Mohon tunggu...
Ryan W Januardi
Ryan W Januardi Mohon Tunggu... Administrasi - Statistisi

ASN | Statistisi | Peneliti Statistik Sosial dan Kependudukan | Pembelajar dan Petualang

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Milenialisasi Pertanian, Rebranding Menuju Pembangunan Pertanian Berkelanjutan

4 Mei 2019   06:18 Diperbarui: 4 Mei 2019   06:27 679
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pertanian Antar Sensus 2018, BPS

Belakangan ini, diksi milenial (millennial) terus bertebaran di berbagai tulisan, baik di dunia nyata maupun dunia maya. Seolah naik daun, apalagi sekarang dibumbui "zaman now". Lema ini muncul entah bersifat peyoratif atau bukan, saya pribadi tidak tahu. 

Tapi yang jelas, diksi ini terus menggema. Secara praktis, menyembulnya lema 'milenial', disebabkan struktur penduduk yang didominasi generasi emas milenial (lahir tahun 1980-2000).

Badan Pusat Statistik (BPS) memperkirakan, Indonesia akan menikmati era bonus demografi pada tahun 2020-2035. Pada masa tersebut, jumlah penduduk usia produktif yang rata-rata adalah generasi milenial diproyeksi berada pada grafik tertinggi sepanjang sejarah, mencapai 64 persen dari total jumlah penduduk Indonesia yang sebesar 297 juta jiwa. Jumlah generasi milenial yang melimpah ini harus dimanfaatkan dengan baik. Sebab jika tidak, bisa saja menjadi musibah demografi.  

Salah satu yang menjadi ancaman saat ini adalah menurunnya sumber daya manusia di sektor pertanian, sementara jumlah penduduk terus meningkat yang artinya kebutuhan pangan meningkat pula. Sejauh ini, untuk seukuran negara agraris, masyarakat kita justru seringkali dihadapkan pada persoalan yang menyangkut 'perut'. 

Bisa dikatakan, kendala seputar isu pangan mulai dari kelangkaan komoditas hingga soal harga bahan pangan yang membubung tinggi, sudah menjadi permasalahan yang 'lumrah' terjadi di kalangan masyarakat kita. Jika kita telusuri akar dari permasalahan ini, sebenarnya ada banyak hal mendasarinya. 

Dan perlu dipahami pula, permasalahan tidak semata-mata terjadi karena menurunnya kualitas agroekosistem, membanjirnya produk impor, stagnasi produksi saja, tetapi menurunnya jumlah petani hingga mandeknya regenerasi petani muda, juga belakangan menjadi masalah serius yang tengah dihadapi pemerintah saat ini. 

Ironi krisis regenerasi petani muda sempat disinggung pada Sidang Terbuka Dies Natalis IPB Ke-54 oleh Presiden Joko Widodo. Sindiran yang dilemparkannya tak lepas dari kegelisahannya menatap pertanian Indonesia di masa depan. Jika kebanyakan lulusan perguruan tinggi berbasis ilmu pertanian di Indonesia (IPB) bekerja di perbankan maupun bidang lain non pertanian. Lantas siapakah yang akan menjadi petani?

Hasil Survei Pertanian Antar Sensus (SUTAS) yang dilakukan oleh BPS pada 2018 lalu memperlihatkan bahwa jumlah petani mengalami penurunan dalam lima tahun terakhir. Pada tahun 2018 tercatat jumlah petani di Indonesia ada sebanyak 27 juta petani, jumlah ini mengalami penyusutan sebesar 4 juta petani jika dibandingkan tahun 2013. Dilihat dari komposisi umurnya, petani-petani Indonesia juga tak banyak yang muda lagi.

Sumber: Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pertanian Antar Sensus 2018, BPS
Sumber: Sensus Pertanian 2013 dan Survei Pertanian Antar Sensus 2018, BPS

Persentase petani muda (di bawah 45 tahun) mengalami penurunan sekitar 4 persen, sementara pada saat bersamaan proporsi petani tua (di atas 54 tahun) bertambah sebesar 3 persen. Demikian halnya petani tertua usia 65 tahun ke atas juga mengalami peningkatan dari 12,75 persen pada 2013 menjadi 13,81 persen pada 2018. Sebaliknya, petani usia termuda di bawah 25 tahun tidak mengalami peningkatan signifikan alias stagnan.

