Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kejarlah Cinta #17 : The Ending

19 April 2014   03:59 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:30 374
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13977131221483556826

Sinopsis :

Rian, siswa kelas XI awalnya menyukai Rin kakak kelasnya, tapi dia tidak berani mengungkapkan perasaannya.  Atas bantuan Lintang sahabatnya, sedikit demi sedikit Rian bisa mendekati Rin.  Namun berbagai peristiwa yang terjadi antara mereka bertiga membuat hati Rian kini beralih pada Lintang.

Dan satu sore di koridor sekolah, Rian menyatakan perasaannya pada Lintang.  Hanya saja, ketika gadis itu membeberkan masa lalunya, Rian malahan meninggalkan Lintang.  Ada apa sebenarnya?  Bagaimana jadinya hubungan mereka berdua?

CHAPTER 17


“Gimana dengan perasaanmu sekarang?  Apa kamu masih mau aku jadi pacarmu?”

Lintang membelakangi Rian, wajahnya menengadah memandang langit yang mulai gelap, suaranya terdengar berat seperti menahan beban yang tak tertanggungkan.

Rian terdiam.  Dipandanginya punggung Lintang.  Gadis itu masih diam di tempatnya.

Lalu…

Rian berjalan melewati Lintang!  Tanpa sepatah kata.

Lintang menunduk dan mendesah.


Akhirnya jadi seperti ini…

Dilihatnya Rian yang kini semakin jauh dari pandangannya.  Pemuda itu meninggalkannya bahkan tanpa menoleh!  Dada Lintang terasa sesak, di sudut matanya perlahan mengembang air mata.  Pandangannya semakin lama semakin kabur.  Lintang lalu menutup wajah dengan kedua tangannya.


Aku sudah tau akan jadi seperti ini…


Aku bahkan tidak punya kesempatan untuk menceritakan kenyataan yang sebenarnya.  Tapi memang ini bukan salahmu Rian.  Ini memang salahku.  Sepenuhnya salahku.  Aku yang dulunya tidak hati-hati sehingga mudah dijebak!


Rian, maafkan aku yang sudah mengecewakanmu.

Seberapapun kuatnya dia menahan, tangis Lintang akhirnya pecah juga.  Dalam tangisnya, Lintang menyesali ketidak hati-hatiannya dulu yang menyebabkan dia terjebak dalam sebuah kesalahan yang tidak akan pernah bisa terhapus.

Video itu terlanjur menyebar ke mana-mana, menyebar seperti virus yang tidak akan bisa dihapus.  Video itu akan tetap ada di internet.  Selamanya.  Dan siapapun yang melihat video tersebut akan memberi cap buruk padanya, tidak peduli bagaimana kenyataannya.


Aku memang bodoh!  BODOH!

Tubuh Lintang bergetar, air matanya semakin deras mengalir sekeras apapun dia mencoba menahannya.


AKU BODOH! Jerit hatinya berulang-ulang.

Ingatan akan kejadian buruk itu berputar kembali dalam benaknya.  Ingatan saat dia mencintai seseorang waktu kelas I, ingatan ketika mereka jadian, ingatan ketika pacarnya mengajaknya beramai-ramai ke suatu tempat, dan ingatan ketika dia diberi minuman yang membuatnya tidak ingat apa-apa lagi.


Aku memang bodoh!  Meski kenyataannya saat itu aku sedang mens sehingga tidak ada yang berbuat lebih jauh, tetap saja aku bodoh!  Tidak akan ada yang percaya padaku!


Rian!

Lintang kemudian teringat kali pertama dirinya mengenal Rian dan berbagai peristiwa yang sudah mereka alami bersama.  Saat ini dia sudah tidak bisa membohongi perasaannya.


Rian, aku juga suka kamu!

(Catatan penulis : untuk adegan kilas balik Lintang mengingat kebersamaannya dengan Rian selama ini, saya menawarkan lagu klasik “Pachelbel Canon in D”)

Entah sudah berapa lama gadis itu menangis.  Sendirian.

Crek!  Crek!

Dalam tangisnya, lamat-lamat Lintang mendengar suara korek api yang coba dinyalakan.  Perlahan gadis itu mengangkat tangannya dari wajah.  Dengan pandangan yang masih kabur karena air mata, dia melihat seseorang sedang membakar sesuatu.


Rian?

Semakin jelas pandangannya, semakin jelas pula apa yang dilakukan pemuda itu.


Dia sedang membakar kertas-kertas yang tadi aku berikan padanya.  Tapi kenapa?

Lintang ingin menanyakan hal itu pada Rian.  Tapi keberaniannya saat ini hilang entah ke mana.  Dia hanya bisa terdiam menyaksikan pemuda itu membakar kertas-kertas tersebut satu demi satu.


“Lin…  Siapa lagi yang tau?” Rian akhirnya bersuara, pelan.


“Tau… apa?” Lintang masih tak mengerti.  Suaranya masih terbata karena isakannya.


“Kertas-kertas ini dan cerita masa lalumu…”

Lintang tampak ragu.


“Saat ini cuma kamu.  Nggak ada lagi yang tau…  Aku cuma cerita ke kamu,” ujarnya.

Rian tampak lega.


“Berarti…  Nggak apa-apa ‘kan kalo aku bakar kertas-kertas ini?”

Lintang hanya bisa mengangguk, saat ini dirinya masih diliputi kebingungan yang teramat sangat akan tindakan Rian.

