Laut China Selatan (LCS) telah menjadi pusat perhatian geopolitik global karena sengketa wilayah yang kompleks antara sejumlah negara. Ancaman konflik di Laut China Selatan dapat berdampak pada kedaulatan negara-negara yang berdekatan serta Indonesia sendiri, karena Indonesia memiliki perbatasan maritim dengan wilayah tersebut. Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mempelajari ancaman konflik di Laut China Selatan terhadap kedaulatan Indonesia, memberikan solusi, dan menekankan tujuan yang jelas untuk mengatasi masalah ini dari perspektif penulis.
Sebelum masuk ke pembahasan yang lebih jauh, ada baiknya kita menelusuri terlebih dahulu sejarah penyebab terjadinya konflik di Laut China Selatan. Hal ini awalnya terjadi setelah Perang Dunia II pada tahun 1947. Saat itu, Angkatan Laut Republik China menguasai beberapa pulau di LCS yang sebelumnya dikuasai Jepang dalam perang dan dibatasi dengan 11 garis putus-putus atau disebut sebagai eleven-dash line. Pada 1950-an, dua garis putus-putus dihilangkan dari peta tersebut dan tinggal sembilan. Langkah itu diambil Perdana Menteri China Zhou Enlai dengan mengeluarkan Semenanjung Tonkin untuk kawan-kawan komunis di Vietnam Utara yang sedang berupaya melawan Vietnam Selatan yang baru merdeka dan menjadi andalan dari Blok Barat di Asia. Oleh sebab itu, eleven-dash line berubah menjadi nine-dash line dan dinyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis tersebut merupakan wilayah teritorinya termasuk Kepulauan Spratly dan Paracel.
Peta ini kemudian kembali ditegaskan ketika Partai Komunis berkuasa pada tahun 1953. Pengklaiman ini didasarkan pada sejarah China kuno mulai dari Dinasti Han (2 SM) hingga Dinasti Ming dan Dinasti Qing (13 SM). Aspek-aspek historis inilah yang menjadi alasan kuat bagi China untuk mempertahankan kepemilikannya. Pengklaiman 80-90% Â wilayah LCS oleh China pun memantik ketegangan antara negara-negara yang berbatasan langsung dengan wilayah LCS tersebut. Negara-negara tersebut adalah Brunei Darussalam, Malaysia, Filipina (mengklaim sebagian wilayah Laut China Selatan khususnya Kepulauan Spartly/Kepulauan Kalayaan dan Scarborough Shoal), Taiwan, dan Vietnam (turut mengklaim kepemilikan Kepulauan Paracel dan Kepulauan Spartly) yang mendasarkan kepada aturan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE).
Selanjutnya kita beralih ke alasan negara-negara tersebut sangat gigih dalam memperebutkan wilayah tersebut selain alasan yang didasarkan pada ZEE. Dari segi wilayah strategis, perairan ini merupakan salah satu gerbang komersial yang sangat krusial bagi sejumlah jalur pelayaran dan sebagian besar industri logistik dunia karena merupakan jalur tercepat dari Samudera Pasifik ke Samudera Hindia yang menghubungkan Asia Timur dengan India, Asia Barat, Eropa, dan Afrika.
Menurut Kepala Badan Keamanan Laut (Bakamla), Laksamana Madya TNI Aan Kurnia, mengungkapkan bahwa  terdapat tiga faktor utama yang menyebabkan wilayah tersebut diperebutkan pada diskusi daring yang digelar DPP GMNI pada Jumat, 26 Juni 2020.
Pertama, LCS merupakan wilayah yang banyak dilewati oleh kapal-kapal perdagangan yang mengangkut barang-barang perdagangan dan energi. Selain itu, China pun sangat bergantung pada impor minyak dari Timur Tengah yang mana 80% melalui wilayah laut. Wilayah ini juga dilalui 50% kapal tanker pengangkut minyak global. Jumlah kapal ini 3 kali lebih banyak dari kapal yang melewati Terusan Suez dan 5 kali lebih banyak dari Terusan Panama serta lebih dari setengah dari 10 pelabuhan pengiriman terbesar di dunia.
