Mohon tunggu...
R. Angwarmase
R. Angwarmase Mohon Tunggu... Guru - Berpikir Logis, Bertindak Bijak

Pendidik

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Corak Kehidupan Suku Tanimbar

6 Februari 2021   13:14 Diperbarui: 6 Februari 2021   13:41 553
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengantar

Kehidupan di dunia ini adalah suatu anugerah Tuhan yang lebih berharga dan mulia. Berbicara tentang kehidupan berarti membicarakan segala peristiwa hidup, kejadian (fenomena), dan pengalaman di dalam kehidupan, baik dalam kelompok (masyarakat)  maupun pribadi (individu). Hidup bersama (berkelompok) menuntut suatu keteraturan, keterikatan, memiliki peraturan sebagai pedoman hidup bersama.

Hidup yang merupakan rahmat ini, manusia mengolahnya dengan bentuk, corak dan cara yang berbeda-beda. Bermacam ciri kekhususan menunjukkan keadaan, sikap, dan sifat tertentu dalam kelompok, diantaranya hidup bersama, hidup riang dan ramah, ada peraturan dan sikap hidup beragama.

Tulisan ini secara khusus menyajikan bagaimana sikap hidup suku Tanimbar dalam mengolah, mengembangkan kehidupan yang dianugerahkan Tuhan baginya.

1.  Sikap Hidup Kebersamaan

Sikap hidup suku Tanimbar lebih cenderung mementingkan dan memperhatikan kelompok besar (masal) daripada kelompok kecil (kelurga). Suku Tanimbar berpadangan bahwa dalam unsur kebersamaan, telah mengungkapkan kehidupan pribadi. Kehidupan bersama lebih dipentingkan daripada kehidupan pribadi, walaupun kehidupan bersama sering dinilai merugikan kehidupan pribadi.

Hal yang penting dalam hidup bersama bukan untung atau rugi, tetapi "Nilai" hidup sebagai pola hidup manusia. Dengan kata lain, kebutuhan orang lain lebih diutamakan daripada kebutuhan pribadi, berlandaskan falsafah budaya Duan-Lolat, "hidup kekerabatan, kekeluargaan, dan persaudaraan yang akrab", akibatnya orang dapat memberikan sesuatu yang "berharga" bila dibutuhkan orang lain tanpa ada ganti rugi.

Unsur lain yang menjadi faktor pemersatu dalam kelompok besar (masal) ialah bahasa. Suku Tanimbar memilik lima jenis bahasa : (Yamdena, Fordata, Selaru, Selwasan dan Makatian). Hidup dan pergaulan dalam kelompok besar baru "sempurna", kalau diikat bahasa yang satu. 

Singkatnya sikap hidup kolektif suku Tanimbar terarah kepada kebersamaan atau kekerabatan dalam kelompok besar (masal), dapat dijumpai dalam corak kehidupan berikut ini.

2. Sikap Hidup Riang dan Ramah

Keadaan alam suku Tanimbar mengizinkan petani ladang Tanimbar untuk tidak bekerja keras seperti petani ladang ditempat lain. Suku Tanimbar berkerja lebih ringan. Bekerja dalam kelompok besar, memungkinkan terciptanya suasana "ramai dan riang" diantara para petani. Bahkan alam yang subur dan kaya, seakan tertawa ramah kepada para petani.

Para petanipun menjadi ramah terhadap alam semesta dan sesama manusia. Suku Tanimbar juga memiliki kecenderungan dasar untuk menciptakan suasasan hidup masal yang riang dan ramah, seperti dalam atraksi-atraksi kesenian masal. Suku Tanimbar baik tua-muda, kaya-miskin, kecil-besar, pria-wanita berbaur dalam suasana yang mengasyikan dan menggembirakan.

Suku Tanimbar yang menari, seakan menggambarkan jiwanya yang tidak pernah susah, sehingga terkesan kesulitan pribadi dilupakan dan beban berat dilepaskan, karena sungguh-sungguh mengalami bahwa dirinya adalah bagian integral dari kelompok besar yang riang dan ramah. 

Beban kehidupan suku Tanimbar lantas dirasakan menjadi lebih ringan. Suku Tanimbar tidak bisa murung karena merasakan betapa berat beban atau tanggungjawab hidup sehari-hari. Beberapa misionaris yang bekerja di Kepulauan Tanimbar mengungkapkan bahwa, "banyak petani ladang suku Tanimbat tersenyum ketika diberitahukan mengenai utangnya pada para pedagang setempat.

Utang tidak dialami sebagai beban berat; toh pada musim panen berikutnya, utang itu akan dilunasi dengan gampang". Hal ini sama sekali bukan merupakan ciri "carpe diem" (nikmati hari ini) suku Tanimbar, sebab lebih mengarah pada sikap hidup yang kurang rencana masa depan. 

Pandangan ini ada benarnya, namun sebagaimana telah penulis jelaskan bahwa keadaan alamnya yang mengijinkan petani ladang suku Tanimbar untuk tidak bekerja keras, tersirat pula suatu rencana yang amat teratur.

Dengan demikian patut ditegaskan sekali lagi bahwa, latar belakang  utama sikap hidup riang dan ramah ialah kenyataan bahwa petani  ladang suku Tanimbar agak "dimanjakan" alamnya yang subur dan kaya menawarkan kegembiraan dan keramahtamaan kepada para patani.

3. Sikap Hidup terhadap Peraturan

Sejauh pengamatan, pengalaman penulis dalam pola kerja beberapa daerah (Buru, Saparua, Kei). Pola kerja petani ladangnya agak lain daripada pola kerja petani ladang suku Tanimbar. Pola kerja petani ladang Buru, Saparua, dan Kei memiliki pola kerja : sama-keras-teratur. Sedangkan pola kerja petani ladang suku Tanimbar : sama - ringan -teratur.

Kombinasi pola kerja keras dan teratur telah menempa sikap hidup memutlakan hukum.  Sebaliknya, kombinasi pola kerja riangan dan teratur telah menghasilkan sikap hidup yang supel terhadap hukum (peraturan).  Sikap supel disini lebih pada luwes dan tidak ketat, gampang menyesuaikan diri dengan keadaan hukum.

Dalam konteks ini, suku Tanimbar tidak bersikap "keras" terhadap hukum dan tidak dianggap sebagai suatu kewajiban mutlak, bersifat relatif, tidak terlampau mengikat memungkinkan kebersamaan masal secara riang dan ramah; dan jika kebersamaan diatur dengan ketertiban yang ketat, maka kebersamaan itu akan kaku, tidak luwes lagi.

Dengan latar belakang ini kita dapat mengerti bahwa dalam kalangan petani ladang suku Tanimbar tidak ada "hukum adat yang terperinci atau ada peraturan yang secara tertulis dipelajari".

Simpulan

Di berbagai daerah, struggle for life (mempertahankan hidup) menjadi ciri khas dalam kehidupan; maka dalam mentalitas suku Tanimbar menurut penulis, ciri itu agaknya kurang. Rasa bertanggung jawab terhadap kehidupan tidak terlalu dihiraukan (sekurang-kurangnya bernilai relatif), sebab hidup sehari-hari cukup dijamin alam yang kaya raya. Dengan demikian unsur tanggungjawab yang ditentukan peraturan, dinilai relatif dan suku Tanimbar tidak merasa terikat pada tanggungjawab tertentu.

Jika dihungkan dengan dengan dsikap hidup kebersamaan, riang dan ramah, sikap relatif perlu untuk memungkinkan "keramaian" dalam hidup bersama. Sikap supel nyata juga dalam sikap bawaan lain : sikap superioritas dan sikap perfectioritas. Sikap superioritas berarti memiliki kecenderungan untuk menganggap diri lebih orang lain.

Sikap ini menjadi penggoda terbesar bagi suku Tanimbar untuk iri hati terhadap orang lain yang tampaknya lebih berhasil dalam hidupnya. Sedangkan Sikap perfectioritas adalah kecenderungan  untuk menganggap diri lebih sempurna, sebab memiliki segala sesuatu (alam yang subur dan hasil-hasilnya melimpah). Kedua sikap bawaan ini pun menyebabkan suku Tanimbar menjadi suku yang cepat tersinggung.

Bisa dimengerti: kalau orang menganggap diri sempurna, maka teguran orang lain yang mengurangi kesempurnaannya akan menyinggung hatinya. Terhadap orang yang menyinggungnya, suku Tanimbar bersikap supel juaga, artinya tidak menaruh dendam. Keadaan, sikap sakit hati akan segera berubah; dimungkinkan oleh kecenderungan sikap riang dan ramah dalam hidup bersama.

Sumber:
Buku Konstitusi MSC, 1981
Anggaran Dasar MSC, 1981
Hasil Pengamatan dan Pengalaman Penulis

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun