Kelas habis, tesis mulai. Tahap memilih dosen pembimbing
Jika saat memilih pasangan terkadang cukup berdasar senyuman, memilih dosen nampaknya perlu beragam pertimbangan. Mulai dari penguasaan ilmu, karakter, sampai kemudahan bimbingan.
Akhirnya saya putuskan memilih beliau, seorang dosen yang penuhi beragam kriteria tadi. Seorang Doctor of Philosophy lulusan Australia.
Beliau pengajar yang hebat. Sudah sewajarnya, beliau juga story teller yang tidak pernah membosankan. Beliau selalu aplikasikan teori di buku ke dalam kasus-kasus dunia nyata. Teori yang mengawang, mampu dibumikan.
Pertanyaan-pertanyaan terjawab dengan memuaskan. Saya belum pernah kecewa.
Beliau kalem tapi tegas. Ketegasan tampak di awal penyusunan proposal tesis.
Saya datang dengan proposal yang nyaris jadi. Saya menyusun berdasar sependek pemahaman tentang bagaimana seharusnya proposal tesis disusun. Saya sowan ke dosen pembimbing dengan cukup pede dan berharap lolos. Lalu seminar.
Sampai ke hadapan beliau, proposal saya dibongkar. Hampir total. Standar saya tidak mencapai standar beliau. Jauh panggang dari api.
Pahit. Pedih. Tapi harus dilanjutkan. Apa yang dimulai, harus diselesaikan. Kepalang basah, nyebur sekalian.
Di masa itu pula, saya tiba-tiba dikomando Bapak-Ibu agar segera mencari tanah untuk dibangun rumah. Kelak, akan ada cerita tersendiri tentang ini.
Cari tanah. Pikiran terpecah.