Tujuh tahun kami bersahabat dan kami mendapat pekerjaan di tempat yang sama juga. Aku sendiri tak tahu bagaimana bisa bersahabat selama ini dan sepekerjaan yang sama dengannya. Hingga kami pernah bersaksi di dalam ikatan yang sah. Pernikahan.
Hidup kami berubah pasca pernikahan. Tentunya lebih harmonis dan romantis. Aku dan Kanda pernah berwisata ke Jerman, sebuah negara di Eropa yang menjadi tim nasional sepak bola favorit kami. Tidak hanya tempat wisatanya saja, Stadion Gottlieb-Daimler di Stuttgart, Jerman pernah kami kunjungi. Di stadion itu menjadi destinasi kami yang terakhir, mengingat timnas Jerman pernah meraih juara ketiga dalam ajang Piala Dunia 2006.
Sebulan di Jerman, kami bersuka ria, bercanda tawa, meski sempat saling usil. Makhlum, pengantin baru. Masih hangat-hangatnya dalam berumah tangga. Yang membuat lebih mengasyikkan lagi, kami menghabiskan waktu hanya berdua. Tak ada sahabat maupun kerabat yang menemani wisata kami. Sungguh masa-masa terindah yang aku lalui bersama Kanda, mutiara kasihku.
***
Hujan yang lalu. Mengingatkanku akan waktu kita pernah bertemu. Dukanya hujan itu, tak ternilai dengan perjuangan jerih payahmu melawan derasnya badai dan ganasnya halilintar untukku. Aku tak ingin merepotkanmu. Tapi apa daya engkau melakukan itu untukku. Aku hanya bisa berbaring terpaku. Melawan hariku yang mungkin tak tentu.
      "Sayang, Aku mohon jangan pergi! Aku rindu akan masa-masa kita yang dulu. Apakah Kamu tak rindu dengan masa itu? Jawablah, Sayangku!" teriaknya, menggenggam erat tanganku dengan tangan basahnya. Aku tak bisa menjawab ungkapan manis dari bibirnya, meski sedikit mengharukan bagi orang lain yang mendengarnya.
      Aku tak tahu bagaimana bisa ia tiba-tiba di sampingku. Menangis dan menggenggam tanganku. Membisikkan kalimat-kalimat yang tak aku sangka sebelumnya.
Mataku terbuka sedikit. Tapi aku tak dapat melihatnya. Jika aku diberi kesempatan melihatnya, aku langsung memeluk erat tubuhnya tanpa berpikir lagi. Siapa pun itu. Tak hanya itu, mungkin linangan air mataku ini tak akan berhenti keluar. Mengalir tak ada hentinya dan tak tahu kapan hentinya. Aku hanya merasakan tetesan air di keningku yang mengalir sampai membasahi pipiku. Aku pikir tetesan itu air hujan yang meresap di kerudungnya. Bukan. Itu air matanya. Entah mengapa bisa seperti ini.
Syukur aku tak sempat melihatnya lalu menangis. Jika itu terjadi, mungkin ia lebih histeris menangisnya.
      "Sayang, ayo bangun! Kita kembali menjalani hidup seperti dulu lagi. Aku mohon sekali kepadamu," teriaknya kembali. Mungkin ia sudah gila. Teriak-teriak tak jelas seperti itu.
      Detak jantung dan nadiku mulai melemah sedikit demi sedikit. Paru-paruku mulai tak bisa menerima udara dari tabung oksigen yang dipasang di hidungku melalui selang oleh dokter beberapa saat lalu. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Selain pekerjaanku sebagai staff karyawan di perusahaan ternama di pusat kota, setiap hari aku tak pernah absen untuk berlari. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, aku berlari dengan menempuh jarak minimal lima ribu meter. Pastinya aku memiliki kondisi fisik yang prima. Organ pernapasan dan peredaran darah di dalam tubuhku sudah terlatih untuk tetap menjaga performaku. Apalagi organ paru-paruku, sudah kuanggap ringan mengatasinya jika terjadi keluhan mendadak.