Mendengar Honda Win 100, yang langsung terlintas ialah sebuah sepeda motor ramping, tak modis, dan identik dengan kendaraan dinas aparat negara. Honda Win 100 --selanjutnya Win-- sejatinya bukan motor yang asing bagi saya.
Awal 90-an, Win pernah menghuni rumah kami. Ia jadi kendaraan tempur bapak saya, dimana di sebuah perusahaan plat merah nama beliau tercantum di dosir kepegawaian. Saya yang masih berwujud balita berambut poni pernah menungganginya dan terabadikan di album foto yang masih lestari hingga sekarang.
Belasan tahun kemudian, saya tidak hanya menunggangi di parkiran, saya betul-betul menjadi joki motor yang ngga ada sporty-sporty-nya babar blas itu. Dalam kesempatan itu, untuk pertama kali saya dengan lancar mampu tuntaskan perjalanan berpuluh kilometer dengan motor berkopling.
Win tidak cuma lewat begitu saja. Ia pernah mengisi episode lakon hidup saya.
***
Sekitar sebulanan ini, Win yang sudah menjadi masa lalu, bahkan tidak pernah teringat apalagi terucap, tiba-tiba mampir dalam bahasan dengan seorang teman. Kebetulan ia praktisi otomotif yang sehari-hari mengelola bengkel, sekaligus penggiat jual beli motor bekas di Bantul sana.
Pada suatu siang yang terik, saya berkunjung ke tempat usahanya. Kita berbincang ke sana ke mari dan sampailah pada tema tren motor bekas yang sedang digandrungi.Â
Ia bertutur, sebenarnya tren saat ini masih belum beranjak dari RX King, Honda C70, Astrea Prima, dan Honda Grand Bulus. Namun akhir-akhir ini, Win menyodok ke klasemen atas motor lawas yang diburu pembeli dan pedagang yang enggan kehilangan momen.
Lebih uniknya lagi, Win yang paling memiliki nilai jual paling tinggi justru yang beberapa tahun lalu orang malu memakainya. Win bekas instansi pemerintah dengan warna asli khas, menjadi spesies yang paling diburu dan otomatis melonjakkan harga. Misal, birunya BKKBN, hijau-putihnya Pegadaian, oranyenya PT. Pos, dan biru mudanya Telkom.
Selain Win asli instansi, yang dihargai tinggi tentu yang masih terjaga orisinalitasnya. Semakin persis dengan pas dulu keluar dari toko, maka itulah yang paling bernilai tinggi.
Tak terlalu jauh temponya dari pertemuan dengan teman soal Win, saya bersua kakak saya yang juga tinggal di Yogya. Setelah ngobrol macam-macam, sampailah tentang Win yang ternyata ia baru saja membelinya.
Posisi saat itu, ia baru saja ingin segarkan Win-nya dengan onderdil yang lebih baru. Ia memburu langsung ke dealer resmi Honda di luar kota, karena di Yogya sudah habis tandas. Celakanya, tak tersisa satu jua pun barang. Bukti Win tak lagi jadi waktu silam yang usang.
***
Win dicari lagi dan laku dengan harga tinggi menurut saya sebuah anomali. Jika RX King misalnya, masih bisa saya terima. Ia motor yang lekat dengan maskulinitas. Â Kecepatannya yang mantap enteng mengasapi para rival di jalan, sampai-sampai ia dijuluki motor jambret.
Suara khas 2-tak-nya sungguh nyaring dan mampu mengintimidasi siapa pun yang mendengarnya. Dengan prejengan seperti itu, RX King tangguh dipakai touring, mancing, dan kampanye partai.
Honda C70 saya suka modelnya. Ia mewakili citra klasik yang abadi. Bahkan, Honda senang hati merilisnya lagi dengan model yang sama persis. Bukti desain lintas zaman yang evergreen.
Astrea Prima dan Grand Bulus, saya juga setuju-setuju saja menjadi collector item, karena memang unik dan cekli. Dua motor itu keren dengan caranya sendiri. Mereka ditakdirkan ganteng sejak lahir.
Lha kok tiba-tiba Win menyeruak dan menjadi most wanted ini bagaimana ceritanya. Modelnya cungkring dan jauh dari gagah. Jok juga sempit dan tak nyaman. Sungguh sebuah tipe motor yang sangat berisiko mendapat penolakan dari cewek yang akan dibonceng.
Tangkinya tak menggembung khas motor lakik. Desainnya bukan format motor sport, bukan pula motor trail. Memang, Win ini motor yang bukan-bukan. Lampu remnya pun hasil perselingkuhan Honda C-700 dan GL-100. Fixed, tak penuhi syarat disebut elok untuk dipakai jengjeng.
Jika harus disebut kelebihannya, model Win yang ndlujur, lencir, dan kurus itu sebenarnya mendukung teori-teori aerodinamika. Tak dimungkiri, Win memiliki desain yang streamline.Â
Ia siap dipakai meliuk di antara rapatnya persaingan hidup. Ia sangat bersemangat diajak mencari celah peluang di ujung sana. Ia pandai berkawan dengan angin.
Win tak genap berkapasitas 100 cc, ia hanya 97,2 cc. Namun dengan mesin yang jauh dari gemuk itu, ia lincah dan tahan banting. Seliter bensin konon sanggup melahap 51 kilometer. Kokoh dan tidak mendekatkan diri pada garis kemiskinan.
Motor Si Doel saat ngelamar kerja selepas lulus dari tukang insinyur itu, cocok melibas jalan beraspal hot mix sampai makadam berbatu terjal tanpa mengeluh.Â
Usia edarnya yang dimulai 1984 sampai dengan 2005 sahih menjadi bukti durability. Selama 21 tahun, Win tak mendapat pembaruan yang berarti, kecuali warna dan detil kecil lain.
***
Era ini membutuhkan sesuatu yang memiliki pembeda. Apapun harus memiliki autentisitas. Untuk mendapat perhatian, sesuatu harus unik dan bernilai tambah.
Di saat RX King merajalela, tatkala C70, Prima, dan Grand di setiap tikungan ada, ketika NMax PCX terlalu membudaya, maka perlu diidentifikasi figur motor yang selama ini tak dilirik sehingga jarang pemakainya. Win dirasa memenuhi kriteria.
Win dianggap merepresentasikan spirit of uniqueness. Penampakan sebenarnya jauh dari pakem untuk diidolai. Tapi karena berbeda, ayo sikat saja.
Win yang dulu berharga tak lebih dari kisaran 3 sampai 5 juta, sekarang mencapai nilai dua digit. Riset saya di situs jual beli dan tanya sana-sini, rata-rata Win dijual di angka 8 sampai belasan juta.
Tapi ditemukan Win yang terjaga kemulusan dan keasliannya dihargai sampai 28 juta. Gila betul!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H