Kedua, LCS memiliki cadangan minyak sebesar 11 miliar barel dan 190 triliun kaki kubik gas yang jumlahnya cukup untuk memenuhi kebutuhan energi nasional negara. Belakangan ini pun ditemukan sebuah ladang minyak di LCS sebanyak 102 juta ton minyak ekuivalen pada Jumat 8 Maret 2024, menurut China National Offshore Oil Corporation (CNOOC).
Ketiga, potensi sumber daya alam perikanan yang cukup besar karena merupakan laut setengah tertutup dengan luas sekitar 3,5 juta kilometer persegi yang memiliki sumber pakan berlimpah seperti ikan layur, makarel, scraper hitam, teri, udang, hingga ikan kecil lainnya.
Dari ketiga faktor ini, dampak sengketa yang jelas yaitu kehadiran kekuatan militer negara besar non-claimant state seperti Amerika Serikat dan Australia yang menciptakan sejumlah dinamika internasional antara claimant state dan negara pengguna. Ancaman konflik ini terhadap kedaulatan Indonesia dapat disederhanakan menjadi beberapa hal yang akan dijelaskan sebagai berikut.
Pertama, klaim wilayah yang bersaing. Negara-negara yang memiliki klaim yang tumpang tindih atas wilayah LCS dapat menciptakan ketegangan yang berpotensi mengancam kedaulatan Indonesia, khususnya wilayah perbatasan maritim. Akibat dari sengketa ini, ZEE Indonesia di wilayah Laut Natuna Utara terancam karena peningkatan agresivitas China. Upaya perundingan yang semakin memperkeruh hubungan China dan Indonesia menjadikan Indonesia harus waspada terhadap ancaman China dan perlu mempertahankan wilayah Laut Natuna Utara dari ancaman China.
Kedua, eskalasi militer dan aktivitas penyelundupan. Dua hal ini tentu dapat meningkatkan risiko konflik. Indonesia menjadi rentan terhadap dampak negatif dari aktivitas-aktivitas tersebut, baik dalam hal kedaulatan maritim maupun keamanan nasional. Dalam memiliterisasi wilayah ini, pihak China memfokuskan pembangunan pangkalan militer beserta fasilitas penunjang lainnya di Pulau Spartly dan Pulau Paracel (Pambudi, 2019). Selain itu, ditempatkan pula unit paramiliternya untuk mendukung tugas pengamanan wilayah LCS. Salah satu insiden nyata yang memicu konfrontasi antar pihak otoritas keamanan kedua negara ini adalah insiden penangkapan Kapal Han Tan Chou oleh TNI AL dengan menggunakan KRI Imam Bonjol. Pihak Coast Guard China meminta untuk melepaskan kapal tersebut, tetapi ditolak. Akibatnya pihak Coast Guard tersebut melakukan manuver provokatif terhadap KRI Imam Bonjol. Insiden ini menunjukkan bagaimana pihak asing seperti Tiongkok dapat dengan mudah masuk ke dalam wilayah perbatasan Indonesia yaitu perairan Natuna Utara dengan menggunakan nelayan yang diduga adalah bentuk penyamaran dari pasukan paramiliter yang termasuk dalam bagian dari PAFMM (People Armed Force Maritime Militia) yang ditempatkan di beberapa pulau di LCS yang telah dimiliterisasi.
Ketiga, penyusupan kapal asing. Menurut Kepala Bakamla, beberapa wilayah RI berpotensi terdampak jika tensi AS-China memanas di LCS, terutama wilayah perairan Natuna Utara. Bahkan lebih parahnya penduduk di Natuna akan menjadi korban dan ikut terjun dalam konflik panas tersebut. Indonesia seharusnya tidak hanya mengklaim memiliki wilayah perairan Natuna, tetapi harus dibarengi dengan aksi nyata yang berupa hadirnya simbol negara di wilayah tersebut. Namun, ZEE tidak pernah dimaksudkan berfungsi sebagai zona keamanan dan UNCLOS juga menjamin hak lintas luas bagi kapal laut dan pesawat militer.
