Jika para jutawan bertanya kepadaku, apa yang paling berharga dan tak tergantikan posisinya di jagad raya ini? Aku hanya menjawab Kanda, mutiara kasihku. Ia bukan segudang uang atau setumpuk emas yang tak bisa dihitung jumlahnya. Ia kekasihku.
Awal aku mengenal Kanda saat kami berteduh dari derasnya hujan di tempat dan waktu yang sama. Di teras sebuah toko yang masih tutup, kami mengawali kisah ini. Layaknya lelaki normal, aku mencoba menjabat tangannya tapi ia tak menjabat tanganku. Wajar saja, aku tak tahu sebelumnya bahwa di balik kerudungnya yang membuatnya tetap suci dari lelaki bukan muhrimnya.
"Sudah lama berteduh di sini, Mbak?"
"Baru saja kok. Sekitar sepuluh menit."
Kebetulan kami tak pernah bertemu sebelumnya, membuat kami saling malu bercerita. Tempat itu hanya ada kami berdua. Aku merasa tak enak berdua bersamanya. Anehnya, ia merasa biasa saja denganku. Tak merasa sedikit sungkan atau curiga denganku. Mungkinkah ia malaikat? Atau bidadari yang diutus oleh Tuhan dari surga untuk menemaniku beberapa saat? Rasanya tak mungkin. Ia manusia biasa, seperti denganku.
Aku lupa membawa ponsel dan tak memungkinkan aku membaca buku mata kuliahku hari itu. Tempat berteduhku terlalu sempit. Hanya menjulurkan tanganku ke depan saja sudah terkena air hujan. Aku memberanikan diri untuk bertanya-tanya dengan Kanda, daripada tak ada lagi yang bisa kami lakukan. Mengingat Kanda sedang melamun memandangi hujan yang tak kunjung reda. Entah apa yang ia lamunkan, aku tak tahu dan bukan urusanku. Aku tak ada maksud macam-macam dengannya. Serius. Yang aku lakukan saat itu hanya mengajak Kanda berbicara, menanti kedatangan pelangi selepas hujan pagi itu. Untung saja ia merespon baik pembicaraanku.
"Maaf, Mbak kuliah atau kerja?"
"Saya kuliah. Kalau Masnya sendiri?"
"Saya juga kuliah."
Kami bercerita banyak hal. Mulai dari kuliah kami yang kebetulan satu jurusan dan seperguruan tinggi, asal daerah kami, hingga bercerita tentang tim sepak bola favorit kami yang sama. Sekejap juga kami bertatapan, sekitar dua detik. Dalam waktu sesingkat itu aku melihat secercah pelangi di kedua bola matanya meski hujan masih mengguyur. Begitu indah dan mengesankan sekali, menurutku. Mungkin ia merasakan hal yang sama denganku. Dilihat dari cara melihatnya saja tak biasa lagi. Lagi-lagi ia tak mungkin seperti itu. Aku saja yang terlalu percaya diri dengannya.
Tujuh tahun kami bersahabat dan kami mendapat pekerjaan di tempat yang sama juga. Aku sendiri tak tahu bagaimana bisa bersahabat selama ini dan sepekerjaan yang sama dengannya. Hingga kami pernah bersaksi di dalam ikatan yang sah. Pernikahan.
Hidup kami berubah pasca pernikahan. Tentunya lebih harmonis dan romantis. Aku dan Kanda pernah berwisata ke Jerman, sebuah negara di Eropa yang menjadi tim nasional sepak bola favorit kami. Tidak hanya tempat wisatanya saja, Stadion Gottlieb-Daimler di Stuttgart, Jerman pernah kami kunjungi. Di stadion itu menjadi destinasi kami yang terakhir, mengingat timnas Jerman pernah meraih juara ketiga dalam ajang Piala Dunia 2006.
Sebulan di Jerman, kami bersuka ria, bercanda tawa, meski sempat saling usil. Makhlum, pengantin baru. Masih hangat-hangatnya dalam berumah tangga. Yang membuat lebih mengasyikkan lagi, kami menghabiskan waktu hanya berdua. Tak ada sahabat maupun kerabat yang menemani wisata kami. Sungguh masa-masa terindah yang aku lalui bersama Kanda, mutiara kasihku.
