Penulis
Olih Solihin,
Publikasi
Jurnal Ilmu Politik Dan Komunikasi, vol. 5, No. 2 (2015)
Preview
- Ryan Ramadhan
- Ardiansyah Saputra
Dalam tulisan Erdawati dijelaskan bahwa pemasaran merupakan bagian dari strategi promosi yang umum digunakan oleh perusahaan untuk berkomunikasi secara persuasif dengan target pembeli dan masyarakat umum.(Erdawati, 2020) Pernyataan ini searah dengan riset yang dilaksanakan oleh Melly Ridaryanthi, yang menekankan bahwa melalui iklan, informasi dan nilai-nilai baru dapat disampaikan kepada audiens. Pendekatan persuasif dalam iklan bertujuan mengajak audiens untuk memperoleh pengetahuan baru dan pada akhirnya membuat keputusan, suatu proses yang kompleks dan bervariasi antar individu tergantung pada pemahaman terhadap pesan yang disampaikan.(Melly, 2014)
Dalam riset oleh Olih Solihin, dijelaskan bahwa iklan merupakan pesan mengenai produk atau jasa yang diproduksi oleh produsen atau pemasar dan disampaikan melalui berbagai media seperti cetak, audio, dan elektronik, ditujukan kepada masyarakat.(Solihin, 2015) Pernyataan ini sejalan dengan penelitian oleh Salma Egita Fitri Subagyo dan Jojok Dwiridotjahjono yang menyatakan bahwa iklan berperan sebagai alat pemasaran yang digunakan oleh perusahaan untuk megenalkan, megiklankan, dan memasarkan produk, serta menarik perhatian dan meyakinkan konsumen.(Salma Egita Fitri Subagyo & Jojok Dwiridotjahjono, 2021) Namun, sudut pandang ini tidak selaras dengan perspektif Erdawati, yang mengutip Durianto (2004) dan menggambarkan iklan sebagai berbagai macam pertunjukan  non-pribadi dan promosi jasa, barang, atau ide oleh pihak sponsor yang membutuhkan imbalan atau bayaran.(Erdawati, 2020)
Dalam riset oleh Olih Solihin, dijelaskan bahwa gaya hidup, menurut Blackwell, Engel, dan Mowen (1995) dan Miniard (1995), merujuk pada pola hidup seseorang yang mencakup penggunaan waktu dan uang.(Solihin, 2015) Pernyataan ini sejalan dengan penelitian oleh Nuri Annisa Fitri dan Hisbullah Basri yang mendefinisikan gaya hidup sebagai pola penggunaan waktu seseorang (aktivitas), nilai yang dianggap berarti dalam lingkungan sekitar (ketertarikan), dan pemikiran mengenai diri sendiri dan dunia sekitar (pendapat).(Fitri & Basri, 2021) Meskipun demikian, pandangan ini berbeda dengan perspektif dalam riset oleh Erdawati yang merujuk pada Nugroho (2003), di mana gaya hidup dianggap mencakup lebih dari kelas sosial atau kepribadian, tetapi juga mencerminkan pola perilaku dan interaksi seseorang dengan dunia. Gaya hidup, dalam konteks pemasaran, dapat mengelompokkan individu berdasarkan kegiatan, penggunaan waktu luang, dan keputusan pengeluaran mereka.(Erdawati, 2020)
Dalam kajian oleh Salma Egita Fitri Subagyo dan Jojok Dwiridotjahjono dijelaskan bahwa menurut Levan's & Linda (dalam Adila Safrinnisa 2017), gaya hidup hedonis merupakan sikap yang tercermin dari minat dan aktivitas seseorang yang dilakukan semata-mata untuk kesenangan hidup.(Salma Egita Fitri Subagyo & Jojok Dwiridotjahjono, 2021) Meskipun demikian, pandangan ini berbeda dengan perspektif dalam jurnal Profil Yugantara, Rahmat K. Dwi Susilo, dan Sulismadi yang menyatakan bahwa gaya hidup adalah tindakan yang membantu pemahaman, menggambarkan, atau menjelaskan aktivitas seseorang, tanpa menyiratkan persetujuan terhadap tindakan tersebut, memahami alasan di balik perilaku, dan menilai makna dari tindakan tersebut bagi individu dan orang lain.(Yugantara et al., 2021)
Dalam penelitian oleh Melly Ridaryanthi diuraikan bahwa perilaku konsumen melibatkan rangkaian sistem yang rumit, termasuk evaluasi, penggunaan, pembelian, pemilihan, pencarian, dan penggunaan ulang barang, dengan tujuan memenuhi keinginan dan kebutuhan konsumen.(Melly, 2014) Konsep ini sejalan dengan pandangan Ani Wijayanti Suhartono, yang mendefinisikan perilaku konsumen menurut Shiffman dan Kanuk sebagai tindakan yang diutamakan oleh konsumen dalam mengabaikan, mengevaluasi, menggunakan, membeli, dan mencari ide, jasa, atau produk dengan harapan dapat memenuhi kebutuhan dan keinginan mereka melalui konsumsi produk atau jasa yang tersedia.(Ani Wijayanti Suhartono, 2004)
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Olih Solihin, perilaku konsumtif didefinisikan sebagai kegiatan membeli atau menggunakan barang yang sudah tidak berdasarkan mempertimbangkan logika, melainkan dipicu oleh hasrat yang telah mencapai tingkat yang tidak logis.(Solihin, 2015) Pandangan ini berbeda dengan penelitian Bambang Setia Wibowo yang menyatakan bahwa perilaku konsumtif terjadi ketika seseorang membeli produk dengan tidak mempertimbangkan logika, tanpa dasar pada kebutuhan.(Setia Wibowo, 2018) Selain itu, pandangan ini juga berbeda dengan penelitian Salma Egita Fitri Subagyo dan Jojok Dwiridotjahjono mengindikasikan bahwa perilaku konsumtif dapat tercermin dari gaya hidup individu yang cenderung menyukai kemewahan, memandang barang-barang mahal sebagai bentuk kepuasan pribadi. Mike Featherstone juga menambahkan dimensi lain, menyatakan bahwa perilaku konsumtif dapat terjadi saat seseorang menggunakan produk yang belum habis dan memutuskan untuk membeli produk serupa, sering kali dipengaruhi oleh promosi atau kemasan yang menarik.(Salma Egita Fitri Subagyo & Jojok Dwiridotjahjono, 2021)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H