      Dari ketiga contoh ancaman tersebut, tentu saja ada beberapa solusi yang dapat ditawarkan demi menjaga kedaulatan NKRI di wilayah tersebut. Beberapa solusi ini sudah banyak yang diterapkan dan kedepannya dalam pelaksanaannya akan lebih baik lagi. Sebenarnya, terkait dengan konflik LCS, United Nations Convention on the Law of the Sea atau UNCLOS tahun 1982 telah memberikan guideliness terkait tata cara melakukan klaim atas wilayah/fitur tersebut untuk menyelesaikan perbedaan interpretasi melalui proses dan persyaratan yang diatur dalam Article 74 dan Article 123. Namun guideliness ini kurang dijadikan pedoman oleh setiap negara pengklaim ditambah lagi dengan kehadiran dan kepentingan negara bukan pengklaim, khususnya terkait kepastian keamanan jalur pelayaran internasional yang tidak terhambat sehingga menyebabkan masalah menjadi lebih kompleks dan rumit. Klaim ini dapat mengakibatkan terjadinya konflik yang berkepanjangan antara kepentingan negara dan kewajiban internasional terkait pemberian akses/transit di kawasan tersebut sesuai UNCLOS 1982 dan tidak terlihat solusi praktis yang sebetulnya telah tersedia dari praktik kelaziman hukum internasional. Beberapa solusi tersebut antara lain adalah:
- Diplomasi Aktif
Upaya diplomasi ini sudah seringkali dilakukan oleh pemerintah Indonesia (Sulistyani et al., 2021). Upaya pertama yang dilakukan pemerintah Indonesia adalah pengiriman nota protes kepada pemerintah Tiongkok pada tahun 2016, 2019, dan 2020Â dikarenakan pelanggaran kegiatan IUU fishing kapal-kapal nelayan dan pelanggaran kedaulatan coast guard di perairan Natuna. Namun, pihak Tiongkok menyanggah dan menyatakan bahwa Tiongkok berhak secara historis dan berdaulat atas perairan di LCS.
Setelah mengirimkan nota protes, pemerintah Indonesia menunjukkan sinyal kepada Tiongkok melalui kunjungan pertama Presiden Joko Widodo ke Natuna pada 23 Juni 2016 dalam rangka rapat kabinet terbatas di KRI Imam Bonjol beserta jajarannya. Kunjungan kedua adalah ketika meninjau Latihan Puncak Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI AU) Angkasa Yudha 2016. Hal ini menjadi bentuk penegasan bahwa kepulauan dan perairan Natuna merupakan bagian dari wilayah kedaulatan Indonesia.
Upaya selanjutnya adalah perilisan peta Negara Kesatuan Republik Indonesia versi baru pada tahun 2017. Peta ini ditandatangani oleh Kementrian Koordinator Bidang Kemaritiman beserta 21 kementerian dan lembaga terkait lainnya. Hal yang baru pada peta ini adalah penamaan Laut Natuna Utara yang menggantikan nama Laut Cina Selatan. Menurut Arif Havas Oegroseno, terdapat dua alasan bagi pemerintah Indonesia menamakan Laut Natuna Utara yaitu untuk mencegah kebingungan di antara pihak-pihak yang ingin mengeksploitasi sumber daya yang ada di perairan tersebut dan memberi petunjuk yang jelas kepada tim penegakan hukum di Angkatan Laut Indonesia.
Tidak hanya itu, Indonesia juga memperkuat posisinya dengan mengembangkan Kepulauan Natuna dari sisi pembangunan ekonomi dan manusia. Aksi nyata yang telah dilakukan pemerintah adalah pembagian sertifikat lahan kepada 102 warga Natuna sebagai bukti hak hukum atas lahan, pemberian motivasi kepada 470 nelayan dari Pulau Jawa yang telah bersedia berlayar di perairan Natuna. Aktivitas ini menjadi poin penting sebagai bukti kuat bahwa Natuna merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Indonesia.
