Mohon tunggu...
Ryan Perdana
Ryan Perdana Mohon Tunggu... Administrasi - Pembaca dan Penulis

Kunjungi saya di www.ryanperdana.com dan twitter @ruaien

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Pak Tukang, Pak Penjual Kerupuk, dan Mas Berjoget

25 Agustus 2016   08:45 Diperbarui: 25 Agustus 2016   10:28 324
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di palung hati nurani kita terdalam, ukuran penghormatan terhadap orang lain sejatinya masih didasarkan pada keluhuran budi pekerti. Orang baik dan sholeh akan tulus kita hormati.

Dalam konsep kasta Hindu, titik tertinggi kelas manusia diduduki mereka yang termasuk dalam golongan Brahmana, yakni para pandita, sosok yang terdekat dengan Tuhannya. Dalam Al Quran disebutkan, yang paling tinggi derajatnya adalah orang yang beriman. Namun rupanya, di bumi yang sudah sepuh ini, konsep luhur dalam dua agama itu diingkari habis-habisan.

Orang baik boleh jadi masih dihormati, namun dalam realitasnya, seringkali yang dijunjung-junjung, ditandu-tandu, dan disubya-subya ialah mereka yang paling kaya di antara kita. Maka, ketika tumpukan harta menjadi standar penghormatan, menjadi tidak mengherankan jika semua orang berlomba-lomba mengumpulkannya.

***

Dalam khasanah kehidupan modern, paham materialisme telah menjadi pakem yang dianut. Ketika pakem telah dianut, maka sisik melik kehidupan otomatis diarahkan ke sana. Oleh karena harta menjadi standar penghormatan, maka ukuran kebahagiaan pun mengikuti. Harta teraih, dihormati, kebahagiaan terwujud, kesempurnaan hidup tercapai, begitulah gumaman kita setiap waktu.

Tak bisa dibantah, kaya, dihormati, dan bahagia memang madu yang sangat manis. Saya sangat setuju, dan masih turut serta bersama rombongan besar lain berusaha untuk menggapainya. Saya harus ikut memperebutkan, karena saya juga anak kandung jaman ini, yang mau tidak mau telah masuk ke dalam konsensus materialisme yang maha agung.

***

Saat tengah berpeluh menggapai standar demi standar di atas, saya ditunjukkan pemandangan yang menggetarkan. Sekumpulan tukang bangunan tengah bersantap di siang hari nan panas. Mereka makan dengan lauk lelah dan rasa lapar. Mereka makan sangat lahap seakan belum pernah makan dan seolah tiada hari esok untuk bersantap lagi.

Saya pun tercenung dan merasa bahwa pemandangan itu ditampilkan untuk menegur, bahwa masih ada kenikmatan dan kebahagiaan dari hal-hal yang sebenarnya setiap hari terlalui. Lahapnya Pak Tukang menunjukkan betapa mereka habis tenaga dan kepanasan. Dari cara makannya, tercermin kenikmatan tiada tara, yang saya yakini sebagai kenikmatan yang jarang atau bahkan tidak pernah dirasakan orang yang bekerja dengan duduk di kursi empuk dalam ruangan berpendingin.

Suatu kali saya pergoki, pengirim kerupuk dari warung ke warung bersiul-siul mendendangkan lagu kegemarannya. Tidak terlihat beratnya usaha menjemput rejeki. Semua dilalui dengan senang hati tanpa beban. Pun, sore itu saya menangkap basah seorang penjaja makanan tepi jalan, sedang menyajikan dagangan dari gerobak sambil berjoget mengikuti beat lagu Fool Again milik Westlife. Jogetnya sangat khusyuk, sampai-sampai ia tidak sadar saya memandanginya sambil mengulum senyum.

***

Pak Tukang, Pak Penjual Kerupuk, dan Mas Berjoget menjadi aktor yang lebih piawai dalam menafsirkan dan menampilkan apa itu kebahagiaan, tanpa peduli pada teori kebahagiaan yang ramai-ramai dianut dewasa ini. Banyak orang rasanya harus berguru kepada mereka dalam hal pengaplikasian paham kebahagiaan. Karena kaum serba berkecukupan harta, tidak jarang bermuka masam, dahi berkerut, dan kantung mata bergelambir. Lukisan nyata tuntutan deadline, target bulanan, dan gunjingan tetangga.

Kaum berada dan segala tercukupi acapkali melewatkan hal-hal sederhana untuk disyukuri dan dimaknai. Perhatian mereka terpusat pada bagaimana cara untuk terus menumpuk apa-apa yang apabila dituruti tak akan ada habisnya. Hingga kemudian terlupa bahwa kebahagiaan tidak hanya terletak pada suatu hal yang mereka sangkai.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun