Setelah bersepeda beberapa kali, masing-masing kurang lebih setengah jam, ternyata betul, berangsur rasa tak nyaman berkurang signifikan. Sampai hitungan bulan, sadel masih sadel bawaan. Sejauh ini saya merasa klik dengannya.
Sadel harus disesuaikan dengan anatomi tubuh. Ia seperti sepatu. Tiap orang memiliki preferensi standar kenyamanan sendiri-sendiri. Bagaimana teknis mengukur sadel agar sesuai dengan tulang duduk pun ada.
Sadel tersedia dengan beragam bentuk, peruntukan, merk, dan harga. Silakan sesuaikan dengan kebutuhan. Karena seperti sepatu, maka dicoba dulu.
***
Dulu, usai bersepeda, saya menderita kelelahan yang tidak biasa. Saya kapok. Segar enggak, justru capek bukan buatan.
Dengan reaktif, saya langsung berkesimpulan, sepeda bukan untuk saya. Sepeda nganggur lama sekali. Saya beralih ke futsal. Sekitar enam sampai tujuh tahun saya aktif di sepakbola dalam ruang dengan diselingi jogging.
Berbarengan dengan penjajakan sadel, saya sekalian menambah kekerapan bersepeda. Ternyata benar. Setelah lebih sering gowes, nafas tak lagi tersengal-sengal, badan juga tidak kewer-kewer. Keasyikan muncul, bahkan nagih. Jam terbang adalah koentji!
***
Selain praktik, saya juga sedang gemar-gemarnya ngulik apapun tentang sepeda. Mulai dari membaca artikel, menonton review, vlog, bike check, restorasi, build a bike, sampai mendengar podcast. Jika sudah senang dengan sesuatu, saya memang begitu, kerahkan kemampuan sebisanya untuk tenggelamkan diri.
Karena mencari, saya pun ngunduh. Saya beruntung menemukan podcast Azrul Ananda dan Johnny Ray. Azrul Ananda bukan sosok asing untuk saya. Meski belum pernah bertemu, tulisan-tulisannya sudah saya akrabi sejak SMP.
Ia putra kandung Dahlan Iskan. Siapa yang tidak kenal beliau beserta rekam jejaknya yang mentereng. Azrul pernah beberapa tahun duduk sebagai wartawan, pemimpin redaksi, dan CEO Jawa Pos, jaringan koran terbesar di Indonesia, yang jaya karena polesan ayahnya.