Upaya diplomasi terakhir adalah penerapan strategi keberatan berkesinambungan dengan mengirimkan nota diplomatik ke PBB terkait klaim Tiongkok terhadap klaim LCS. Beberapa hal yang ditekankan antara lain bahwa Indonesia bukan merupakan pihak yang bersengketa di Laut China Selatan dan Indonesia juga menolak klaim nine-dash line Tiongkok karena tidak memiliki dasar hukum internasional. Upaya diplomasi yang dilakukan oleh Indonesia dengan secara berkesinambungan menunjukkan keberatan atas klaim Tiongkok dapat menunjukkan secara jelas dan konsistennya posisi Indonesia dalam sengketa LCS, serta menegaskan hak berdaulat penuh atas ZEE Indonesia di perairan Natuna yang berbatasan langsung dengan LCS.
Selain itu, pemerintah Indonesia juga sering menyuarakan penyelesaian sengketa ini yang telah diinisiasi sejak 22 Juli 1992 ketika ASEAN membuat Declaration on the South China Sea hingga pertemuan ASEAN Summit ke-37 pada November 2020 dengan harapan terbentuk Code of Conduct (CoC) yang substantif dan efektif terhadap semua hal yang berkaitan dengan LCS. Berdasarkan harapan Menko Polhukam Hadi Tjahjanto dalam webinar ISDS, diharapkan perundingan CoC ini dapat difinalisasi pada tahun 2025 sebagai dokumen yang efektif, substantif, dan aksionabel untuk menghindari eskalasi dan sekaligus meningkatkan mutual thrust dan mutual confidence diantara negara-negara yang berkepentingan di LCS.
- Peningkatan dan Penyiagaan Kekuatan Militer
Pemerintah telah menyiagakan kekuatan militernya untuk menciptakan deterrence effect kepada Tiongkok sebagaimana instruksi Presiden Joko Widodo kepada TNI AL, TNI AU, dan Bakamla RI untuk menjaga kedaulatan dan keamanan territorial Indonesia.
Pada tahun 2020, melalu pemerintah, TNI AL lebih mengedapankan kekuatan militernya ditandai dengan pengerahan sejumlah kapal perang, yaitu KRI Karel Satsuit Tubun (356), KRI Usman Harun (359) dan KRI John Lie (358) ketika mengusir kapal nelayan dengan dikawal oleh coast guard Tiongkok saat mencari ikan di perairan Natuna.
Pada tahun 2016, TNI AU menggelar latihan puncak di Pulau Natuna. Selain itu, pada Januari 2020 TNI AU mengerahkan empat jet tempur F-16 menuju Natuna yang akan bersiaga di Pangkalan TNI AU (Lanud) Raden Sadjad di Ranai, Natuna untuk melaksanakan patroli pengamanan wilayah kedaulatan Indonesia.
Tidak hanya itu, Bakamla RI juga berperan aktif ambil andil dalam upaya penegakan wilayah kedaulatan NKRI di Natuna. Sebagai koordinator dalam pengamanan laut, Bakamla RI sering kali dihadapkan pada sejumlah tindakan pelanggaran seperti pencurian ikan oleh kapal asing dan dilindungi oleh coast guard yang bahkan membantu dalam proses melarikan diri kapal asing tersebut. Oleh karena itu, sebagai langkah antisipatif, melalui Kementrian Pertahanan, pemerintah Indonesia mengizinkan kapal-kapal patroli Bakamla RI untuk dipersenjatai sejak Agustus 2020.
- Kerja sama Pertahanan
Indonesia harus membangun kerja sama pertahanan dengan negara-negara tetangga untuk meningkatkan kemampuan pertahanan bersama dan memperkuat posisi kolektif dalam menanggapi ancaman regional. Ini dapat mencakup latihan militer bersama, pertukaran intelijen, dan pengembangan kapasitas pertahanan.
Berdasarkan info terakhir, beberapa bulan ke depan Indonesia dan Australia akan menandatangani Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (DCA). Hal ini dapat terlihat dari antusiasme Australia. Hal ini berhubungan dengan perhitungan tentang semakin kuatnya ekonomi dan militer China serta agar lebih selaras dalam kerjasama maritim dan meningkatkan UCLOS. Pemerintah Australia akan membantu Indonesia melindungi ZEE Indonesia.
Menurut (Wasito et al., 2022), disebutkan bahwa Indonesia dapat melaksanakan kerja sama dengan Amerika Serikat karena memiliki latar belakang kepentingan yang sama. Dari penelitian yang telah dilakukan, strategi kerja sama yang dapat digunakan adalah SO (Strengths-Opportunity), yaitu pelaksanaan pengelolaan sumber daya manusia dengan memaksimalkan kemampuan lembaga negara sesuai dengan budaya politik, memaksimalkan pengawasan dan pengendalian lembaga sesuai isu internasional serta kerja sama dan penilaian secara intensif.
Kita tidak boleh tertinggal dari negara Filipina yang tengah melakukan latihan tempur gabungan dengan Amerika Serikat. Selain itu, Prancis dan Australia yang telah meningkatkan hubungan pertahanan dengan Manila dalam menghadapi perilaku agresif China di LCS pun akan bergabung dalam latihan tahunan Balikatan ini.
- Terlibat Aktif di Organisasi Regional
Mengambil peran yang aktif dalam organisasi regional seperti ASEAN untuk memperkuat posisi bersama dan membentuk konsensus dalam menanggapi masalah keamanan regional. NKRI dapat memanfaatkan platform ini untuk memperjuangkan kepentingan maritimnya secara koheren dan efektif. Selain itu, pemerintah dapat mengambil kesempatan untuk memperkuat hubungan dengan negara yang berada dalam di wilayah konflik yang merupakan anggota ASEAN.
- Melakukan evaluasi hubungan kerja sama antara Indonesia dengan China
Banyak sekali pelanggaran yang dilakukan oleh China di wilayah kedaulatan Indonesia tetapi mereka selalu menghindar dan tetap berpegang teguh kepada alasan historis. Terlebih lagi posisi Indonesia sebagai mediator yang jujur yang banyak menginisiasi dialog antara China dengan negara-negara pengklaim di Kepulauan Spratly dan Kepulauan Paracel. Bila pemerintah China tidak mengindahkan protes pemerintah Indonesia dan terus mengulang tindakannya, Indonesia dapat memutuskan kerja sama dari sekian bidang kerja sama dengan China secara perlahan. Pemutusan kerja sama ini harus dengan konsep yang tidak merugikan Indonesia tetapi jika memungkinkan merugikan pihak China. Langkah ini merupakan salah satu langkah yang terbilang ekstrem. Oleh karena itu, perlu dilakukan evaluasi kembali hubungan kerja sama antara Indonesia dengan China.
- Pengenalan serta penekanan wilayah kedaulatan Indonesia sedari dini kepada generasi muda
Kita tidak asing dengan peribahasa tak kenal, maka tak sayang. Oleh karena itu, sebaiknya generasi muda sekarang dikenalkan dengan wilayah-wilayah yang terbentang dari Sabang sampai Merauke, baik dari pulau-pulau yang besar maupun pulau-pulau yang kecil dan dalam hal ini adalah Laut Natuna Utara dan Pulau Natuna. Selain itu, pemerintah dapat mengadakan kunjungan-kunjungan khusus yang ditujukan untuk murid-murid sekolah pilihan agar dapat berkunjung langsung ke pulau tersebut dalam rangka memperkenalkan dan melestarikan Pulau Natuna sehingga dapat menimbulkan rasa kepemilikan dan rasa ingin menjaga pulau tersebut agar kedaulatannya tetap terjaga.
- Peningkatan kesadaran seluruh warga Indonesia terhadap sengketa Laut China Selatan
Peningkatan kesadaran ini sangatlah krusial terutama kesadaran masyarakatakan pentingnya kedaulatan bagi keberlangsungan Negara Kesatuan Republik Indonesia. Seperti halnya yang dilakukan oleh pihak ISDS dengan mengadakan perlombaan menulis dengan tema ini. Secara tidak langsung, informasi mengenai sengketa ini dapat diketahui lebih jauh dan mendalam oleh para peserta dan bahkan seluruh masyarakat umum. Selain itu, penekanan penggunaan kata "Laut Natuna Utara" menggantikan LCS juga akan sangat berpengaruh. Oleh karena itu, pada penulisan kali ini penulis telah merangkum runtutan ancaman kedaulatan dari sejarah, contoh nyata ancaman yang telah terjadi, solusi yang telah dilakukan pemerintah dan solusi lainnya yang dapat dijadikan sebagai referensi bagi pemerintah untuk kedepannya.
Belakangan ini, China pun berulah kembali dengan merilis Peta Standar China Edisi 2023 pada Senin, 28 Agustus 2023 yang bertepatan dengan Pekan Kesadaran Pemetaan Nasional dan Hari Publikasi Survei dan Pemetaan China. Diketahui, China mengklaim peta baru dari nine-dash line menjadi ten-dash line.
Peta Baru tersebut membuat sejumlah negara seperti India, Malaysia, Filipina, hingga Taiwan geram karena disinyalir menabrak batas kedaulatan negara. Peta tersebut disebarkan pertama kali oleh media partisan Partai Komunis China (PKC). Menteri Koordinator Bidan Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) menyatakan bahwa Indonesia secara konsisten menyampaikan keberatan dalam forum internasional soal peta baru yang diklaim China di LCS. Peta baru yang dirilis China berbeda dengan versi yang diserahkan oleh China kepada PBB pada 2009 tentang LCS. Semula area itu dibatasi oleh sembilan garis putus-putus, tetapi kini meluas menjadi sepuluh garis putus-putus. Ten-dash line yang berbentuk huruf U tersebut menunjukkan China seolah telah memperluas klaimnya atas wilayah geografis di LCS yang diperkirakan hingga 90 persen.
Ancaman konflik di Laut China Selatan merupakan tantangan serius bagi kedaulatan Indonesia. Namun, dengan pendekatan yang terukur dan solusi yang inovatif, Indonesia akan dapat mengatasi tantangan ini. Melalui penguatan diplomasi, peningkatan dan penyiagaan kekuatan militer, kerja sama pertahanan, keterlibatan aktif di organisasi regional, evaluasi hubungan kerjasama dengan pihak China, pengenalan dan penekanan wilayah kedaulatan Indonesia, dan peningkatan kesadaran seluruh warga Indonesia terhadap kasus sengketa ini, Indonesia dapat memperkuat posisinya dalam menghadapi ancaman konflik di Laut China Selatan. Sebagai warga negara Indonesia yang baik sudah semestinya kita mendukung setiap langkah yang diambil oleh pemerintah dan Bersatu demi terwujudnya kedaulatan NKRI. Dengan demikian, Indonesia dapat memainkan peran yang lebih aktif dalam mempromosikan perdamaian dan keamanan di wilayah tersebut.
Referensi:
Pambudi, A. W. (2019). Analisa Respon Indonesia Terhadap Militerisasi Tiongkok Di Laut China Selatan Masa Pemerintahan Presiden Joko Widodo 2014-2019. Paradigma POLISTAAT Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik, 2(2), 89--104. https://doi.org/10.23969/paradigmapolistaat.v2i2.1911
Sulistyani, Y. A., Pertiwi, A. C., & Sari, M. I. (2021). Indonesia's Responses amidst the Dynamic of the South China Sea Dispute under Jokowi's Administration [Respons Indonesia di tengah Dinamika Sengketa Laut China Selatan di bawah Pemerintahan Jokowi. Jurnal Politica Dinamika Masalah Politik Dalam Negeri Dan Hubungan Internasional, 12(1), 85--103. https://doi.org/10.22212/jp.v12i1.2149
Wasito, B., Wiranto, S., Harsono, G., Pertahanan, F. S., Pertahanan, U., Selatan, L. C., & Education, J. (2022). Strategi Kerjasama Pertahanan Republik Indonesia. 10(2), 163--166.
Halaman Website:
https://www.beritasatu.com/news/649479/ini-tiga-faktor-mengapa-laut-china-selatan-jadi-rebutan
Aturan Perundangan:
UNCLOS 1982
#KedaulatanIndonesia #JagaNatuna
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H