“Entahlah,” Dirga mengangkat bahu. “Yang jelas saat ini situasi dunia sedang panas.”
“Dan semakin panas setelah konflik di perbatasan Iran-Iraq,” sambungku.
Dirga mengangguk.
“Yah, semoga mereka memahami artinya perdamaian,” tukasnya kemudian.
Kami sudah meninggalkan Tiangong dengan segala kemegahannya. Namun sungguh, kemegahan stasiun luar angkasa yang baru saja kulihat tadi tak bisa lepas dari benakku.
“Suatu saat kita harus punya yang seperti itu.”
“Kita?” Dirga menoleh. “Maksudmu?”
“Indonesia,” sambungku. “Suatu saat negara kita harus punya stasiun luar angkasa seperti itu.”
“Hmm…,” Dirga menggumam. “Kamu tahu, Sakti? Ada rumor bahwa kita memang punya rencana membangun stasiun luar angkasa.”
“Oya?” mataku membelalak. “Benarkah?”
“Ini cuma rumor. Aku pernah dengar bahwa Pak Fernando Kepala Lapan belum lama mengajukan cetak biru stasiun luar angkasa ISS-45 pada Presiden Yanuar.”