Mohon tunggu...
ryendazo
ryendazo Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang biasa yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balai Belajar Berliterasi

23 November 2024   15:45 Diperbarui: 23 November 2024   16:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami mendapat kabar dari Pak Riski keesokan harinya, dan hal itu membuat kami semua yang terlibat sangat terpukul. Semakin memerkuat bukti kami kalau literasi di lingkungan desa masih sangat minim. Pembangunan sekolah pun kami tunda untuk sementara waktu hingga keadaan kembali kondusif. Setelah itu juga, kami tidak mendengar kabar tentang Pak Malik. Entahlah dia hendak membuat keributan apa lagi.

Suatu ketika, ketika aku dan Russell sedang bersantai di teras rumah sambil menyibukkan diri dengan membaca buku pinjaman dari perpustakaan umum. Kami tidak sengaja melihat Pak Riski dengan Pak Malik tengah berdebat dan entah mengapa mereka menuju ke rumah kami. "Ya, makanya sekarang minta maaf sama mereka. Masa 'gitu aja malu?" kata Pak Riski dengan sabar. Pak Malik terlihat garuk-garuk kepala dengan wajah yang kebingungan.

Kami menghentikan kegiatan membaca dan saling melirik, bingung dengan apa yang sedang terjadi. Setelah Pak Riski memberi salam kepada kami berdua, dia langsung memberitahukan tujuannya bersama Pak Malik datang ke sini. "Pak Malik ada urusan sama kalian. Ya sudah, saya antar kemari," katanya sambil tersenyum. Lalu, dia pamit undur diri karena ada urusan di kantor kepala desa. Menyisakan kami bertiga dalam suasana yang canggung.

"Em, silahkan duduk, Pak Malik. Aku mau buat teh dulu di dapur sebentar," kataku berusaha memecah kecanggungan. Pak Malik hanya mengangguk kaku sambil duduk di bangku yang tersedia. Duduk berhadapan dengan Russell yang sedari tadi melayangkan tatapan tidak suka kepadanya.

Aku tidak terlalu tahu apa yang selanjutnya terjadi karena sedang menyiapkan jamuan untuk tamu. Sekembalinya dari dapur, aku terkejut karena Pak Malik menitihkan air mata dalam diam. Dengan cekatan aku menuangkan segelas cangkir teh panas untuk Pak Malik, kemudian melihat Russell yang berkali-kali menghembuskan napas gusar. Melihatku yang kebingungan, dengan senang hati Russell bersedia menjelaskan. "Tadi, kami sempat ngobrol sebentar. Gudang bawang dan padi punya Pak Malik yang awalnya melimpah ruah, dalam semalam semuanya hilang. Baru saja kemarin lusa kejadiannya. Para karyawannya juga tidak bisa dihubungi. Ternyata setelah diusut, Pak Malik ditipu sama bawahannya yang kemarin ikut pertemuan. Alhasil, tentu saja Pak Malik harus ganti rugi yang cukup besar. Mana uang simpanannya hilang juga, di lemari kamarnya," terangnya panjang lebar.

Aku tertegun. Menatap tidak percaya Pak Malik yang sedang mengusap air matanya menggunakan kerah lengan. Dia pun membenarkan pernyataan Russell. "Iya, itu benar, Hafid. Semua hartaku lenyap begitu saja. Aku ditipu sama bawahan yang sudah aku anggap seperti keluarga sendiri. Aku bangkrut. Karena tunggakan biaya pendidikan yang jumlahnya sudah banyak, anakku terpaksa putus sekolah. Istriku juga ternyata selingkuh dengan bawahanku dan mereka sudah pergi entah ke mana, tidak ada kabar," jelasnya, memberi jeda. "Mungkin, gara-gara aku meremehkan niat baik kalian, berujung musibah. Karena itulah, aku minta maaf yang sebesar-besarnya kepada kalian berdua. Hafid dan Russell, tolong maafkanlah pria tua ini yang sudah tidak punya apa-apa lagi," tambahnya dengan meminta maaf kepada kami. Pak Malik bahkan sampai menundukkan kepalanya saking merasa bersalah.

Hening. Sejenak kami melempar pandangan satu sama lain, lalu tersenyum. Aku pun berkata, "Pak Malik, namanya hidup itu, pasti ada saja masalah atau musibah yang menimpa kita. Tapi yang terpenting, kita mencari solusinya bukan terus meratapinya. Nggak ada kemajuan dong, ya 'kan? Tindakan Pak Malik yang berani untuk minta maaf, aku acungkan dua jempol buat Pak Malik," tambahku sambil benar-benar memberi dua jempol kepada Pak Malik. Berhasil membuatnya tertawa perlahan.

Russell bergantian berbicara. "Kalau begitu, Pak Malik bersedia jadi bagian yayasan sekolah gratis dari kami? Tentu saja, kami akan menggaji Bapak. Bagaimana?" tawar Russell dengan ramah. Pak Malik tersenyum dan dia setuju untuk bekerja sama dengan kami.

Setelah kejadian itu, segenap tim pembangunan sekolah gratis berkumpul kembali untuk membahas lebih lanjut mengenai perkembangannya dan mulai membangun kembali bangunan setengah jadi yang sudah runtuh itu. Di sela-sela pembangunan, para warga desa yang salah paham dengan kejadian tersebut, meminta maaf kepada kami dan menawarkan bantuan untuk membangun sekolah. Tentu saja, segenap tim sangat berterima kasih dengan kebaikan mereka dan kami juga sudah memaafkan perbuatan mereka.

Butuh waktu satu tahun, tiga bulan untuk membangun bangunan sekolah yang terdiri atas bangunan tradisional berupa rumah joglo dan modern bergaya futuristik ini. Segera setelah bangunan sekolah berhasil dibangun, kami mengajukan surat izin pembangunan dan proses KBM kepada instansi pemerintah setempat. Setelah mendapatkan izin, kami langsung melakukan promosi gencar-gencaran. Para warga desa juga menanggapinya dengan respon yang positif. Pada hari pertama pembukaan, ada dua puluh lima orang yang mendaftar dan mayoritas adalah anak-anak kurang mampu, termasuk Adnan. Mereka langsung diterima, kemudian melangsungkan KBM di salah satu bangunan sekolah. Kami menetapkan waktu KBM berlangsung selama tiga jam saja dengan sesi istirahat setiap lima belas menit. Aku, Russell dan Mba Kartini turun tangan langsung mengajar mereka tentang pelajaran dasar seperti hitung-hitungan, cara membaca dan menulis yang benar, dan lainnya. Selain akademik, sekolah kami juga mendukung kegiatan non akademik.

"Kita belum kasih nama resmi sekolah gratis ini, Mas Hafid," kata Russell sewaktu merapikan peralatan murid-murid.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun