Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Dua Hati #1: Straight Set!

29 April 2014   13:56 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:04 616
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1398667219178427751

Pendahuluan :

Cerita Bersambung "Kisah Dua Hati" ini merupakan sekuel dari "Kejarlah Cinta" yang tamat di chapter 17 (The Ending).  Apabila ada kesamaan nama & tempat itu hanya kebetulan semata dan tidak merujuk pada nama & tempat yang ada di kehidupan nyata.  Selamat membaca!

CHAPTER 1


“Lintang sayang, hari ini kamu ulang tahun ‘kan?  Aku punya kejutan istimewa untukmu.  Kita akan merayakan ulang tahunmu dengan istimewa dan tak akan terlupakan seumur hidupmu.”

Lintang menuruti saja ajakan pemuda yang belum genap satu bulan menjadi pacarnya tersebut.  Dengan mengendarai sedan mewah keluaran Eropa, mereka berdua merayakan ulang tahun Lintang di sebuah café hingga lewat tengah malam.


“Sekarang aku akan membawamu ke suatu tempat.  Kamu mau ‘kan?” ajak pemuda tersebut.

Lintang yang masih muda dan sedang dimabuk cinta lagi-lagi tak menolaknya.


Aku percaya padanya.  Aku aman bersamanya.  Lagian teman-temanku juga ikut.

Dengan menggunakan dua buah mobil, rombongan itu pun berangkat, menuju ke sebuah tempat di luar kota.


“Tempatnya agak jauh tapi kita nggak akan nyesel kalo sudah di sana...” pemuda tersebut meyakinkannya.


Ke manapun kita pergi tak masalah asalkan aku bersamamu, pikir Lintang.

Mobil berhenti di sebuah tempat, kelihatannya sebuah gudang yang tak terpakai.  Tak ada bangunan lain di sekitar situ.  Suasananya terasa sepi dan mencekam.

Lintang terkejut dan mulai cemas.


“Ini… di mana?” tanyanya.

Pemuda tersebut turun dari mobilnya dan terlihat dia menelepon seseorang.  Sejurus kemudian dia kembali dan mengumpat,


“Sial!  Kita tersesat!  Kita harus kembali, tapi sebaiknya kita menunggu mereka dulu.”

Dari kejauhan tampak sorot lampu mobil.


Mereka datang!

Lintang merasa lega, begitu pula dengan pacarnya.


“Nah mereka datang.  Sebaiknya kita istirahat sebentar di sini.  Mau minum?”

Pemuda tersebut memberi segelas minuman kemasan pada Lintang yang langsung meminumnya karena haus.  Dilihatnya sorot lampu mobil itu yang semakin lama semakin besar dan terang, namun entah kenapa Lintang makin merasa tidak kuat menjaga kesadarannya.  Matanya makin lama terasa makin berat, pendengarannya semakin lama semakin jauh.  Kesadarannya perlahan menghilang.

Dengan sisa kesadarannya dia sempat melihat sebuah MPV yang berhenti dan beberapa orang turun dari dalamnya, memandang dirinya dengan seringai buas.


Kenapa ini?  Tolong!  Tolong aku!

Rrrriiinnnggg!

Suara weker membangunkan Lintang dari mimpi buruknya.  Lintang terjaga dengan jantung berdebar kencang, nafas tersengal, dan keringat yang mengalir deras.  Butuh beberapa saat baginya untuk menyadari bahwa sekarang dia sedang berada di kamarnya – tepatnya di rumah tante Ani Hadikusumo.


Mimpi.

Lintang menghela nafas.  Lega.

Saat itu jam 4.30 pagi, hari Minggu.

Meski masih terlalu pagi, Lintang membuka jendela kamarnya untuk merasakan hawa segar alami dari taman kota yang terletak di seberang rumah tantenya.  Gadis itu biasa mengawali hari Minggunya dengan berolahraga ringan dan terkadang bermain bulutangkis jika ada partnernya.  Dan kebetulan hari ini dia sudah dapat partner.

Lintang membuka ponselnya, memeriksa barangkali ada pesan masuk dari seseorang yang saat ini mengisi hatinya.

Ternyata ada!


“Pagi Lintang, apa kabar?


Kita nanti jadi ketemuan di Senayan 'kan?  Aku sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk ngalahin kamu straight set nanti!  Tunggu aja!”

Lintang tersenyum membaca pesan tersebut.

* * *


“Gimana, Rian?  Siapa yang dari dulu selalu menang straight set?”

Lintang berkacak pinggang penuh kepuasan.  Mereka sudah bertanding berkali-kali dan hasilnya selalu sama, straight set untuk kemenangan Lintang.  Di seberangnya tampak Rian yang seolah tidak terima dengan kekalahannya.


“Tunggu aja minggu depan!” katanya.


