Terkadang aku muak untuk berangkat sekolah. Membawa tumpukan buku yang beratnya bisa minta ampun yang terkadang kelas bisa jam kosong, duduk diam mendengarkan guru-guru yang sedang menjelaskan suatu materi selama beberapa jam seringkali membuatku mengantuk. Seakan-akan waktu berjalan dengan lambat, membuat diriku seperti dikurung di sebuah ruangan selama berjam-jam hanya untuk menanti 'sang penyelamat,' yakni bel istirahat dan pulang sekolah. Selain itu, cara mengajar mereka yang monoton dan terkadang 'menakutkan bagi para siswa', membuatku tidak bersemangat untuk belajar. Apabila aku bertanya, sebagian dari mereka akan bilang, "Kamu nggak mendengarkan apa yang saya ajarkan tadi?", membuat semangat belajarku menurun. Aku ingin sekali melayangkan protes, tetapi apalah daya, yang ada mungkin aku akan dianggap tidak sopan dan tidak punya adab di pandangan mereka. Padahal, sekolah itu tempat menuntut ilmu 'kan? Kenapa sekolah itu penting?
Menepis pikiran tersebut, sebelum ketahuan oleh guru mapel matematika yang sedang menerangkan materi komposisi fungsi, aku memutuskan untuk menorehkan tinta hitam di atas buku tulisku di lembaran yang baru. Hari ini, cuaca nampak tidak bersahabat. Tadi pagi cerah sekali dan di hari yang menjelang sore ini, kumpulan awan hitam membumbung tinggi di atas sana. Untung saja aku membawa payung mini di dalam tas, kalau tidak aku bisa kehujanan nanti. Mana besok masih memakai seragam yang sama lagi. Sepertinya mengingat pepatah 'sedia payung sebelum hujan' ada manfaatnya.
Sejenak, aku memandang ke sekitar. Nampak teman-temanku sudah tidak kuat lagi untuk mengikuti sesi belajar pada jam yang rawan ini. Ada yang diam-diam mengobrol dengan teman sebangku, menundukkan kepala sembari bermain ponsel dengan alasan yang tidak penting, curi-curi pandang dengan teman yang berbeda bangku, dan yang lainnya. Entah kenapa, aku jadi geleng-geleng kepala sendiri. Ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah empat sore, akhirnya 'sang penyelamat' datang. Bel pulang sekolah berbunyi nyaring ke setiap sudut sekolah, membuat guru mapel yang sedari tadi asyik sendiri menerangkan materi pelajaran, kini harus mengakhiri kelas dengan raut muka kecewa. Para murid yang ada di kelasku dengan sigap berkemas-kemas untuk  pulang. Sebelum itu, ketua kelas memimpin doa yang diikuti oleh seluruh penghuni kelas dan memberi salam kepada guru mapel tersebut dengan wajah yang berseri-seri, tidak terkecuali dengan aku.Â
Badanku terasa agak kaku setelah hanya duduk di kursi kayu yang sudah agak rusak karena sudah berusia. Sejenak aku meluruskan kedua kaki dan meregangkan tangan ke atas demi melemaskan otot-ototku.
"Akhirnya bisa pulang! Mau mampir ke warmindo nggak, Hanan?" tanya teman beda bangku yang bernama Farhan kepadaku sekaligus menawarkan.
Tawarannya begitu menggoda bagiku, tapi aku segera menggelengkan kepala pelan sebagai bentuk penolakan sambil tersenyum. "Makasih, Farhan. Tapi, kayaknya nggak dulu, deh. Soalnya lagi banyak PR juga," tolakku dengan halus.
Farhan manggut-manggut dan dia berpamitan kepadaku karena sudah dijemput oleh orang tuanya di depan gerbang sekolah. Â Karena sekolahku dekat dari rumah, aku jadi terbiasa jalan kaki dengan waktu tempuh sekitar kurang lebih sepuluh menit. Dalam perjalanan ke rumah, pandanganku lurus ke depan sambil berkonsentrasi bila mana ada kendaraan bermotor yang seenaknya melintas atau menyalip di dekatku tanpa membunyikan klakson. Bila ada yang menyapa diriku, biasanya akan ku sapa balik.
Ketika sedang asyik bersenandung ria, langkah kaki aku pelankan. Perhatianku tertuju kepada wali kelasku yang masih mengenakan seragam KOPRI terbaru dengan sebuah motor matic terparkir tidak jauh darinya, sedang berdiri di depan meja kasir di sebuah toko spesialis di bidang fotocopy. Dia bernama Pak Hartono, biasa dipanggil Pak Tono, berusia kurang lebih 40-an dan mengajar mata pelajaran bahasa Indonesia di kelasku. Sebagai murid yang baik, aku memutuskan menghampiri beliau dan menyapanya. "Assalamu'alaikum, Pak Tono. Lagi beli apa, Pak?," sapaku dengan sopan dan diakhiri pertanyaan.
Beliau menoleh dan dia menyapa balik dengan ramah. "Eh, kalau tidak salah kamu Hanan, ya? Murid kelas F3 yang saya ajari itu?" tanya Pak Tono dan aku mengiyakan sebagai tanggapan bahwa itu benar. Karena aku baru menjadi muridnya selama tiga bulan ini, wajar saja jika dia belum bisa menghapal nama-nama muridnya yang baru.
"Ini, saya lagi fotocopy lembar kerja siswa buat latihan soal minggu depan, termasuk F3 nanti," Pak Tono menjawab pertanyaanku yang tadi dan jawabannya membuatku tertawa hambar karena aku tidak ingin mendengarnya.
Sejenak percakapan kami harus terhenti karena disela oleh pemilik fotocopy tersebut karena pesanan Pak Tono telah jadi. Segera beliau membayarnya dengan uang pas, dan setelah itu aku bertanya, "Maaf, Pak Tono. Bapak sibuk nggak hari ini? Ada yang ingin saya tanyakan kepada Bapak selain tugas tadi," Aku berusaha meminta izin dengan nada sesopan mungkin.. Tanpa berpikir panjang, Pak Tono berbaik hati meluangkan waktunya untuk mengajakku duduk di sebuah bangku dekat toko tersebut dan mulai berbincang-bincang.
"Jadi, kamu mau tanya apa, Nan?" tanya Pak Tono kemudian.
"Em, begini Pak Tono. Menurut Bapak, sekolah itu penting nggak? Dan kalau iya, kenapa pendidikan di negara kita  masih rendah?" tanyaku dengan penasaran. "Itu yang saya ingin tanyakan ke Bapak. Silakan," tambahku kemudian.
Sesaat Pak Tono nampak berpikir, lalu tersenyum ke arahku. "Pertanyaan retoris. Seharusnya kamu sudah tahu jawabannya, Hanan," katanya agak menyindir dan membuatku terkekeh pelan. Tetapi, beliau melanjutkan ucapannya tadi. "Tapi, menurut saya, tergantung pada orangnya. Sekolah itu tidak penting karena biasanya orang-orang yang berpikir demikian terlalu meremehkan dunia pendidikan dan tidak dapat memanfaatkan peluang di dalamnya. Dan, orang yang menganggap sekolah itu penting karena mereka menyadari peluang yang ada di dalamnya dan biasanya mereka dapat memanfaatkan waktu selama menempuh waktu di sekolah. Seperti menimba ilmu dengan baik, mencari relasi atau koneksi dan mencari pengalaman sebanyak mungkin yang nantinya akan berguna ketika sudah terjun di dalam masyarakat."
Pak Tono diam sejenak dan melanjutkan penjelasannya tadi dengan aku yang masih setia untuk mendengar. "Tadi, kamu bertanya kenapa pendidikan di negara kita masih rendah 'kan? Sederhana, dari faktor sumber daya manusianya sendiri. Contoh, Jepang sendiri bisa maju di dunia pendidikan karena banyak SDM yang mumpuni dan fasilitas yang memadai. Masyarakat Jepang juga sadar akan pentingnya pendidikan dalam pembangunan negara, sehingga mereka bisa maju seperti sekarang, dan masih banyak faktor pendukung lainnya yang seharusnya negara kita bisa mencontoh mereka. Namun, apalah daya, masih banyak masyarakat kita yang belum sadar atau justru menyepelekan pentingnya pendidikan. Angka anak putus sekolah juga bisa dikatakan masih tinggi ketimbang yang bersekolah. Mungkin bisa karena faktor ekonomi, keluarga atau lingkungan sekitarnya yang membuat minat belajar di sekolah menjadi menurun," terang Pak Tono panjang lebar yang diakhiri dengan helaan napas gusar.
Aku terdiam sejenak, memandangi sejumlah kendaraan yang berlalu lalang di dekat tempat kami berada. Setelah keheningan beberapa saat, aku pun bertanya, "Kalau begitu, apa solusinya supaya pendidikan di negara kita bisa maju seperti negara Jepang, Korea Selatan, Finlandia sama Jerman?"
Pak Tono sekali mengulas senyum, namun senyum penuh arti. "Dimulai dari diri kamu sendiri. Selain itu, perlu adanya kerja sama yang apik antara masyarakat dan pemerintah di dunia pendidikan. Dengan begitu, insyaallah, negara kita akan menjadi sebuah negara yang maju. Karena pendidikan itu penting dalam pembangunan suatu negara," Pak Tono mengakhiri penjelasannya tepat dengan turunnya guyuran hujan yang mulai membasahi bumi.
Hanan manggut-manggut. "Terima kasih banyak, Pak Tono. Penjelasan dari Bapak membuka wawasan saya tentang kondisi pendidikan di negara kita. Dan, membuat saya termotivasi untuk dapat memanfaatkan waktu selama menempuh jenjang pendidikan. Sekali lagi, terima kasih banyak ya, Pak!" Aku berkata demikian dengan ceria.
Pak Tono tertawa renyah. "Sama-sama, Hanan. Saya juga ada perasaan lega untuk mengeluarkan unek-unek saya selama ini," katanya. "Oh, iya. Hujan lho, ini. Kamu bawa payung nggak?"
Sebagai jawaban, aku mengeluarkan payung mini berwarna hijau palet. Sebelum pergi, aku berpamitan kepada Pak Tono dan menyalami tangannya. Setelah itu, aku berlari pelan menembus gugusan air hujan yang turun dengan cukup deras. Aku juga sempat melihat melalui ekor mataku, beliau melambaikan tangannya kepadaku ketika aku sudah lumyan jauh dari toko fotocopy tersebut.
Sore ini, di bawah guyuran hujan, aku berlari-lari kecil dengan suasana hati yang jauh lebih baik.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI