Mohon tunggu...
ryendazo
ryendazo Mohon Tunggu... Lainnya - Pelajar yang sedang mencari jati dirinya saat ini

Seorang biasa yang sedang berusaha menjadi sesuatu. Menulis adalah salah satu kegemarannya.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Balai Belajar Berliterasi

23 November 2024   15:45 Diperbarui: 23 November 2024   16:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah ruangan di mana jejeran rak yang dipenuhi aneka jenis buku, mulai dari karangan fiksi hingga non-fiksi tersusun rapi. Di mana semua orang yang gemar membaca buku berkumpul dan terhanyut dalam bacaanya. Ya, tempat itu adalah perpustakaan. Suasananya yang tenang dan menyejukkan memang tempat yang cocok untuk fokus membaca bahkan belajar.

Hai! Namaku Hafid Adiwijaya, panggil saja Hafid. Aku mulai gemar membaca buku ketika Ayah dan Ibu pertama membelikanku buku ensiklopedia dan buku komik sebagai oleh-oleh dari Yogyakarta. Selain itu, aku mulai terinspirasi dari adik angkatku yang kutu buku. Dia bernama Russell Shostakovic, berasal dari negara Rusia sebelum akhirnya pindah kewarganegaraan menjadi WNI. Karena alasan panjang yang tidak bisa aku jelaskan tentang dirinya, yang terpenting dia adalah adikku yang sangat aku sayangi dan sudah aku anggap bestie di rumah. Selain cakepnya kebangetan, dia juga cerdas dan ramah sehingga banyak orang yang suka dengannya. Tenang saja, dia sudah fasih berbicara menggunakan bahasa Indonesia setelah dilatih oleh keluargaku yang dengan sabar mengajarinya sampai bisa. Dan, umur kami hanya selisih dua tahun.

Saat ini, aku sedang menunggunya pulang dari sekolah sembari membaca buku sejarah tentang kerajaan Majapahit dengan tenang dan nyaman di dalam perpustakaan daerahku yang sejuk karena AC yang menyala. Kami janjian bertemu di sini sehabis mengikuti ujian kenaikan kelas di sekolah masing-masing, yang artinya kami pulang cepat karena ada ujian. Ketika sedang hanyut dalam bacaan, tiba-tiba pandangan sekitarku menjadi gelap gulita, seakan-akan sedang mati lampu. Tentu saja, aku langsung tahu siapa pelakunya. "Russell 'kan? Lagi gabut ya? Sampai mataku ditutupin sama kamu," ujarku menahan tawa, dengan tangan yang masih memegang buku.

"Yah, Mas Hafid nggak seru. Bisa langsung tahu kalau aku yang jahilin," katanya pura-pura kecewa sambil melepaskan tangannya dari area mataku.

Aku menutup buku yang tadi kubaca dan kutolehkan sejenak ke arahnya. Memakai seragam batik berwarna biru dengan celana bahan berwarna hijau lumut, sebelum beranjak berdiri dari bangku perpustakaan, menuju meja resepsionis untuk meminjam buku tersebut selama tenggat waktu yang sudah ditentukan. Russell juga demikian, dia mengambil sebuah buku novel dengan judul dan nama penulis yang tertera di cover depan buku lalu menuju meja resepsionis karena ingin meminjamnya juga.

Begitu kami berjalan keluar dari gedung perpustakaan yang dipoles cat berwarna hijau telor asin itu, kami disambut udara siang yang terasa menyengat di kulit. Baru berjalan beberapa meter sejak kami meninggalkan gedung perpustakaan, peluh keringat sudah membasahi dahi. Tenggorokanku terasa kering ditambah cacing-cacing di perut yang sudah berpesta pora meminta makanan untuk disantap, lengkap sudah penderitaanku ini. Sejak sarapan, aku belum makan apa-apa lagi dan aku orangnya mudah lapar. "Andai saja aku bawa bekal tadi," gumamku pelan namun bisa ditangkap oleh telinga Russell.

Melihatku yang hampir sekarat, dia berinisiatif mentraktirku sepiring penuh soto ayam di salah satu warung dekat sekolahku dengan harga yang ramah di kantong. Kami duduk saling berhadapan di kursi yang tersedia dan memesan menu soto ayam dengan segelas lemon ice tea. Sembari menunggu, kami mengobrol sejenak serba-serbi ujian sekolah yang membuat otakku pusing tujuh keliling. Tidak butuh waktu lama, pesanan kami diantarkan langsung oleh pemilik warung dan setelah mengucapkan terima kasih, kami berdoa terlebih dahulu sebelum menyantap menu makan siang kami. Menghentikan sejenak obrolan kami, digantikan suara obrolan para pengunjung warung yang mayoritas bapak-bapak.

Usai menyantap makan siang, Russell membayar makan siang kami lalu keluar dari warung tersebut. Berjalan berdampingan di pinggiran jalan, kami sangat dekat hingga saling bergandengan tangan seperti anak kecil saja. Sesekali kami bersenandung ria saling menyambung lirik, yang membuat orang-orang di sekitar kami melihatnya merasa lucu dan gemas sendiri. Sinar matahari yang terik, gumpalan awan yang membumbung tinggi di kanvas biru ciptaan-Nya, serta rindangnya jejeran pohon liar yang tumbuh di sekitar pinggir jalan yang di mana berada di samping persis ada sungai kecil dengan aliran air yang tenang. Menemani perjalanan pulang menuju ke rumah.

Ketika hampir sampai di halte bus, kami melihat kerumunan massa. Karena merasa penasaran, kami segera menghampiri kerumunan tersebut dan mendapati seorang anak laki-laki yang sedang dimarahi oleh polisi. Menurut penuturan warga, dia ketahuan mencuri sejumlah uang dari seorang ibu-ibu ketika berada di pasar dengan nominal ratusan ribu rupiah. Terlihat seorang wanita yang diduga korban berusaha membujuk anak itu untuk mengakui perbuatannya. Namun, sang anak terus bungkam sampai dia dipukul oleh wanita tersebut karena kesabarannya sudah habis dan uang sejumlah ratusan ribu berjatuhan dari tangannya yang ringkih tersebut. Langsung saja, sang ibu memunguti uang miliknya dan pergi begitu saja dari lokasi tanpa berkata apa-apa. Membuatku merasa iba dan kasihan kepada anak laki-laki tersebut.

Aku mendongakkan kepala, menatap Russell yang lebih tinggi dariku dan dia menganggukkan kepala. Setelah kerumunan massa dibubar paksa, anak tersebut tidak ditindak lanjut oleh aparat tadi dan dia dibiarkan begitu saja. Kami pun menghampiri dan mengajak anak itu berbicara sebentar di jembatan gantung rel kereta api. Awalnya dia merasa waspada, namun akhirnya menuruti permintaan kami dan mulailah perbincangan dalam kami dengannya di tempat itu. Setelah kami berkenalan serta mendengar penjelasan darinya, Russell pun berkata, "Jadi, Adnan, kamu mencuri karena ingin membiayai sekolah adik-adikmu yang masih SD, begitu?" tanyanya setelah menarik kesimpulan.

Adnan, anak laki-laki tersebut menganggukkan kepala. "Kami tidak punya uang, keluarga kami miskin. Untuk makan saja sudah susah, apalagi sampai membiayai keperluan sekolah. Bantuan dari pemerintah masih belum cukup untuk rakyat jelata sepertiku," katanya sambil mulai menangis sesenggukan. "Andai saja ada sekolah yang benar-benar gratis, mungkin aku nggak bakal putus sekolah sekarang," lanjutnya sambil mengusap air matanya dengan kasar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun