Nampaknya, di Indonesia nuansa seperti itu sudah terasa. Orang-orang di sekitar kita, bahkan kita sendiri, semakin sering menampilkan foto hasil berkunjung ke suatu tempat. Bahkan mal pun telah diletakkan sebagai tempat untuk dikunjungi, bukan tempat untuk membeli sesuatu.
Orang semakin gemar berpelesir. Apalagi sekarang ditunjang dengan media sosial yang dengan senang hati akan tampilkan apa yang akan, sedang, dan telah kita alami sehari-hari. Selain untuk menambah pengalaman dan kenangan, pelesir belakangan ini juga diadakan dalam rangka memenuhi kebutuhan demonstratif.
Data lain berbicara, mal semakin sepi bahkan tutup, diduga disebabkan mulai besarnya adopsi teknik berbelanja melalui toko dalam jaringan (daring). Masyarakat mulai nyaman dengan transaksi daring karena semakin banyaknya fitur, fasilitas, dan penawaran yang makin variatif dan intensif.
Tidak perlu keluar rumah, hanya bermodal telepon seluler, barang pesanan dengan sekejap akan sampai. Ditambah beragam keuntungan jika kita mau teliti dalam memanfaatkan peluang yang ditawarkan online market place. Mulai dari undian, cashback, atau rabat siap kita gapai.
***
Merespons perubahan pola konsumsi masyarakat terkait fungsi mal yang bergeser, para pengelola berlomba untuk berbenah. Sadar akan tergerus jika tidak adaptif, mereka mengambil beberapa langkah untuk memperpanjang nyawa usahanya.
Pengelola mulai bergerak dengan memperbaiki fisik bangunan dan fasilitas. Mereka melakukan pengecatan ulang, mengganti lantai, dan memperbaiki fasilitas yang tidak lagi berfungsi optimal.
Selain merombak aspek fisik, pengelola memperhatikan pula aspek non-fisik. Hal tersebut dilakukan dengan mengubah image mal yang pada awalnya menyasar konsumen menengah ke bawah menjadi konsumen menengah ke atas.
Perubahan image harus dibayar dengan harga tertentu. Gerai-gerai yang tidak membawa citra yang kuat dipindah ke lantai atau titik yang kurang strategis, demi memberikan tempat untuk gerai yang dirasa akan memperkuat image yang sedang dibangun. Contohnya, sebuah mal di Jakarta melakukan itu untuk warung kopi terkenal asal Seattle.
Sekarang, di mal semakin jamak kita jumpai warung makan, fitness centre, tempat permainan anak, salon, tempat karaoke, dan bioskop. Ditambah pula venue untuk konser musik, pameran, dan perhelatan lain. Tempat-tempat tersebut semakin mendapat perhatian untuk dimaksimalkan pengelola, karena konsumen era ini sedang butuh lagi gandrung.
Disrupsi yang dibawa oleh era digital menikung dan berbelok sampai kemana-mana. Tanpa terkecuali ke arah bisnis ritel di mal. Klise, tapi memang apapun akan berubah, dan yang tak berubah hanya mereka yang rela untuk mati.