Bangsa Indonesia sedang merayakan ulang tahun kemerdekaannya yang ke-79 dengan penuh semangat. Energi positif ini terlihat dari berbagai aktivitas masyarakat, baik di daerah terpencil maupun di kota-kota. Perayaan kemerdekaan telah diisi dengan beragam kegiatan seperti perlombaan, pawai, upacara, syukuran, doa bersama, serta inisiatif-inisiatif positif lainnya. Tujuan dari rangkaian peringatan ini adalah menghidupkan semangat komitmen kebangsaan dan rasa cinta tanah air di hati setiap individu.
Euforia perayaan kemerdekaan ini mencerminkan persatuan masyarakat, semangat gotong royong, kesiapan untuk berkorban, serta kemampuan untuk meredam perbedaan dan menghormati sesama anak bangsa. Semua ini diupayakan dengan tujuan mengenang pengorbanan pahlawan dan seluruh rakyat Indonesia dalam perjuangan merebut kemerdekaan. Sikap yang tercermin dalam perayaan ini sesungguhnya mencerminkan esensi ajaran Pancasila yang dijunjung tinggi.
Pancasila, sebagai dasar negara Republik Indonesia, telah menjadi panduan bagi masyarakat dalam menjalani kehidupan berbangsa dan bernegara. Nilai-nilai luhur Pancasila tidak hanya berkaitan dengan ranah politik dan sosial, tetapi juga memiliki dimensi yang sangat dalam pada konteks keberagamaan. Sebagai bangsa yang beragam dalam suku, agama, budaya, dan bahasa, Indonesia menghadapi tantangan untuk memadukan nilai-nilai Pancasila dengan praktik beragama yang benar. Berpancasila hakikatnya adalah merangkul dan mengaktualisasikan beragama yang benar dalam konteks keragaman.
Hangatnya kasus pelarangan penggunaan jilbab pada Paskibraka putri menjadi preseden buruk yang menggerogoti hak-hak perempuan dalam konteks beragama sekaligus bernegara, terlebih kejadian ini berada di bawah tanggung jawab sebuah badan negara. Kejadian ini menjadi momok dari sikap diskriminatif terhadap pakaian dan busana perempuan yang diciptakan oleh sebuah institusi pemerintah.
Kemerdekaan menggunakan jilbab bagi perempuan muslim di Indonesia tidak hanya merupakan hak yang dijamin oleh konstitusi, tetapi juga merupakan kewajiban religius yang diatur dalam syariat Islam. Dalam konteks negara Indonesia yang berlandaskan pada Pancasila dan UUD 1945, kebebasan beragama, termasuk dalam hal berpakaian sesuai dengan ajaran agama, dilindungi dan dijamin oleh negara.Â
Kewajiban Berjilbab dalam Islam
Dalam Islam, kewajiban menutup aurat, termasuk menggunakan jilbab, bagi perempuan Muslim didasarkan pada beberapa ayat dalam Al-Qur'an. Dua ayat yang sering dijadikan landasan utama adalah:
Surah An-Nur (24:31):
"Dan katakanlah kepada para perempuan yang beriman, agar mereka menjaga pandangannya, dan memelihara kemaluannya, dan janganlah menampakkan perhiasannya (auratnya), kecuali yang (biasa) terlihat. Dan hendaklah mereka menutupkan kain kerudung ke dadanya..."
Ayat ini menegaskan pentingnya bagi perempuan Muslim untuk menjaga aurat mereka dengan menutupkan kain ke tubuh mereka, yang sering diterjemahkan sebagai kewajiban mengenakan jilbab atau penutup kepala dan dada.
Surah Al-Ahzab (33:59):
"Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu, dan istri-istri orang mukmin: 'Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka'. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."
Ayat ini lebih lanjut mempertegas perintah bagi perempuan Muslim untuk mengenakan jilbab, yang meliputi seluruh tubuh, sebagai tanda identitas dan perlindungan dari gangguan.
Kedua ayat tersebut jelas menunjukkan bahwa berjilbab adalah kewajiban bagi perempuan Muslim yang merupakan bagian dari ketaatan kepada Allah dan bagian dari syariat Islam. Dengan demikian, mengenakan jilbab bukan hanya pilihan pribadi, tetapi juga kewajiban religius yang diatur dalam Al-Qur'an.
Pasal 29 UUD 1945 dan Perlindungan Kebebasan Beragama
Pasal 29 UUD 1945, sebagaimana telah disebutkan, menjamin kebebasan setiap warga negara untuk memeluk agama dan beribadah menurut keyakinannya. Ayat (2) dari Pasal 29 menyatakan bahwa "Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu."
Hak untuk mengenakan jilbab, sebagai bentuk ekspresi dari keyakinan agama Islam, jelas berada di bawah perlindungan Pasal 29 UUD 1945. Dengan demikian, perempuan Muslim di Indonesia memiliki hak konstitusional untuk mengenakan jilbab tanpa takut diskriminasi atau pelarangan.
Pelarangan Jilbab: Pelanggaran Terhadap Dua Konstitusi
Tindakan diskriminatif yang melarang perempuan Muslim mengenakan jilbab tidak hanya melanggar konstitusi Indonesia, tetapi juga menciderai syariat Islam yang menjadi landasan kewajiban tersebut. Ini merupakan bentuk intoleransi yang merugikan dua konstitusi:
Menciderai Syariat Islam:Â Melarang penggunaan jilbab berarti menghalangi seorang Muslimah untuk menjalankan kewajiban agama yang diperintahkan dalam Al-Qur'an. Hal ini adalah bentuk pelanggaran terhadap hak individu untuk menjalankan ajaran agama yang diyakininya.
Menciderai UUD 1945: Pelarangan jilbab juga merupakan pelanggaran terhadap hak konstitusional yang dijamin oleh Pasal 29 UUD 1945. Negara memiliki kewajiban untuk melindungi kebebasan beragama setiap warganya, termasuk kebebasan dalam menjalankan ajaran agama dalam bentuk berpakaian.
Kemerdekaan menggunakan jilbab di Indonesia adalah hak yang dijamin oleh dua konstitusi: pertama, oleh syariat Islam yang mengatur kewajiban bagi perempuan Muslim untuk menutup aurat, dan kedua, oleh Pasal 29 UUD 1945 yang melindungi hak kebebasan beragama dan menjalankan keyakinan agama. Oleh karena itu, tindakan diskriminatif yang melarang penggunaan jilbab adalah bentuk pelanggaran terhadap kedua konstitusi ini dan mencerminkan sikap intoleran yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip dasar negara Indonesia. Perlindungan terhadap hak mengenakan jilbab adalah esensi untuk menjaga kebhinekaan, toleransi, dan keharmonisan sosial di Indonesia.Â
Keragaman agama di Indonesia adalah keniscayaan yang harus dikelola dengan bijak. Pancasila, dengan sila-silanya yang mendorong persatuan dan kesatuan, seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan berbagai keyakinan agama. Pancasila, sebagai suatu pandangan hidup, memiliki potensi untuk menjadi dasar beragama yang kokoh dan inklusif. Sila pertama, "Ketuhanan Yang Maha Esa", menyiratkan pengakuan akan keberadaan Tuhan sebagai sumber segala kehidupan dan kebijaksanaan. Namun, sila ini tidak mengikat pada suatu agama tertentu, melainkan mengajarkan toleransi dan penghormatan terhadap keberagaman keyakinan agama. Oleh karena itu, berpancasila dalam konteks beragama adalah menerima keberagaman dan mengakui bahwa ketaatan pada agama masing-masing merupakan hak asasi yang harus dihormati.
Jika pada dasarnya seorang perempuan Muslim bisa berjilbab sesuai konstitusi syariat Islam, kenapa harus dipaksa tidak berjilbab?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H