***
Hujan yang lalu. Mengingatkanku akan waktu kita pernah bertemu. Dukanya hujan itu, tak ternilai dengan perjuangan jerih payahmu melawan derasnya badai dan ganasnya halilintar untukku. Aku tak ingin merepotkanmu. Tapi apa daya engkau melakukan itu untukku. Aku hanya bisa berbaring terpaku. Melawan hariku yang mungkin tak tentu.
      "Sayang, Aku mohon jangan pergi! Aku rindu akan masa-masa kita yang dulu. Apakah Kamu tak rindu dengan masa itu? Jawablah, Sayangku!" teriaknya, menggenggam erat tanganku dengan tangan basahnya. Aku tak bisa menjawab ungkapan manis dari bibirnya, meski sedikit mengharukan bagi orang lain yang mendengarnya.
      Aku tak tahu bagaimana bisa ia tiba-tiba di sampingku. Menangis dan menggenggam tanganku. Membisikkan kalimat-kalimat yang tak aku sangka sebelumnya.
Mataku terbuka sedikit. Tapi aku tak dapat melihatnya. Jika aku diberi kesempatan melihatnya, aku langsung memeluk erat tubuhnya tanpa berpikir lagi. Siapa pun itu. Tak hanya itu, mungkin linangan air mataku ini tak akan berhenti keluar. Mengalir tak ada hentinya dan tak tahu kapan hentinya. Aku hanya merasakan tetesan air di keningku yang mengalir sampai membasahi pipiku. Aku pikir tetesan itu air hujan yang meresap di kerudungnya. Bukan. Itu air matanya. Entah mengapa bisa seperti ini.
Syukur aku tak sempat melihatnya lalu menangis. Jika itu terjadi, mungkin ia lebih histeris menangisnya.
      "Sayang, ayo bangun! Kita kembali menjalani hidup seperti dulu lagi. Aku mohon sekali kepadamu," teriaknya kembali. Mungkin ia sudah gila. Teriak-teriak tak jelas seperti itu.
      Detak jantung dan nadiku mulai melemah sedikit demi sedikit. Paru-paruku mulai tak bisa menerima udara dari tabung oksigen yang dipasang di hidungku melalui selang oleh dokter beberapa saat lalu. Ah, mungkin itu hanya perasaanku saja. Selain pekerjaanku sebagai staff karyawan di perusahaan ternama di pusat kota, setiap hari aku tak pernah absen untuk berlari. Setiap pagi sebelum berangkat kerja, aku berlari dengan menempuh jarak minimal lima ribu meter. Pastinya aku memiliki kondisi fisik yang prima. Organ pernapasan dan peredaran darah di dalam tubuhku sudah terlatih untuk tetap menjaga performaku. Apalagi organ paru-paruku, sudah kuanggap ringan mengatasinya jika terjadi keluhan mendadak.
      Aku bertanya pada diriku sendiri. Mengapa aku tiba-tiba seperti ini? Apa yang sebenarnya terjadi padaku? Dan mengapa aku ada di sini? Apa aku telah mati? Jika aku mati, pastinya aku tak dapat mendengar teriakannya. Meski tak begitu jelas.
      "Sayang.....!!!" teriaknya hingga menggetarkan gendang telingaku.
      Kali ini, aku mendengar teriakannya dengan jelas. Tapi aku tak tahu siapa yang berteriak sekencang itu. Apa mungkin orang tuaku? Kalau itu orang tuaku, pasti mereka berteriak di alam yang berbeda. Alam baka. Aku mencoba membuka mataku hingga terbuka total, namun tetap terbuka sedikit. Meskipun akhirnya tertutup kembali.
"Dokter! Dokter!" teriaknya kembali.
Kali ini, ia berteriak memanggil dokter. Bukan kepadaku. Aku tak tahu mengapa ia memanggil dokter. Mungkinkah ia suster yang merawatku? Atau mungkin isteri dokter? Rasanya tak mungkin. Suster tak mungkin sehisteris itu dan tak mungkin juga isteri dokter yang memanggil suaminya dengan panggilan dokter. Panggilannya saja berbeda. Nadanya seperti orang yang begitu sayang denganku. Tapi siapa ya? Ah, aku biarkan begitu saja. Aku tak tahu siapa ia.
Dokter membuka kancing bajuku, lalu menggosokkan suatu alat secara bersamaan. Tapi, aku tak tahu alat apa itu. Mungkin sejenis teknologi modern di bidang kedokteran. Entahlah apa itu namanya. Aku terpental dari tempatku berbaring saat dokter meletakkan alat itu di dadaku. Terus menerus. Aku tak tahu mengapa hal ini terjadi padaku sekarang. Di pikiranku hanya mencari jalan untuk keluar dari penjara ajal ini. Bagaimana pun caranya.
