Mimpi.
Lintang menghela nafas. Lega.
Saat itu jam 4.30 pagi, hari Minggu.
Meski masih terlalu pagi, Lintang membuka jendela kamarnya untuk merasakan hawa segar alami dari taman kota yang terletak di seberang rumah tantenya. Gadis itu biasa mengawali hari Minggunya dengan berolahraga ringan dan terkadang bermain bulutangkis jika ada partnernya. Dan kebetulan hari ini dia sudah dapat partner.
Lintang membuka ponselnya, memeriksa barangkali ada pesan masuk dari seseorang yang saat ini mengisi hatinya.
Ternyata ada!
“Pagi Lintang, apa kabar?
Kita nanti jadi ketemuan di Senayan 'kan? Aku sudah mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk ngalahin kamu straight set nanti! Tunggu aja!”
Lintang tersenyum membaca pesan tersebut.
* * *
“Gimana, Rian? Siapa yang dari dulu selalu menang straight set?”
Lintang berkacak pinggang penuh kepuasan. Mereka sudah bertanding berkali-kali dan hasilnya selalu sama, straight set untuk kemenangan Lintang. Di seberangnya tampak Rian yang seolah tidak terima dengan kekalahannya.
“Tunggu aja minggu depan!” katanya.
“Oyaa?” ledek Lintang, “Ini sudah minggu yang ke berapa kamu bilang seperti itu? ‘Tunggu minggu depan, tunggu minggu depan’”
Lintang kemudian menghampiri Rian,
“Tapi ya sudahlah. Ayo kita cari makanan dulu…” ujar gadis tersebut.
“Oke.”
Kedua remaja itu hanya sepasang anak manusia dalam riuhnya suasana di Gelora Senayan yang selalu ramai di hari Minggu pagi. Ada yang memang benar-benar menggunakan kesempatan ini untuk berolahraga, ada pula yang berolahraga sekadarnya – untuk mencari kenalan baru sekaligus cuci mata – sambil menyelam minum air. Namun apapun alasannya, itu tidaklah penting buat para pedagang di sini. Yang penting buat mereka, banyak orang berarti peluang mendapatkan rezeki halal lebih besar.
Saat ini Rian dan Lintang sedang menikmati semangkuk bubur ayam. Bubur ayam itu masih panas dengan sambal yang pahit dan pedas ditambah minumnya yang ‘hanya’ teh tawar panas. Sungguh kombinasi sempurna.
“Ssshh… Hah!” desis Rian.
Pada dasarnya pemuda itu memang tidak tahan makanan pedas, karena itu dia merasa heran ketika dilihatnya Lintang santai-santai saja menikmati bubur ayam dengan takaran sambal yang membuat Rian tak habis pikir.
Kok bisa ya? Apa dia nggak kepedesan?
“Rian? Hei!”
Suara Lintang menyadarkan Rian.
“Pagi-pagi udah ngelamun. Ngelamunin apa? Atau ngelamunin SIAPA?”
“Nggak kok, aku nggak ngelamun…” Rian membantah, “Aku cuma mikir apa kamu nggak kepedesan makan sambel segitu banyak?”
Lintang tertawa. Dan berikutnya gadis itu malah menyendok sambal lebih banyak lagi. Melihatnya membuat Rian bergidik ngeri.
Lintang makan dengan lahap, tapi tiba-tiba gadis itu menghentikan makannya. Tangannya memegang perutnya sementara wajahnya seperti menahan sakit. Kontan saja Rian terkejut melihatnya.
“Lin, kamu nggak apa-apa?”
“Aduuh…” Lintang mengaduh.
“Kenapa? Perutmu sakit? Kamu sih, kebanyakan makan sambel…” Rian makin khawatir.
“Bukan, bukan itu…” jawab Lintang pelan.
“Terus? Yang mana yang sakit?”
“Nggak ada, aku cuma pura-pura…”
“Eh?”
Rian bengong, sementara Lintang kembali tertawa geli karena sekali lagi sukses mengerjai pemuda yang sekarang menjadi pacarnya tersebut.
Aku dikerjai lagi!
Rian bangkit dengan wajah tanpa ekspresi, membayar harga dua mangkuk bubur ayam, kemudian tanpa sepatah katapun berlari meninggalkan Lintang. Lintang tentu saja terkejut melihatnya.