Soemardjan menambahkan pendidikan tinggi adalah kunci untuk mencapai tingkat elite puncak dalam masyarakat non tradisional. Pada saat itu memang kenaikan kelas atas baru ini dibarengi dengan merosotnya kelas kaum bangsawan.
Awalnya digunakan sebagai penyambung tongkat kekuasaan asing dengan pribumi yang dijajah, kaum cendekiawan berkembang sebagai pribumi-pribumi yang pandai. Mereka menjadi pemikir-pemikir gagasan revolusioner yang akhirnya membawa Indonesia kepada kemerdekaan. Catatan pentingnya, mereka menjadi agen perubahan yang efektif.
“Mereka dikaruniai dengan kesadaran nasional, pencarian kebebasan dan hasrat untuk mencapai kesamaan yang telah diajarkan, tetapi tidak dilaksanakan oleh Belanda,” tulis Soemardjan.
Secara perlahan rakyat pun dengan senang hati menerima kepemimpinan kaum ini. Perbedaan yang mencolok dibandingkan dengan bangsawan adalah keterbukaan untuk masuk ke dalam kelompok ini. Bangsawan tertutup dan terbatas pada keturunan penguasa, sedangkan cendekiawan dapat dimasuki melalui saluran-saluran pendidikan dan keanggotaan partai.
Di kemudian hari, kaum cendekiawan ini yang mengikuti perundingan-perundingan yang digagas PBB. Pada saat itu organisasi dunia ini membentuk komisi yang menjembatani penyelesaian konflik politik dan militer antara Indonesia dengan Belanda tahun 1945-1950. Karena perundingan internasional, kedua pihak sering menggunakan istilah-istilah dalam bahasa asing, yaitu Inggris dan Belanda.
“Mereka yang tidak mengerti bahasa Belanda maupun Inggris berusaha keras untuk menguasai istilah-istilah politik asing yang baru itu. Mereka mengira sudah memperoleh corak intelektuil dan prestise sosial karena penggunaan bahasa itu,” catat Selo Soemardjan.
Penggunaan istilah asing kemudian menjadi tren politik. Tren ini menyebar juga hingga ke pemerintahan daerah, termasuk Yogyakarta. Soemardjan mencatat, para anggota dewan legislatif maupun eksekutif menggunakan istilah ini dalam rapat ataupun pidato.
Soemardjan mencatat seringkali ditemui dalam pidato politik, mereka mengutip tiga atau empat kutipan kalimat panjang dari buku-buku berbahasa Inggris. Parahnya, mereka sering tidak sadar kalau tidak ada hubungan antara kutipan tersebut dengan hal yang mereka bicarakan.
Barangkali, rakyat yang mendengarkan pidato mereka juga tidak sadar (karena tidak tahu bahasa Inggris). Namun penggunaan bahasa asing dalam pidato itu diyakini menaikkan prestise pejabat karena rakyat akan memandangnya sebagai bagian dari kaum cendekiawan yang berpendidikan dan punya kesadaran nasional yang lebih dari rakyat biasa.
Singkat kata, penggunaan istilah bahasa asing oleh pejabat politik pasca revolusi sosial semata untuk menaikkan prestise. Dengan kata lain, digunakan untuk mengelabui rakyat—yang saat itu memang masih punya akses terbatas pada pendidikan dan informasi.