      Tiga puluh menit dokter menggosokkan alat itu di dadaku. Akhirnya, diletakkan alat itu dan dilepas baju putih yang biasanya ia gunakan untuk menangani orang yang sama denganku.
      "Mohon maaf, Kami telah berusaha sekuat tenaga untuk menanganinya. Tapi, Tuhan telah menunjukkan kuasa-Nya," hatur dokter kepada sosok wanita misterius yang berteriak-teriak kepadaku tadi.
      "Apa, Dok? Ia nggak boleh mati," tanyanya tak percaya.
      "Ia sudah pergi untuk selamanya."
      "Saya akan membayar tagihan rumah sakit ini sekarang juga. Berapa pun besarnya. Asalkan nyawanya dapat tertolong."
      "Kami mohon maaf sekali."
      Ia tak percaya apa yang dokter katakan. Ia berlari menuju tempatku berbaring. Herannya, ia tak memanggilku lagi. Tapi ia memukul-mukul dadaku dengan genggaman tangannya berselimut derasnya air mata. Pukulannya sangat kencang, hingga napasku menjadi sesak. Kalau aku dapat bicara, aku akan melarangnya untuk memukul dadaku dan mengusirnya segera. Karena ia tak tahu betapa sakitnya dada ini dipukul seperti itu. Sakit sekali.
      Pukulannya semakin kencang dan tak terkendali lagi. Dadaku semakin sakit. Napasku semakin sesak. Hingga aku dapat melihat sosok hitam yang akan mengajakku ke alam yang lain. Sungguh, dada sakit dan sesak napas yang tak dapat aku lawan.
      "Sayang! Kamu harus bangun!" teriaknya kembali dengan tetap memukul-mukul dadaku. Air matanya kian mengalir deras seperti hujan disertai badai.
      Saat sosok hitam itu semakin dekat kepadaku. Tiba-tiba aku teringat oleh Kanda yang pernah bermanja dengan memukul dadaku. Mesra. Masa-masa itu yang aku rindukan, hingga aku ingat di detik-detik masaku. Perlahan mataku terbuka. Seketika sosok hitam itu pergi, menjauh dariku tanpa aku usir. Kulihat wanita berkerudung hitam di dekatku. Ia bukan sosok hitam yang akan mengajakku. Aku tahu siapa ia. Kanda. Mutiara kasihku yang selama ini bersamaku.
      "Kanda?" panggilku kepadanya.
      "Sayang, Kamu bangun?" tanyanya dengan heran melihatku. Tak lupa air matanya ia bersihkan dengan pergelangan tangannya.
      "Iya, Kanda. Sayangku. Aku kembali untukmu," jawabku lirih.
      Kami saling berpelukan. Erat sekali.
      Dokter kembali memeriksaku. Vonis yang dokter nyatakan kepadanya, terbantah begitu saja saat melihatku bernapas normal kembali. Hanya saja keadaanku yang belum normal dan pulih. Detak jantungku masih lemah dan tekanan udara di jantungku masih belum stabil. Kata dokter, aku bisa sembuh beberapa minggu lagi.
      "Kanda, mutiara kasihku. Tolong ceritakan kepadaku mengapa kita ada di sini."
      "Kita mengalami kecelakaan. Mobil kita tergelincir dan menabrak trotoar. Untung saja tak terjadi apa-apa. Tak ada luka sedikit pun. Hanya saja kamu yang pingsan seketika."
      Sedikit mendengar ceritanya, aku teringat sehari lalu. Ketika Aku dan Kanda pulang liburan dari luar kota, kemudi mobilku sempat hilang kendali beberapa detik. Aku tak bisa mengendalikannya lagi karena saat itu hujan lebat, membuat jalan yang kami lalui menjadi licin. Mobilku tergelincir dan menabrak trotoar. Apa yang Kanda ceritakan kepadaku sesuai apa yang aku ingat.
      Pertama kali aku dan Kanda bertemu, hanya hujan yang menemani kami dan menjadi awal kisah kami. Hujan yang menjadi saksi akan ketulusan hati Kanda denganku. Begitu pun aku. Kini aku kembali bersama Kanda, mutiara kasihku. Kami menjalani masa-masa yang pernah ada kembali. Kami sering bernyanyi lagu romantis bersama ketika hujan turun. [ ]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H