“Oyaa?” ledek Lintang, “Ini sudah minggu yang ke berapa kamu bilang seperti itu?  ‘Tunggu minggu depan, tunggu minggu depan’”

Lintang kemudian menghampiri Rian,


“Tapi ya sudahlah.  Ayo kita cari makanan dulu…” ujar gadis tersebut.


“Oke.”

Kedua remaja itu hanya sepasang anak manusia dalam riuhnya suasana di Gelora Senayan yang selalu ramai di hari Minggu pagi.  Ada yang memang benar-benar menggunakan kesempatan ini untuk berolahraga, ada pula yang berolahraga sekadarnya – untuk mencari kenalan baru sekaligus cuci mata – sambil menyelam minum air.  Namun apapun alasannya, itu tidaklah penting buat para pedagang di sini.  Yang penting buat mereka, banyak orang berarti peluang mendapatkan rezeki halal lebih besar.

Saat ini Rian dan Lintang sedang menikmati semangkuk bubur ayam.  Bubur ayam itu masih panas dengan sambal yang pahit dan pedas ditambah minumnya yang ‘hanya’ teh tawar panas.  Sungguh kombinasi sempurna.


“Ssshh… Hah!” desis Rian.

Pada dasarnya pemuda itu memang tidak tahan makanan pedas, karena itu dia merasa heran ketika dilihatnya Lintang santai-santai saja menikmati bubur ayam dengan takaran sambal yang membuat Rian tak habis pikir.


Kok bisa ya?  Apa dia nggak kepedesan?


“Rian?  Hei!”

Suara Lintang menyadarkan Rian.

“Pagi-pagi udah ngelamun.  Ngelamunin apa?  Atau ngelamunin SIAPA?”


“Nggak kok, aku nggak ngelamun…” Rian membantah, “Aku cuma mikir apa kamu nggak kepedesan makan sambel segitu banyak?”

Lintang tertawa.  Dan berikutnya gadis itu malah menyendok sambal lebih banyak lagi.  Melihatnya membuat Rian bergidik ngeri.

Lintang makan dengan lahap, tapi tiba-tiba gadis itu menghentikan makannya.  Tangannya memegang perutnya sementara wajahnya seperti menahan sakit.  Kontan saja Rian terkejut melihatnya.


“Lin, kamu nggak apa-apa?”


“Aduuh…”  Lintang mengaduh.


“Kenapa?  Perutmu sakit?  Kamu sih, kebanyakan makan sambel…” Rian makin khawatir.


“Bukan, bukan itu…” jawab Lintang pelan.


“Terus?  Yang mana yang sakit?”


“Nggak ada, aku cuma pura-pura…”


“Eh?”

Rian bengong, sementara Lintang kembali tertawa geli karena sekali lagi sukses mengerjai pemuda yang sekarang menjadi pacarnya tersebut.


Aku dikerjai lagi!

Rian bangkit dengan wajah tanpa ekspresi, membayar harga dua mangkuk bubur ayam, kemudian tanpa sepatah katapun berlari meninggalkan Lintang.  Lintang tentu saja terkejut melihatnya.


“Rian, kamu mau ke mana?”

Rian terus saja berlari tanpa menjawab.


“Rian!  Tunggu!”

Lintang menyusulnya.


“Kamu marah?” tanyanya.

Mereka bicara sambil berlari.  Rian tak menjawab pertanyaan Lintang, dia terus saja berlari.


“Rian!” panggil Lintang.

Tiba-tiba Rian berhenti.


“Lintang…” ujarnya tanpa memandang Lintang, dan ini membuat Lintang sedikit ketakutan.


Dia serius.  Mungkin aku tadi keterlaluan mengerjainya.  Aku harus minta maaf…


“Rian… aku…”


“Jangan bicara dulu,” potong Rian, “Sekarang aku harus memastikan sesuatu…”


“Memastikan… apa?” perasaan Lintang makin tak karuan.

Dilihatnya pemuda itu celingukan.


Ada apa?  Ini keliatannya gawat. Pikir Lintang.


“Lintang…” ujar Rian, “Aku kok dari tadi nggak ngeliat toilet ya?”


“Riaaan!” Lintang memekik, “Kamu tadi bikin aku ketakutan setengah mati!”

Rian tertawa.


“Saatu samaa!  Hahaha, emang enak dikerjain!”


“Riaaan!  Awas ya!”

Sepanjang perjalanan pulang, kedua remaja ini saling usil satu sama lain.

(Bersambung)


Saat bersama Rian, Lintang bisa melupakan masa lalunya yang menyakitkan.  Tapi akankah kisah cinta mereka berjalan mulus-mulus saja bak kisah cinta pangeran dan puteri negeri dongeng?  Ikuti chapter berikutnya saat Lintang merasa mimpi-mimpi buruk itu mulai mengganggunya...

"Kisah Dua Hati" terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat...

Kisah Dua Hati #2 : Mimpi yang Semakin Mengganggu |   Kejarlah Cinta #17 : The Ending

Sumber gambar : favim.com

Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun