Hati mereka berkata dengan jelas! Akhirnya Rian dan Lintang menemukan kenyataan dalam hati masing-masing bahwa mereka saling menyukai. Tapi ketika bermaksud menyatakannya, mulut Rian serasa terkunci, dan dia pun menyesali kesempatan yang terlewat itu.
CHAPTER 13
Saat Rian sedang menyesali kebodohannya yang tidak segera menyatakan perasaannya pada Lintang, tiba-tiba terdengar satu suara di dekatnya,
“Sayang, kita duduk di sini aja. Kosong nih!”
Lamunannya buyar. Rian kemudian melihat seorang gadis – kelihatannya mahasiswi – yang duduk tidak jauh dari tempat mereka. Gadis itu membelakanginya sehingga Rian hanya bisa melihat bahwa gadis tersebut memakai kaos yang ketat melilit tubuhnya. Tampak gadis itu melambai-lambai memanggil seseorang.
Dia pasti manggil pacarnya, Rian melamun lagi. Ah seandainya tadi aku mengungkapkan perasaanku sama Lintang, pasti sekarang kita sudah...
Tiba-tiba mata Rian membelalak lebar dan untuk kedua kalinya lamunannya buyar ketika dilihatnya seorang pemuda datang dan duduk di samping si gadis. Mereka kemudian terlibat percakapan – entah apa. Yang jelas keduanya kadang tertawa bahagia, kadang mesra.
Rian tahu siapa pemuda itu!
Itu pacarnya Rin! Tapi kok?!
“Rian? Kamu kenapa kaya’ orang kaget gitu?” tanya Lintang yang sudah selesai mencuci tangannya.
“Ssstt!” bisik Rian, dia bergegas mengambil ponselnya dan mengetikkan sesuatu.
Diangsurkannya ponselnya pada Lintang,
“Cowok sama cewek yang duduk di deket kita itu. Aku ingat si cowok, dia pacarnya Rin, dan keliatannya dia nggak ngenali aku padahal kita pernah ketemu waktu itu.”
Membacanya membuat Lintang tak kalah terkejut, apalagi ketika dia menyaksikan Tama dan gadis itu saling berangkulan mesra.
Apa? Kenapa seperti ini? Kak Rin…
* * *
”Hoaaahm…”
Siang ini entah sudah ke berapa kalinya Rian menguap. Semalam dia tidak bisa tidur memikirkan apa yang dilihatnya kemarin. Saat ini dia sangat lelah dan mengantuk.
Lagian sudah tinggal nunggu hari pembagian rapor aja kenapa masih ada pelajaran sih?
Sebentar-sebentar diliriknya Lintang yang duduk tidak jauh darinya.
Dia keliatannya biasa-biasa saja.
Rian hampir saja tak kuat menahan kantuknya, untungnya saat itu bel tanda sekolah usai sudah berbunyi. Dengan sisa tenaganya Rian menyeret tasnya dan keluar kelas. Saat ini yang ada di pikirannya cuma satu : pulang dan tidur.
Tepat pada saat itu, dia berpapasan dengan Rin.
“Hai Rin…” sapanya, “Udah mau pulang?”
Rin yang sedang tergesa-gesa menghentikan langkahnya, dan saat itu Rian baru sadar.