Setiap awal bulan Mei, ada dua hari yang selalu ramai untuk diperbincangkan, yakni Hari Buruh Internasional pada 1 Mei dan Hari Pendidikan Nasional pada 2 Mei. Dua momen besar yang berdekatan ini sudah sepatutnya kita ambil esensinya. Bukan untuk diperingati secara berlebihan tapi untuk sekadar mengingatkan.Â
Kebetulan, pada 1 Mei yang juga hari libur nasional, saya dan rekan kantor menyempatkan diri untuk sejenak mengistirahatkan pikiran dengan berjalan-jalan di Pulau Kapota, Wakatobi.Â
Pulau Kapota merupakan salah satu pulau kecil di Kecamatan Wangi-Wangi Selatan, Wakatobi, terdiri dari 5 desa pesisir yang menyajikan berbagai keindahan alam di dalamnya. Butuh waktu 15-20 menit naik kapal motor dari Pulau Wangi-Wangi untuk bisa mencapai pulau dimana paus sperma sepanjang 9 meter terdampar di sini pada November 2018 lalu.
Sebelumnya saya sama sekali tak terpikirkan untuk menulis artikel tentang dua hari penting ini, sampai saya tiba di Pulau Kapota dan melihat satu fenomena yang membuat saya tersenyum kecut.Â
Tiba di Pelabuhan Kapota pukul 09.00, saya sudah menghubungi antar jemput langganan saya kala itu, sebut saja mas Romi. Sejam berlalu namun jemputan belum kunjung tiba, dihubungi kembali pun tidak diangkat dan seringnya di luar jangkauan karena sinyal memang agak kurang bagus di Pulau Kapota.Â
Tak lama setelah itu, lima orang anak kecil mengendarai motor roda tiga angkutan barang (di sini akrab disebut Viar, karena mereknya Viar) datang di pelabuhan, dengan suaranya yang agak berisik (kalau diibaratkan, seperti suara Kopaja di jalan off-road).Â
Untuk menghemat waktu, pikir kami, bagaimana kalau menyewa jasa mereka saja untuk antar jalan-jalan di Pulau Kapota, mengingat panasnya Wakatobi dan medan yang agak susah tak mungkin kami berjalan kaki di sini.Â
"Dek, bisa antar kami jalan-jalan ke danau dan Desa Kolo tidak?", tanya saya pada mereka. "Bisa, tapi sebentar ya, kami antar barang ini dulu ke rumah orang, tidak jauh kok dari sini", anak yang membawa motor menimpali.Â
Di saat para buruh dan pekerja berdemo. 'Buruh anak' ini rela mengorbankan waktu santai mereka di tanggal merah untuk mengangkut dua sak semen dan lima dus keramik yang cukup berat demi rupiah yang dijanjikan pada mereka.Â