Uang. Tak peduli bagaimana caraku mendapatkannya atau bagaimana cara mereka memberikannya.
Sembari meliukkan tubuh diiringi musik dari radio tape dan kecrekan, aku menyorongkan kantong plastik pada satu demi satu pengunjung, berharap selembar atau sekeping dua keping uang masuk ke dalamnya.
"Terimakasih, Bapak Ibu Kakak semua," kami meninggalkan kedai tersebut dan pindah ke kedai berikutnya.
Setelah beberapa lama menjalani profesi ini, aku mulai terbiasa dengan pakaian ketat, rok mini, sepatu hak tinggi, make-up, serta rambut dan bulu mata palsu.
Apa yang Edi katakan dulu benar, kulitku dan wajahku yang bersih membuat sebagian orang kebingungan.
"Itu banci apa cewek beneran sih?"
Ya, inilah pekerjaanku sekarang, pengamen banci. Begitu sore tiba, aku dan Edi mengenakan pakaian wanita lalu berdandan semenor mungkin. Kami kemudian berkeliling dari satu tempat ke tempat lain menampikan liukan tubuh yang kadang vulgar.
Semua demi uang.
Namun dalam hati kecilku masih ada sekeping harapan.
Impian Nisa. Impianku.
Akankah terwujud?