Panganan ini berasal dari provinsi Sulawesi Selatan menyebar hingga ke pelosok Sulawesi bahkan sampai ke Malaysia dan seluruh Indonesia. Panganan ini berbahan dasar beras ketan yang direndam selama beberapa jam dan selanjutnya dicetak dengan menggunakan bumbung bambu kemudian dibungkus menggunakan daun pisang dan di susun saling menyambung dengan ukuran seragam.Â
Rasa sokko tumbu dengan ciri khas ketan yang lembut dan gurih sangat pas disantap bersama makanan yang berkuah maupun tape ketan yang sudah manis. Sajian panganan ini sangat ditunggu-tunggu oleh masyarakat bugis dalam merayakan hari lebaran bersama keluarga mereka.Â
Pada kalangan orang bugis panganan sokko tumbu dihidangkan bersama dengan gulai atau semur kambing yang kerap muncul saat lebaran Idul Adha.Â
Di kota Palu Provinsi Sulawesi Tengah misalnya penulis pernah mencicipi makanan ini saat berkunjung ke rumah kerabat  pada momen Idul Fitri beberapa tahun yang lalu.Â
Sokko tumbu ini bukan hanya disajikan pada hari raya saja melainkan pada acara selamatan maupun hari besar lainnya. Orang Bugis Bilang tumbu-tumbu sementara di Tolitoli mereka katakan Sokko tumbu dan nama terkenal untuk daerah palu panganan ini adalah Mandura. Berbeda lagi di Bulukumba mereka mengatakan panganan ini Legesse. Cocok di santap bersama kari/opor ayam.Â
3. Â Â ManduraÂ
Salah satu panganan yang selalu disantap pada hari raya adalah mandura. Panganan ini sebenarnya tidak jauh berbeda dengan sokko tumbu khas Sulawesi Selatan namun disini penulis melihat bagaimana panganan yang satu ini begitu melekat pada masyarakat etnis kaili.Â
Bertahun-tahun yang lalu makanan ini sudah mulai dikembangkan oleh masyarakat kaili demi menyambut hari raya besar Islam untuk dihidangkan pada acara santap bersama keluarga setelah selesai sholat Ied.
Seperti yang dilansir dari berbagai sumber bahwa burasa diperkirakan muncul pada abad ke-16 dan abad ke-17 setelah ketupat diperkenalkan oleh Sunan Kalijaga.Â
Di Sulawesi tengah burasa berawal dari makanan suku kaili yang nomaden dengan pola pengelolaan yang masih sangat sederhana. Â Lebih lanjut ditekankan H.J de Graaf dalam malay annal bahwa ketupat adalah simbol perayaan islam di Demak yang dipimpin oleh Raden Patah pada awal abad ke-15. Â Â
Bisa diartikan Panganan ini mulai hadir bersamaan dengan panganan burasa setelah hadirnya ketupat sebagai simbol panganan Jawa dalam menyambut hari besar Islam.