Dua tahun silam, tirto.id menurunkan laporan mendalam yang terdiri dari tujuh artikel. Artikel-artikel itu bertema mal dan perkembangan jaman yang melingkupinya. Meski sudah dalam hitungan tahun, ternyata berita itu berhasil tersimpan baik dalam benak saya. Berita itu menarik untuk diingat karena menyentuh beragam aspek yang aktual dan dekat dengan keseharian.
Satu artikel yang paling menyita perhatian membahas perihal matinya mal-mal di Amerika Serikat (AS). Di dalamnya, terpampang data-data mencengangkan tentang tutupnya mal-mal itu. Tentu, ada musabab yang membuat mereka pamit dari industri yang pernah berjaya sekian dasawarsa lamanya.
Beberapa hari lalu, CNN Indonesia melaporkan lima mal di Jakarta yang dari hari ke hari semakin menurun tingkat hunian pengunjungnya. Spontan, ingatan mengarah pada artikel dua tahun lalu di atas. Pertanyaannya, apakah wabah muramnya industri ritel di AS tengah menular ke negeri kita?
***
Sejak membaca artikel di tirto.id tentang banyak mal di AS yang tutup, kunjungan saya ke mal tidak lagi sama seperti sebelumnya. Apabila dulu ke mal hanya berkonsentrasi membeli dan memakan sesuatu, pasca artikel, ke mal kami tambah dengan agenda mengamati pengunjung mal lainnya.
Hasil amatan kami sejauh ini, semakin banyak orang yang keluar dari mal tidak dengan membawa tentengan tas hasil belanja. Secara sederhana, dapat disimpulkan, orang ke mal saat ini bukan semata dalam rangka membeli barang. Pengunjung, akhir-akhir ini, lebih tertarik menempatkan mal sebagai tempat untuk hang-out, kongkow, meeting, atau sekadar tempat untuk melepas penat.
Mal mulai tidak diposisikan sebagai kumpulan gerai yang menjual beragam barang kebutuhan. Mal bergeser menjadi tempat rekreasi dan berkumpul.
Saya pribadi, sampai sekarang masih terkategori sebagai pengunjung konservatif. Saya tetap memandang mal sebagai toko, dimana saya bisa membeli barang kebutuhan. Sampai setua ini, saya belum pernah berkunjung ke mal dalam rangka hanya untuk makan, minum, atau membuang waktu luang.
Sampai berkunjung ke mal, artinya di tempat lain saya tidak bisa menemukan barang yang saya cari. Maka, saya tidak cukup sering ke sana. Walau tidak jauh untuk menjangkaunya karena di tiap sisi Yogya ada, jika bukan karena butuh, mal bukanlah tempat jujugan.
***
Berdasar data di AS, banyak mal tutup disebabkan oleh bergesernya pola konsumsi masyarakat. Jika dahulu orang mengumpulkan uang untuk membeli barang, saat ini lebih memilih untuk berbelanja pengalaman. Dewasa ini, orang lebih gemar mengoleksi kenangan dengan bepergian ke beragam tempat, daripada menumpuk barang yang jika dituruti tidak akan ada habisnya.
Nampaknya, di Indonesia nuansa seperti itu sudah terasa. Orang-orang di sekitar kita, bahkan kita sendiri, semakin sering menampilkan foto hasil berkunjung ke suatu tempat. Bahkan mal pun telah diletakkan sebagai tempat untuk dikunjungi, bukan tempat untuk membeli sesuatu.
Orang semakin gemar berpelesir. Apalagi sekarang ditunjang dengan media sosial yang dengan senang hati akan tampilkan apa yang akan, sedang, dan telah kita alami sehari-hari. Selain untuk menambah pengalaman dan kenangan, pelesir belakangan ini juga diadakan dalam rangka memenuhi kebutuhan demonstratif.
Data lain berbicara, mal semakin sepi bahkan tutup, diduga disebabkan mulai besarnya adopsi teknik berbelanja melalui toko dalam jaringan (daring). Masyarakat mulai nyaman dengan transaksi daring karena semakin banyaknya fitur, fasilitas, dan penawaran yang makin variatif dan intensif.
Tidak perlu keluar rumah, hanya bermodal telepon seluler, barang pesanan dengan sekejap akan sampai. Ditambah beragam keuntungan jika kita mau teliti dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan online market place. Mulai dari undian, cashback, atau rabat siap kita gapai.
***
Merespons perubahan pola konsumsi masyarakat terkait fungsi mal yang bergeser, para pengelola berlomba untuk berbenah. Sadar akan tergerus jika tidak adaptif, mereka mengambil beberapa langkah untuk memperpanjang nyawa usahanya.
Pengelola mulai bergerak dengan memperbaiki fisik bangunan dan fasilitas. Mereka melakukan pengecatan ulang, mengganti lantai, dan memperbaiki fasilitas yang tidak lagi berfungsi optimal.
Selain merombak aspek fisik, pengelola memperhatikan pula aspek non-fisik. Hal tersebut dilakukan dengan mengubah image mal yang pada awalnya menyasar konsumen menengah ke bawah menjadi konsumen menengah ke atas.
Perubahan image harus dibayar dengan harga tertentu. Gerai-gerai yang tidak membawa citra yang kuat dipindah ke lantai atau titik yang kurang strategis, demi memberikan tempat untuk gerai yang dirasa akan memperkuat image yang sedang dibangun. Contohnya, sebuah mal di Jakarta melakukan itu untuk warung kopi terkenal asal Seattle.
Sekarang, di mal semakin jamak kita jumpai warung makan, fitness centre, tempat permainan anak, salon, tempat karaoke, dan bioskop. Ditambah pula venue untuk konser musik, pameran, dan perhelatan lain. Tempat-tempat tersebut semakin mendapat perhatian untuk dimaksimalkan pengelola, karena konsumen era ini sedang butuh lagi gandrung.
Disrupsi yang dibawa oleh era digital menikung dan berbelok sampai kemana-mana. Tanpa terkecuali ke arah bisnis ritel di mal. Klise, tapi memang apapun akan berubah, dan yang tak berubah hanya mereka yang rela untuk mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H