Kecelakaan yang menimpa Rian membuat Lintang memutuskan untuk menghadapi masa lalunya. Ia menelepon Niko dan mereka membuat janji untuk bertemu di sebuah tempat. Dan Lintang memutuskan untuk mengajak Aksa - bukannya Rian.
CHAPTER 22
The Loomloom House terletak di rooftop sebuah hotel berbintang lima di Jakarta.Lokasinya strategis dengan pemandangan yang menyuguhkan salah satu ikon kota Jakarta – Bundaran HI. View yang ikonik ini membuat Loomloom House jadi tempat bersosialisasi para ekspatriat dan eksekutif muda ibukota.
Tapi alasan kenapa Niko memilih tempat ini adalah karena café tersebut memiliki beberapa VIP private room, dan dia sudah memesan salah satunya untuk nanti bicara dengan Lintang.
“Niko, kenalkan ini temanku Aksa.Dan Aksa, ini Niko,” ujar Lintang ketika mereka bertiga bertemu.
Niko dan Aksa berjabat tangan.
“Niko.”
“Aksa.”
Gestur tubuh Aksa saat berhadapan dengan Niko diam-diam membuat Lintang kagum.Sejak dulu Niko – lewat gesturnya - mampu menunjukkan levelnya sebagai putra seorang pengusaha papan atas Indonesia, dan hampir semua orang yang ditemui Niko akan menundukkan dirinya.Kalah kelas.
Tapi tidak dengan Aksa.
Pengalaman menemani ibunya menemui relasi bisnis membuat Aksa tahu bagaimana menghadapi orang.Dia tahu kapan harus merendah, kapan harus sejajar, serta kapan harus berlaku tinggi.Dan menghadapi Niko, Aksa tahu bahwa dia harus menunjukkan dirinya sejajar dengan pemuda yang saat ini ada di hadapannya.
Diam-diam Niko pun respek pada Aksa.Mahasiswa tingkat II ini merasa ada banyak kesamaan antara mereka berdua.
“Nah Lintang, kita ngobrol di dalam?Aku sudah pesan private room buat kita,” kata Niko, “Dan Aksa, kamu juga boleh ikut kalo mau, itu juga kalo Lintang nggak keberatan…”
“Aku sama sekali nggak keberatan,” tukas Lintang memandang Aksa.
Aksa tertawa,
“Sudahlah, kalian ngobrol aja berdua, I’ll wait here.Lagian aku yakin semuanya bakal baik-baik aja, ya ‘kan Niko?”
Tanpa sadar Niko merasa sedikit tertekan oleh Aksa - sesuatu yang belum pernah dia rasakan sebelumnya.Namun Niko cepat menguasai dirinya dan mengajak Lintang ke private room yang sudah dipesannya.
“Lintang, kita ke dalam sekarang?” pintanya.
Lintang memandang Aksa, nampaknya masih ada bayangan ketakutan di wajahnya.Melihat Lintang yang seperti itu, Aksa memberi isyarat berupa anggukan kepala, sebuah isyarat bahwa semuanya akan baik-baik saja dan tak ada yang perlu dikhawatirkan.Melihat isyarat tersebut, Lintang merasa tenang dan mengikuti Niko.
“Maaf, Lintang.Kita terpaksa ngobrol di sini karena aku yakin kamu pasti butuh privasi,” Niko membuka percakapan, “Lagipula cuma di private room semacam ini aku bisa sedikit bebas dari para pengawalku.”
“Sebenarnya kamu yang butuh privasi ‘kan?” tukas Lintang sedikit ketus, “Aku sendiri sebenarnya nggak keberatan seandainya ada orang lain yang denger ceritamu nanti.”
Niko memandang Lintang dengan gundah.
“Dari nada bicaramu sepertinya kamu masih marah sama aku,” pemuda itu kemudian menghela nafas, “Yah aku maklum karena memang di matamu akulah yang bertanggung jawab atas peristiwa itu.”
“Memangnya siapa lagi kalau bukan kamu?” balas Lintang.Ia sama sekali tak berminat menyentuh makanan dan minuman yang tersedia di situ.
Gadis itu kemudian melanjutkan ucapannya,
“Belum lagi kejadian kemarin itu.Untungnya Rian nggak apa-apa tapi tetep aja aku merasa bersalah.Kalo bukan karena dia, nggak mungkin aku mau ketemu kamu, di sini, sekarang.”
Sesungguhnya Lintang merasa sangat takut berdua dengan Niko di ruangan seperti ini, karenanya ia tadi sudah berpesan agar Aksa tidak jauh-jauh dari tempat pertemuan mereka.
“Tapi itu bisa kita bicarakan nanti,” Lintang menghela nafas, “Sekarang, apa yang mau kamu ceritakan soal kejadian itu?”
“Lintang…” terdengar suara Niko, “Aku tau kamu nggak percaya sama aku.Kejadian itu memang sepenuhnya salahku, tapi ijinkan aku menceritakan kejadian yang sebenarnya padamu…”
Tak ada pilihan lain, pikir Lintang.
Suka atau tidak, siap atau tidak, pada akhirnya aku harus menghadapi hal seperti ini…
* * *
Dua tahun lalu…