Istirahatlah dengan tenang.
Kamu bisa percaya kata-kataku...
Di gundukan tanah tersebut terpancang sebuah nisan bertuliskan nama seorang wanita yang sangat dicintainya. Diusap-usapnya nisan tersebut.
"Aku pulang dulu. Anak-anak sudah menunggu. Aku mencintaimu, Sekar."
* * *
Sejak itu kehidupan keluarga mereka berjalan tanpa kehadiran Sekar, seorang istri dan ibu yang baik bagi mereka yang ditinggalkan.  Di saat-saat awal setelah meninggalnya Sekar, praktis Bhisma merasa kewalahan dengan banyaknya tanggung jawab yang harus diembannya.
Jam 4.30 pagi ia bangun dan menyiapkan sarapan sekadarnya untuk mereka bertiga. Jika masih ada cukup waktu, ia membersihkan rumah - minimal menyapu dan mengepel lantai. Setelah beres semuanya, ia mandi dan bersiap dengan pakaian kerjanya. Sekitar jam 5.15 ia membangunkan kedua putrinya dan menerapkan batasan waktu mandi bagi keduanya.
Satu jam kemudian, Bhisma mengantar kedua putrinya ke sekolah sekalian ia berangkat bekerja. Beruntung baginya karena Kenanga dan Nada bersekolah di tempat yang sama sehingga ia bisa menghemat waktu.
Saat itu Nada masih kelas 2 SD sementara Kenanga sudah kelas 6 SD. Jika tiba waktunya pulang, Nada menunggu Kenanga, kemudian keduanya pulang ke rumah orangtua Bhisma - kakek dan nenek Nada - hingga tiba waktunya sang ayah pulang kerja dan menjemput mereka berdua.
Begitulah rutinitas harian mereka bertiga.
Meski statusnya anak tiri, Bhisma menyayangi Kenanga seperti anak kandungnya, karena itu betapa terkejutnya ketika pada suatu hari secara tak sengaja ia mendapati adanya lebam-lebam di tubuh putri sulungnya itu.