Setelah kertas-kertas itu habis dibakar seluruhnya, Rian bangkit dan mendekati Lintang yang mundur selangkah.


“Tapi… sekarang kamu sudah tau ‘kan?” Lintang masih ragu dan takut.

Rian menggeleng,


“Tau apa?  Aku masih belum tau…”


“Tapi kamu sudah liat isi amplop coklat itu.  Kamu sudah tau masa laluku.”


“Lintang, bukan itu yang aku ingin tau.  Saat ini aku belum tau jawabanmu atas perasaanku tadi.”

Lintang terkejut,


“Tapi… kamu sudah tau masa laluku…”


“Itu nggak penting.  Masa lalumu bukan kehidupanmu yang sekarang, bukan pula masa depanmu.  Lagipula ini dari berita ‘kan?  Ini masih kata orang ‘kan?  Yang terbaik buatku adalah mendengarnya dari kamu sendiri.”


“Rian…”


“Kamu tadi sudah mempertaruhkan hal terbesar dalam hidupmu hanya untuk menjawab perasaanku.  Kamu ngasih tau rahasiamu cuma ke aku.  Aku bahkan yakin kamu nggak akan memberitahukan rahasiamu yang seperti ini ke orang lain – bahkan ke sahabatmu sendiri.”

Rian melanjutkan kalimatnya,


“Karenanya aku malah semakin yakin dengan perasaanku ke kamu.”

Rian mendekati Lintang, kedua tangannya memegang bahu gadis tersebut dengan lembut.


“Lintang… Aku menyukaimu… bukan… aku mencintaimu…”

Mata Lintang membelalak lebar.


“Rian…” hanya itu yang bisa dikatakannya.


“Lintang…  Kamu mau jadi pacarku?”

Lintang tak menjawab, dan tiba-tiba memeluk Rian.  Erat.  Tindakannya ini awalnya mengejutkan Rian, namun kemudian pemuda ini balas memeluknya.

Untuk beberapa saat lamanya mereka berpelukan.


“Lintang…”


“Kenapa?” tanya Lintang.


“Kamu belum jawab pertanyaanku tadi.  Kamu mau jadi pacarku?”

Lintang tersenyum dan melepaskan pelukannya.  Dipandanginya wajah Rian.


Kamu sudah jauh berubah dari semenjak kita pertama ketemu di ruang loker.  Saat itu kamu bener-bener canggung dan kikuk.  Tapi sekarang?  Aku malah nggak nyangka bahwa hatiku jatuh padamu.


“Dengan kita yang udah pelukan seperti tadi, apa kamu masih perlu jawaban?” Lintang balik bertanya.


“Eh?” mata Rian membelalak, jantungnya berdebar kencang, “Jadi?  Itu artinya?”


“Tentu saja jawabannya ‘ya’ Rian.  Aku mau jadi pacarmu.  Kita jadian sekarang…”

Rian tersenyum,


“Terimakasih, Lintang…” ujarnya.

Mereka berdua kemudian keluar dari area sekolah sambil bergandengan tangan.  Lampu-lampu jalan sudah mulai menyala, cahayanya hangat dan menenteramkan.  Nyala lampu itu seolah menandakan satu awal yang baru dalam hubungan kedua remaja tersebut.


“Hm…  Rian…” panggil Lintang.

Saat itu mereka sudah lumayan jauh dari sekolah.


“Aku mo nanya sesuatu sama kamu.  Kamu harus jujur ya jawabnya.”

Raut wajah Lintang terlihat serius.


Waduh!  Ada apa ini?  Kok mendadak dia jadi serius gini? Pikir Rian.


“I… Iya Lin… mo nanya apa?”


“Itu… kamu tadi dapet korek dari mana?  Apa diem-diem kamu ngerokok?”


“Hah?  Korek?”  Rian kebingungan.  Tangannya kemudian merogoh saku celananya yang kiri maupun kanan.

Dan tiba-tiba…


“Adduuuh!  Astagaaa!” Rian berteriak, “Ini korek punya pak Min petugas kebersihan sekolah!  Tadi aku pinjem waktu dia mo bakar sampah!  Gawaaat!  Aku lupa!  Kita harus kembaliin sekarang!”

Lintang melotot,


“Apaa?!  Kembaliin sekarang?!  Yang bener aja!  Rian, kita udah jauh nih dari sekolah!  Masa’ harus balik lagi sih?!”


“Lintang, please…” Rian memohon.


“Nggak!”


“Please!”


“Pokoknya nggak!  Nggak!  Nggaaak!”

Dan ‘pertengkaran’ pertama mereka sebagai pacar dimulai.

"KEJARLAH CINTA" (Season I)
- T A M A T -

Cerita ini akan berlanjut ke Season II
setelah penulisnya rehat sejenak dari dunia penulisan Fiksi.


Terimakasih sudah menjadi pembaca setia cerbung "Kejarlah Cinta",
semoga terhibur dan sampai jumpa di kisah berikutnya!

===========================================================

Mobil berhenti di sebuah tempat, kelihatannya sebuah gudang yang tak terpakai.
Suasananya terasa sepi dan mencekam.

Lintang terkejut dan mulai cemas.

“Ini… di mana?” tanyanya.

Pemuda tersebut turun dari mobilnya dan terlihat dia menelepon seseorang.
Sejurus kemudian dia kembali dan mengumpat.

(Cuplikan dialog dari "Kejarlah Cinta II")

===============================

Kejarlah Cinta #1 : Perkenalan Pertama

Sumber gambar : desk7.net

Dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun