[caption id="attachment_300530" align="aligncenter" width="640" caption="chara yang kawaii, tapi... (sumber gambar : animated-divots.net)"][/caption]
Saya sudah lama paham bahwa beberapa judul manga (komik Jepang) memang tidak diperuntukkan buat anak-anak. Saya sendiri meski penggemar manga, pada masa itu (sekitar umur 20-an) menghindari bacaan semacam "Boys Be…" dkk karena ke-"ecchi"-an yang ada di dalamnya. Maklumlah, saat itu saya ngekos dimana anak-anak pemilik rumah kadang suka datang untuk meminjam komik pada saya.
Ngomong-ngomong apa yang dimaksud dengan "ecchi"? Sepanjang pengetahuan saya, dalam manga istilah "ecchi" merujuk pada adegan buka-bukaan yang terjadi secara tidak sengaja atau insiden tersentuhnya salah satu "bagian tubuh" secara tidak sengaja pula. Pada umumnya "ecchi" digunakan untuk memancing tawa pembaca, mungkin formula ini mirip seperti lawakan ala film-film jadulnya Warkop DKI (adegan lucu yang biasanya terjadi di pantai yang melibatkan wanita berbikini).
Oke, kembali ke topik.
Karena terbiasa dan secara pribadi tidak bermasalah dengan "ecchi" yang sudah kadung saya anggap sebagai budaya umum masyarakat Jepang (mohon koreksinya buat Kompasianer yang lebih paham masalah semacam ini), maka betapa terkejutnya saya ketika membaca satu manga secara online menggunakan aplikasi Android.
Jalan cerita dalam manga tersebut sebenarnya menarik meski sedikit nyeleneh, yang jadi masalah adalah di setiap chapter-nya pembaca disuguhi adegan-adegan "provokatif" yang dilakukan secara sengaja - hal ini tentu berbeda dengan "ecchi". Dan hasil penelurusan saya terhadap manga yang sampai saat ini sudah masuk chapter 77 (dan belum tamat) menyebutkan bahwa manga ini dikategorikan sebagai "harem" (satu karakter cowok yang hidupnya dikelilingi banyak cewek cantik) dan "seinen" (diperuntukkan bagi pembaca dengan rentang usia antara 17-40 tahun). Karakter-karakter wanita dalam manga ini sangat "kawaii" alias cute (imut) sehingga bisa menipu pembaca awam.
Mungkin selangkah lagi, manga ini bakal masuk kategori "H" alias "hentai" yang sexual content-nya sudah sangat eksplisit.
Hah? Judul komiknya apa? Hm… apa perlu saya kasih tahu hehehe.…
Kenapa Khawatir?
Saya rasa bohong saja pendapat yang mengatakan, "Ah, hal seperti itu nggak ngaruh...".
Setidaknya adegan yang tergambar dalam manga tersebut bisa saja memberikan semacam "inspirasi" bagi pembacanya untuk melakukan hal serupa. Tidak masalah apabila pembacanya sudah memiliki pasangan sah, nah bagi yang belum? Frekuensi paparan adegan-adegan provokatif tersebut bisa saja berakumulasi dan membuat pembacanya melakukan hal-hal yang tidak diperbolehkan menurut nilai-nilai yang umum berlaku.
Sedikit cerita, saya pernah 'kecolongan' ketika saya mendapati putri pertama saya yang saat ini berusia 9 tahun membaca manga. Karena seringnya membaca manga, saya terkadang bisa mengenali isi manga hanya dengan melihat cover-nya. Cover manga tersebut memang wajar, tapi saya bisa menebak isinya,
"Pasti ada adegan ciumannya..." batin saya.
Saya pun bertanya pada istri saya,
"De', itu kakak dapet komik dari mana?"
"Itu temennya beli, ternyata salah. Terus dikasih ke dia." jawab istri saya.
"Tau nggak, feeling Mas bilang ini komik pasti ada ciumannya. Ntar coba kita cek."
Setelah putri saya menutup dan meninggalkan bacaannya, kami berdua memeriksa. Dan benar saja, ada beberapa adegan ciuman dan 'pertunjukan daleman' di manga tersebut.
Beberapa hari kemudian saya iseng-iseng bertanya pada putri saya,
"Sayang, komiknya kok nggak dibaca lagi?"
"Nggak ah, males." jawabnya.
Meski saya tahu alasannya, lebih baik saya berpura-pura tidak tahu saja.
Perlunya Kewaspadaan dan Update
Dari peristiwa tersebut saya belajar bahwa sebagai orangtua kita mesti update dengan hal-hal yang terjadi di sekitar kita. Pengetahuan ini penting supaya kita bisa menjaga anak-anak kita dari pengaruh-pengaruh buruk yang berdatangan dan menyerbu masuk dalam berbagai bentuk.
Saya tidak mengatakan bahwa manga itu membawa pengaruh buruk, hanya saja kita mesti paham bahwa segala hal bisa disusupi hal-hal buruk, seperti halnya di masa saya remaja dulu hal-hal semacam itu sering menyusup dalam novel-novel "Wiro Sableng" yang suka saya baca - tapi tetap saja saya mengatakan bahwa serial "Wiro Sableng" itu seru.
Saat ini hanya satu ketakutan terbesar saya yang saya yakini sebagai ketakutan kita semua,
"Insya Allah saya bisa menjaga anak-anak saya dari pengaruh buruk, tapi bisakah orangtua lain menjaga anaknya dari pengaruh buruk?"
Tidak ada yang rela anaknya menjadi korban karena ada orangtua lain yang tidak mampu menjaga anak-anaknya dari pengaruh buruk.
Maaf bila tulisan saya kali ini melantur, berantakan, dan tidak runut. Selamat siang dan selamat beraktivitas, semoga tulisan saya bermanfaat!
Tulisan ini masuk kategori “Serba-Serbi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H