Fakta ini menunjukkan bahwa petani di Indonesia masih didominasi oleh generasi tua. Berdasarkan hasil survey LIPI hampir tidak ada anak petani yang ingin menjadi petani. Hanya sekitar 4 persen pemuda usia 15-35 tahun berminat menjadi petani. 

Sisanya, sebagian besar tergiring industrialisasi. Lebih rumit lagi, dari jumlah petani yang ada, sekitar 65 persen sudah berusia diatas 45 tahun. Artinya, jumlah petani yang berganti ke okupasi ke luar sektor pertanian lebih besar dibanding anak muda yang bersedia menekuni usaha pertanian. 

Generasi milenial memang tidak gemar bertani, menguras keringat dan tak banyak untung yang didapat. Makanya para petani yang mayoritas lanjut usia, tak lagi punya penerus. 

Generasi milenial lebih memilih bekerja di sektor nir-pertanian karena merasa lebih menjanjikan dari sisi upah dan kelayakan kerja. Bahkan, orang tua yang berprofesi sebagai petani pun mendambakan anaknya untuk memiliki pekerjaan yang lebih baik di luar sektor pertanian. 

Kondisi ini tentu akan berimplikasi bagi keberlanjutan sektor pertanian Indonesia. Bila hal ini dibiarkan, untuk beberapa tahun ke depan, kita betul-betul akan mengalami kelangkaan logistik (logistic scarcity). Dan pastinya, menekan sektor lain yang harus impor bahan baku dengan biaya tak menentu.

Sebetulnya, penurunan tersebut adalah sesuatu yang wajar untuk negara berkembang seperti Indonesia. Struktur ekonomi negeri ini tengah bertransformasi menuju perekonomian yang didominasi sektor industri. Tak salah jika generasi milenial tergiring industrialisasi, namun tak benar juga bila sektor pertanian sepenuhnya ditinggalkan. 

Milenialisasi Pertanian, Tak Melulu Hasilkan Petani Muda Milenial

Saat ini, dua sektor fundamental, yaitu pertanian dan industri rasanya menjadi akar perekonomian dan perlu perhatian lebih di zaman milenial ini. Karena jelas, penyerapan tenaga kerja dan pertambahan nilai ekonomi ada dalam keduanya. PDB Indonesia ditopang oleh dua sektor ini, industri di posisi pertama dan pertanian di posisi kedua. 

Akan tetapi, perlu diingat bahwa keduanya layaknya dua mata pisau yang apabila tidak dimanfaatkan dengan benar akan menjadi musibah bagi negara kita. Mengolaborasikan keduanya adalah salah satu jalan mengatasi masalah ini.

Seringkali, persepsi bertani oleh anak-anak muda diidentikkan suatu pekerjaan yang menguras keringat, mencangkul di sawah, panas di bawah terik matahari dan melelahkan. Persepsi seperti inilah yang harus didekonstruksi dan merekonstruksinya agar anak muda memiliki penilaian baru terhadap sektor pertanian. Bagi generasi milenial, pertanian tidak melulu bercocok tanam di sawah. 

Berbagai usaha pertanian mulai dikembangkan mulai dari pertanian organik hingga usaha tani non tanah seperti hidroponik dan aeroponik. Pertanian modern seperti inilah yang harus mulai diperkenalkan sebagai gaya hidup baru petani muda. Utamanya sasaran anak-anak muda di pedesaan. 

Tak hanya soal cara bercocok tanam, sebagaimana yang kita pahami, gen milenial cenderung memiliki ruang ekspresi dalam hal teknologi. Petani milenial tentunya diharapkan lebih adaptif dalam pemahaman teknologi digital, sehingga tidak kaku dalam melakukan identifikasi dan verifikasi teknologi 

Tak melulu ditekankan pada aktivitas hulu pertanian pula, aktivitas hilir seperti distribusi hasil panen dan pemasarannya pantas digiring ke aktivitas milenial. Selama ini, distribusi dan pemasaran, menjadi fase yang tak diacuhkan. Dianggap tak penting. Bahkan pemerintah pun meremehkan. Pemerintah hanya melirik peningkatan produksi dan produktivitas. Padahal fase distribusi menjadi penentu kesejahteraan petani. 

Kemunculan agripreneur dalam platform online, merupakan salah satu bumbu milenial dalam pertanian yang diharapkan dapat mengubah stigma negatif di sektor pertanian. Pelaku tani berkolaborasi dengan anak muda milenial. Bukan berarti anak muda menjadi petani. Tapi aktif dalam penjualan, distribusi, dan pemasaran, praktis akan menguntungkan petani. 

Pertama, dipastikan memotong rantai tengkulak. Kedua, mengangkat strata sosial petani. Ketiga, dapat menciptakan lapangan kerja, tak hanya di sektor pertanian tapi juga di sektor bisnis lain.

Tak hanya anak muda yang jadi perhatian, petani saat ini (petani tua) pun perlu 'dimilenialkan'. Arah pengelolaan pertanian Indonesia saat ini sudah seharusnya menyesuaikan perkembangan zaman yang trennya adalah digitalisasi. 

Maraknya usaha rintisan (start up), seperti TaniFund, Crowde, dan Tanijoy yang menyasar pelaku tani bermanfaat untuk menghubungkan pemodal dan petani. Ini tentu menggembirakan agar di satu pihak tidak terjadi 'digital-gap', di lain pihak agar petani menjadi bagian aktif dalam memanfaatkan revolusi industri 4.0. 

Demikian pula pembuatan aplikasi berbasis online, seperti aplikasi Katam, Si Mantap, Smart Farming, Smart Green House, Autonomous Tractor, dan Smart Irrigation, dan masih banyak aplikasi di bidang pertanian lainnya yang dapat diakses dengan mudah, kapanpun, dan dimanapun. 

Aplikasi-aplikasi ini sangat memudahkan petani dalam mengolah lahan pertanian, sehingga dapat menunjang efisiensi, serta meningkatkan produksi hasil pertanian. 

Yang jadi masalahnya adalah mayoritas petani saat ini merupakan generasi tua. Keterbatasan pendidikan sejumlah besar petani, jangan sampai justru gagal paham terhadap digitalisasi pertanian. Maka, pemerintah diharapkan bisa memberi pelatihan dan pendampingan pada petani tua untuk dapat berkolaborasi dengan anak-anak muda dan teknologi zaman now. 

Kabar baiknya, saat ini Kementerian Pertanian telah meluncurkan program Kelompok Tani Milenial. Prioritas utamanya adalah memanfaatkan kelompok tani yang ada saat ini ditambah dengan petani muda milenial dan santri tani, kemudian dapat membentuk usaha bersama. Gaya perpaduan seperti ini diharapkan melahirkan kekuatan baru bagi petani.

Transformasi sektor pertanian yang terencana dengan baik akan meningkatkan nilai tambah produk pertanian dan menciptakan lapangan kerja baru. Sinergi dan kolaborasi semua pihak, baik itu pelaku tani, pelaku industri, pemerintah, dan sektor swasta, baik dari kalangan milenial maupun kalangan tua memiliki peran penting dalam membangun pertanian Indonesia. 

Namun yang lebih utama adalah peran dari pemerintah dalam menetapkan blueprint pertanian yang pasti dan berkelanjutan, serta melakukan penguatan, pengawasan, dan pendampingan terhadap seluruh pelaku tani, khususnya pelaku tani milenial. Sehingga fokus kegiatan pertanian jadi lebih jelas dan petani jadi lebih sejahtera.  

Rebranding pertanian menuju pembangunan pertanian berkelanjutan ialah sebuah keniscayaan untuk membawa jalan perubahan bagi Indonesia baru yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian. Semoga! (RWJ)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun