seraya, yakni lomba Balap Perahu atau yang biasa disebut lomba Ketinting. Perahu yang digunakan adalah perahu milik para warga yang berprofesi sebagai nelayan. Mereka sangat bergembira ketika mengikuti lomba ini. Biasanya event ini diselenggarakan seusai Idul Fitri, namun, untuk keperluan dokumentasi video pariwisata Desa Seraya Marannu dari divisi Ekling, mereka sengaja menggelar perlombaan ini.

a5-jpg-603d20c5d541df76552d8c53.jpg
a5-jpg-603d20c5d541df76552d8c53.jpg
Selain itu, warga desa juga menggelar atraksi pencak silat atau yang biasa disebut Manca (Bahasa Bajo). Taburan gendang besar mengiringi atraksi yang dilakukan 2 orang pemuda desa, seakan saling melawan dengan properti pedang dari kayu. Mereka sengaja menggelar tradisi-tradisi tahunan ini demi kami. Oleh Karena itu, perlakuan ini membuat kami merasa terharu dan diistimewakan. Pada malam terakhir, acara perpisahan kami dengan warga desa juga dibuat sangat meriah. Indahnya liukan air unggun yang menari-nari menghiasi mata kami, anak-anak kota yang mungkin jarang sekali melihat api unggun. Sajian kue donat dan roti, serta teh dan kopi tumbuk khas Manggarai, kian memanjakan lidah kami. Alunan musik dari speaker juga makin membuat suasana malam itu pecah hingga berakhir haru biru.

a6-jpg-603d206fd541df0c2c7f7462.jpg
a6-jpg-603d206fd541df0c2c7f7462.jpg
a7-603d20d38ede48332f1e8985.jpg
a7-603d20d38ede48332f1e8985.jpg
Di akhir acara, kami mulai bersedih karena besok harus berpisah dengan warga desa. Bahkan, beberapa pemudi desa juga turut menangis karena harus berpisah dengan kami. Seorang Bapak berujar, ”Lebih baik kami meninggalkan daripada ditinggalkan.” Perpisahan memang menyakitkan, terlebih lagi, rasa nyaman sudah menyelubungi jiwa-jiwa yang asing menjadi selaras. Tetapi, kita tidak bisa memungkiri jika pertemuan sepaket dengan perpisahan. Itu adalah resiko bagi kaki-kaki yang melangkah. Terima kasih atas penerimaan yang hangat, terima kasih atas setumpuk cinta yang kami renggut dari Desa Seraya Marannu. Kan kami jaga mereka hingga ujung nyawa. Semoga nanti kami bisa kembali menjenguk sanak famili di sana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun