Di siang yang cerah ini, jadwalku pergi ke psikiater langganan. Setelah mengalami depresiasi berkepanjangan dan nyaris bunuh diri, serta mumpung aku punya uang hasil gaji kemarin. "Hai, Cindy! Mau ke mana?" Seorang tetangga menyapaku dengan riang begitu kami berpapasan di tengah koridor.
"Hai juga, Nona Fatimah! Aku mau ke psikiater sekarang," terangku dengan ramah. "Kalau Anda?" tanyaku kemudian.
"Aku mau pergi ke rumah saudaraku di Kazakhstan. Kamu mau oleh-oleh apa? Biar aku belikan untukmu." Bahkan dia repot-repot menawarkan barang tangan untukku.
Tapi, karena aku tidak merasa enak hati atas segala kebaikan Nona Fatimah kepadaku akhir-akhir ini dan takut merepotkan, aku pun menjawab, "Terima kasih banyak, Nona. Tapi, tidak usah. Selamat berlibur ke sana!," seraya menolak dengan sopan.
Â
Wanita anggun dengan tutur kata halus dan berpakaian tertutu serta sopan itu hanya tersenyum pasrah mendengar penolakanku. Setelah itu, kami saling berpamitan untuk mengurusi kepentingan masing-masing. Aku mengecek kembali barang bawaanku di tas jinjing, memerbaiki posisi hijabku agar enak dipandang, baru kulangkahkan kaki menyusuri trotoar yang sebagian ditutupi oleh dedaunan berwarna kecoklatan yang berguguran indah. Udaranya juga terasa menyejukkan hati yang sudah lama gundah karena memendam semuanya sendirian.
Dengan tergopoh-gopoh, aku menjejaki setiap inchi trotoar yang tergenang air hujan semalam sekaligus dedaunan musim gugur. Melewati beberapa pertokoan yang telah menjual ornamen khas natal, aku jadi teringat bahwa bulan depan adalah Desember. Sialnya, aku belum membeli dekorasi natal untuk bulan depan padahal tidak lama lagi hari yang penuh suka cita itu datang. Tetapi, setelah aku pikir-pikir lagi, buat apa coba? Lagipula selama ini aku selalu merayakan natal seorang diri, hanya aku dan televisi penayangan khusus natal menjadi teman sejatiku. Aku pernah punya hewan peliharaan, namun mereka selalu meninggalkanku setiap kali aku membutuhkan mereka. Selain itu, aku sudah menjadi seorang mualaf.
Di tengah perjalanan, aku membantu seorang nenek tua yang kesulitan untuk menyeberang jalan. Karena searah, kami berdua memutuskan untuk berjalan berdampingan seraya berbincang santai. "Kalau kamu menginginkan pelangi, maka kamu harus menerima hujan, anak muda. Mungkin kamu tidak menginginkan masalah dalam hidupmu, namun justru masalah-lah yang telah menempa dirimu sampai saat ini. Percayalah, pemandangan indah sudah menanti di depan mata bagi yang bertahan," ucap sang nenek sebelum menghilang di tikungan gang kecil.
Aku memandangi sang nenek dalam diam. "Entahlah, Nek. Aku belum bisa melihat atau pemandangan indah yang engkau bilang," gumamku nyaris tidak bersuara.
Aku kembali berjalan, dengan perasaan hampa. Sudah lama aku tidak melewati kawasan ini. Aku pun mematung ketika telah sampai di kediaman psikiaterku itu tinggal. Rumah sederhana yang di sekelilingnya penuh dengan tanaman hias yang cantik dan memberikan kesan teduh yanng dipagari oleh pagar kayu pendek. Mataku mendelik tidak percaya, napasku menderu. Berusaha menenangkan diriku sendiri sambil mengusap-usap kedua tangan yang bergetar. Hampir saja aku menitikkan air mata. Memori lama yang sempat terlupakan, kini berputar kembali di otak seperti kaset rusak.
Tidak lama kemudian, aku melihat Johannes keluar dari sana dan menyapaku dengan ramah dalam balutan jas formal. Dia yang melihatku berperilaku tidak wajar, mulai menghampiri dan berusaha menenangkanku. Aku pun diajak duduk di teras rumahnya. Setelah menunggu diriku merasa tenang, hal itu juga berkat teh chamomilenya yang enak. Kami mulai berbincang ringan mengenai kemajuan pengobatan yang kujalani dan memberikan beberapa obat anti depresan sesuai resep dokter, tentunya. "Baiklah, Nona Cindy. Aku bersyukur karena kau masih bisa selamat setelah mengalami masa-masa sulit," katanya dengan haru. "Bisa ceritakan secara detail, kenapa kamu memutuskan untuk bertahan? Dan, untuk apa itu? Jika kamu tidak keberatan. Soalnya, dulu kamu tidak mau bercerita secara rinci," lanjutnya dengan hati-hati.
Aku mengangguk samar. "Dulu, aku punya keluarga angkat yang beranggotakan tiga orang. Ada aku, dan dua orang pemuda berkebangsaan Indonesia. Mereka bernama Noah Tuff yang dulunya orang Amerika, dan Russell Shostakovic yang dulunya orang Rusia," kataku dengan pelan.
"Noah Tuff?! Dia bukannya salah satu konglomerat yang disegani itu? Waw, aku tidak percaya ini ... Hebat sekali dirimu, Cindy. Bisa menjalin hubungan dengannya," ujar Johannes yang berdecak kagum. Aku hanya tersenyum canggung mendengarnya. Kemudian, dia memersilakan diriku untuk melanjutkan pembicaraaan.
"Kami keluarga pura-pura yang bahagia, aku pun menikmati setiap momen yang ada selama mereka berkuliah di sini. Aku mengagumi mereka, mereka panutanku. Namun, baru beberapa tahun berjalan, mereka berdua harus kembali ke negara asal. Sebelum pergi, mereka menitipkanku di sebuah panti asuhan. Mereka juga berjanji akan menemuiku suatu hari nanti, katanya ingin melihat perkembanganku seperti apa nantinya." Aku berusaha tegar, tidak ingin menangis di depan Johannes.
Aku pun beranjak dari kursi, dan menyentuh tembok kayu yang kokoh itu. Sekilas kenangan tentang mereka muncul kembali. "Rumah inilah yang menjadi saksi kebersamaan, sekaligus perpisahan kami. Sejak saat itu, setiap melewati kawasan ini, aku selalu berusaha untuk tidak melihat atau melirik rumah ini barang sedikit pun. Karena membuka luka lama. Aku juga mulai hidup mandiri, saling sikut dengan orang lain, dan mengatur keuanganku sendiri. Beberapa kali aku dimanfaatkan, dikhianati, direndahkan, dan dikecewakan oleh orang-orang di sekelilingku. Aku harus bertahan, aku harus melawan badai itu sendirian, tanpa mereka."
Aku berpegangan kepada pagar kayu yang masih kokoh. Mengatur napasku sejenak, lalu duduk kembali berhadapan dengan Johannes. "Aku mulai tersesat. Judi, minuman alkohol, pria. Ketiga hal tersebut yang aku sukai sebelum ditimpa realita yang pahit yang hanya memberi efek kesenangan sementara," terangku padanya. "Di saat aku terlilit hutang karena ketiga hal tersebut, aku memutuskan untuk bunuh diri dengan mengonsumsi obat-obatan terlarang. Seharusnya aku sudah tiada saat itu," tambahku kemudian, memberi jeda sejenak.
Johannes manggut-manggut, sedikit menatapku dengan iba. "Setelah itu, apa yang terjadi?" tanyanya yang sepertinya sudah tidak sabar menunggu.
"Tetangga apartemen yang baik kepadaku, namanya nona Fatimah. Dia seorang muslim yang pertama kali menemukanku tidak sadarkan diri di dapur. Dia langsung menghubungi ambulans dan segala biaya perawatanku ditanggung olehnya," jelasku lagi sambil tersenyum. "Ketika aku sadar dari koma selama dua minggu, yang pertama kali aku lihat adalah dia sedang melaksanakan ibadah yang disebut dengan salat. Hatiku tergugah saat itu, dan merasakan dorongan untuk bisa seperti dia. Maka dari itu, aku masuk Islam dan mulai mendapatkan semangat dan motivasi untuk tetap hidup. Menjadi hamba yang taat kepada-Nya dan menjauhi segala larangan-Nya. Tapi meskipun begitu, aku masih rindu sosok mereka," terangku dengan senyuman yang meredup.
Aku menundukkan kepala, mataku mulai mendidih. Aku meremas baju busana muslimku. Air mata mulai kembali membasahi pipiku. "Aku pernah tidak sengaja melihat Noah dan Russell, dua tahun yang lalu. Awalnya aku bahagia, aku merasa senang bisa bertemu dengan mereka lagi. Tetapi begitu aku melihat mereka sedang bersama seorang anak perempuan berambut pirang, sepertinya anaknya atau keponakan Noah, dan tertawa bahagia bersama yang baru saja keluar dari sebuah toko kue, aku mengurungkan niat untuk sekadar menyapanya. Hatiku terasa sakit, aku sepeti merasa dikhianati. Perjuanganku untuk mencarinya selama beberapa tahun seketika merasa sia-sia belaka. Aku menarik kesimpulan, 'Mereka sudah punya kehidupan sendiri.' Aku mundur beberapa langkah sebelum akhirnya berlari menjauh. Hal itu menjadi salah satu pemicuku untuk nekat mengakhiri hidup," kataku dengan suara yang bergetar dan beberapa bulir air mata jatuh ke punggung tanganku.
"Sejak saat, itu aku sudah tidak berharap lagi kepada siapa pun dan dalam bentuk apapun. Pertama kalinya aku benar-benar merasa kecewa. Aku takut, takut sekali jika segala hal tidak sesuai dengan harapanku. Iya sih, sudah tujuh belas tahun berlalu, pastinya banyak yang berubah. Aku yang salah karena terlalu menaruh harapan kepada mereka. Aku yang salah karena berharap seperti tujuh belas tahun yang lalu lagi. Aku seperti ini karena merasa aku seperti sudah tidak punya rumah lagi, aku kesepian. Keluarga kandungku ternyata sudah lama tiada karena sebuah insiden kecelakaan, begitu penuturan salah satu kerabat ibuku yang masih ada beberapa waktu yang lalu. Aku ditelantarkan oleh pihak keluarga ayahku karena tidak berguna, dibiarkan tidak terurus di jalanan."
Aku menangis tersedu-sedu. Aku menutup seluruh wajahku dengan kedua tangan agar menahan suaraku yang melengking. Aku kehilangan keseimbangan sehingga terjatuh dari kursi. Aku tidak terlalu memedulikan penilaianku kepada Johannes saat ini. Namun, aku sempat mendengar Johannes beranjak dari kursi dan beberapa derap langkah kaki setelahnya. Entah apa yang mereka lakukan, aku tidak peduli keberadaan orang lain, entah itu teman atau kerabat Johannes yang keluar dari dalam rumah, karena aku sekarang terlihat menyedihkan dan kacau. Aku ikhlas jika orang-orang itu menertawakanku seperti yang lain.
Tiba-tiba, seseorang mengelus-elus kepalaku dengan lembut, aku pun terkesiap. Begitu mendongak dengan wajah yang sudah tidak ditutupi lagi, sosok itu tersenyum lembut kepadaku. Sosok yang sudah lama tidak berjumpa, yang tidak kuharapkan kembali kehadirannya, dan yang membuatku pertama kali merasa sangat dikecewakan. "Hai, Cindy! Sudah lama kita tidak bertemu, ya. Apa kabar?"
Aku tertegun. Setelah keheningan yang berlangsung beberapa saat, aku langsung memeluk erat sosok yang ada di hadapanku. Aku mulai menangis kembali. Kali ini bukan karena sedih tapi merasa terharu. "AKU TIDAK BAIK-BAIK SAJA, PAPA!"
Air mataku kembali berderai layaknya air terjun yang jatuh dari tebing tinggi. Aku rasakan Noah membalas pelukanku tak kalah eratnya. Mengelus-elus kepalaku, layaknya anak kecil yang sedang mengadu kepada orang tuanya. Begitu kami saling melonggarkan pelukan, aku melihat Russell yang tersenyum kepadaku. Dia merentangkan kedua tangannya. Aku segera bangkit dan menyambut rentangan tangannya sebagai melepas rasa rindu yang sudah lama terpendam. Johannes tersenyum melihat pemandangan yang mengharukan di sekitarnya itu.
Setelah berbincang sejenak, ternyata mereka bertiga sudah lama saling mengenal sebagai rekan bisnis. Mereka juga menguping pembicaranku dengan Johannes, jadi mereka meluruskan beberapa hal, seperti anak perempuan yang dilihat olehku sebelumnya ternyata hanya keponakan Noah. Tapi mereka menambahkan kalau mereka berdua memang sudah berumah tangga, namun tidak melupakan sosok Cindy yang sudah mewarnai masa-masa kuliah mereka. Noah dan Russel juga sudah mendengar segala keluhan Cindy melalui perantara Johannes. "Mumpung kami ada di sini, kami akan coba bayar semua hutangmu, my bunny!" tawar Noah kepadaku yang masih sesekali sesenggukan.
"Tidak usah sungkan. Jangan pula kamu remehkan dompet Noah bisa setebal apa," gurau Russell tapi masih terdapat unsur keseriusan.
Aku sekali lagi merasa terharu dengan kebaikan mereka. "Terima kasih banyak, kalian semua. Kalau begitu, mohon bantuannya!"
Dalam beberapa hari saja, semua utangku yang menumpuk kini sudah lunas semua! Semua beban di pundakku selama ini, rasanya sudah terangkat. Aku sangat bersyukur bisa dipertemukan kembali dengan mereka. Saat hembusan angin musim gugur menerpaku bersama dengan Noah dan Russell seraya menyusuri trotoar, aku mendongak ke arah langit dan bergumam, 'Nenek yang waktu itu! Aku sudah bisa melihat pelangi yang engkau maksud.' Yah, begitulah hidup.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H