Pesawat yang ditumpangi Lintang sudah berangkat, Rian hanya melihat Aksa di bandara. Dalam penyesalannya, Rian mengutarakan keinginan untuk bisa menemui Lintang dan menyatakan perasaannya pada gadis yang sangat dicintainya tersebut. Meski berulangkali menegaskan bahwa dirinya sudah terlambat, Aksa mendorong Rian berharap adanya keajaiban. Dan tepat pada saat itu, ponsel Rian berdering!
CHAPTER 29
Rian tak percaya pada apa yang dilihatnya.
Ini... telepon dari Lintang? Kok bisa? Bukannya dia harusnya ada di pesawat sekarang?
Dengan diliputi keraguan dan harapan, Rian menjawab panggilan telepon tersebut.
“Hallo?” sapanya.
“Rian...” terdengar suara Lintang dari ujung telepon.
“Lintang!” seru Rian, “Kamu di mana?”
“Apa itu penting?”
“Lintang, maaf aku terlambat.”
“Aku ngerti, Rian. Meski aku sangat berharap kamu datang tadi, tapi itu nggak mungkin ‘kan?”
“Aku minta maaf...” ulang Rian.
“Kamu nggak perlu minta maaf. Aku tau kamu cinta sama kak Rin, kamu juga pacaran dengannya, dan kamu memang harusnya ngelupain aku," desah Lintang, "Aku juga harusnya ngelupain kamu, tapi aku nggak bisa. Itu kesalahanku.”
“Lin...”
“Rian, kesalahanku adalah aku nggak bisa ngelupain kamu semenjak kita putus. Aku masih mencintaimu, dan sejujurnya aku cemburu ngeliat kedekatanmu sama kak Rin. Karena itu, mungkin inilah yang terbaik untuk kita saat ini. Kita berpisah dan nggak akan ketemu lagi, tapi...”
“Lin, ada satu hal yang harus aku beritahu ke kamu...” potong Rian.
Di seberang sana, Lintang terdiam.
“Lintang?” panggil Rian.
“Ya?”
“Aku minta maaf sudah mempermainkan perasaanmu dan seolah memberi harapan padamu. Aku juga bersalah sama Rin karena nggak bisa memberikan hatiku sepenuhnya padanya.”
“Rian, aku...”
“Tunggu sebentar, Lin,” Rian kembali memotong ucapan Lintang, “Aku sekarang sudah putus dari Rin, dan aku ingin menyampaikan perasaanku padamu.”
Rian terdiam sejenak.
“Lintang, aku sadar aku sangat mencintaimu, dulu, sekarang, dan nanti. Aku mencintaimu. Selamanya.”
“Rian...”
“Aku nggak minta kamu jadi pacarku. Aku sungguh nggak berani berharap soal itu. Aku cuma ingin kamu tau perasaanku saat ini. Aku cinta kamu.”
Hening sejenak.
“Rian, terimakasih...”
Klik!
Telepon ditutup.
Rian tertegun.
Lintang menutup teleponnya begitu saja. Hanya ucapan terimakasih yang terdengar dari mulut gadis yang sangat dicintainya itu. Tak ada ucapan lain, bahkan sekadar salam perpisahan. Ia mencoba menelepon Lintang kembali, namun berapa kali pun mencoba, yang terdengar hanya nada panggil.
Rian menyerah.
Akhirnya harus usai dengan cara seperti ini...
(Catatan penulis : sebagai musik latar untuk adegan terakhir di bawah ini, saya menawarkan instrumental yang merupakan theme song dari film Korea “A Moment To Remember”, semoga suasananya dapet. Selamat menghayati.)
Rian termangu di hadapan Aksa. Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.
Pikiran Rian saat ini terisi penuh dengan kenangan dirinya bersama Lintang sejak pertemuan pertama di ruang loker waktu mereka masih kelas XI saat Lintang memergoki dirinya yang bermaksud meletakkan surat cinta di loker Rin, kenangan ketika mereka pertama kalinya jalan berdua saja ke Dufan, obrolan di pantai Anyer, kenangan saat mereka jadian di sekolah, serta waktu-waktu kebersamaan mereka berdua hingga pembicaraan terakhir di restoran. Sebuah kenangan penuh cerita yang takkan mudah terhapus.
Ada sekeping penyesalan dalam hati Rian.
“So?” tegur Aksa.
Rian masih diam.
Yah, seperti kata Lintang tadi, mungkin ini yang terbaik untuk kita bertiga – aku, Lintang, dan Rin. Biarlah kita menempuh jalan masing-masing. Kisah cinta ini cukup jadi kenangan, takkan terhapus selamanya.
Dan di masa depan, mungkin kita akan bertemu kembali...
“Kita pulang, Ca...” ujarnya kemudian.
“Oke.”
Meski mengatakan ‘oke’, nyatanya Aksa masih diam di tempatnya.
“Ca?” tegur Rian.
“Oh iya, oke. Sorry, aku tadi ngelamun...”
Dan...
Tepat saat Rian akan bergerak, terasa olehnya satu pelukan hangat dan erat dari belakangnya.
Siapa?
Rian memutar kepalanya, berusaha melihat siapa yang memeluknya, tapi dia tak bisa. Akhirnya Rian hanya bisa menundukkan kepalanya, kemudian terlihat olehnya sepasang tangan berkulit putih. Dan di jari manis kiri orang yang memeluknya tersemat sebuah cincin dengan batu kristal kecil berwarna hitam sebagai ‘mata’nya.
Cincin ini?
Rian teringat pernah memberikan cincin tersebut pada seorang gadis di hari ulang tahunnya, hari yang sama saat dia putus dengan gadis tersebut. Gadis yang sangat dicintainya! [1]
“Lintang?” panggilnya.
Tak ada jawaban.
“Lintang?” Rian mengulangi ucapannya, “Ini... kamu?”
“Sstt...” gadis di belakangnya menyahut, “Jangan bicara dulu. Saat ini aku cuma ingin meluk kamu.”
“Oh...”
Beberapa menit lamanya mereka terdiam. Di hadapan mereka, tampak Aksa tersenyum dan mengangguk.
Akhirnya pelukan di belakangnya mengendur, Rian langsung berbalik untuk memastikan siapa yang memeluknya tadi.
Dilihatnya seorang gadis cantik berambut panjang dan bermata indah sedang memandangnya sambil tersenyum. Gadis yang sangat dicintainya!
“Lintang...” Rian terbata, “Ini... bener kamu?”
“Memangnya siapa lagi?” balas Lintang dengan mata berkaca-kaca. Senyum kebahagiaan terukir jelas di wajahnya.
“Tapi... bukannya kamu harusnya sudah di pesawat?” Rian bingung.
“Rin tadi nelpon aku,” ujar Aksa tiba-tiba, “Dia bilang kalo kamu sedang dalam perjalanan ke sini untuk nemui Lintang. Tadinya dia coba nelpon Lintang tapi selalu nada sibuk katanya.”
“Ya, mungkin waktu itu aku sedang ngobrol sama Niko,” sahut Lintang.
Rian terdiam.
Rin? Dia menelepon Lintang dan Aksa?
Aksa melanjutkan ucapannya,
“And she said, ‘tolong beritahu Lintang, Rian masih sangat mencintainya’. Aku langsung nelpon Lintang setelah itu, untungnya masih keburu.”
“Aku kemudian membatalkan penerbanganku,” ujar Lintang, “Aku tetep ke Jogja hari ini tapi pake penerbangan berikutnya. Aku ingin menemuimu dan mengatakan bahwa aku juga sangat mencintaimu...”
Lintang mengusap matanya yang basah oleh air mata, namun gadis itu tetap tak melepaskan pandangannya dari Rian - pemuda yang saat ini ada di hadapannya, pemuda yang sangat dicintainya.
“Lintang..." panggil Rian.
Dirinya bukanlah pemuda yang gampang menangis, tapi kenyataan ini tanpa sadar membuatnya menitikkan air mata. Air mata kebahagiaan.
Terimakasih Rin. Terimakasih Aksa.
Di hadapannya kini tampak yang Lintang tersenyum padanya. Lintang kemudian memeluk Rian yang membalas pelukannya. Kedua sejoli itupun berpelukan erat di bandara, tak peduli pada suasana sekeliling.
“Lintang Paramitha, aku sangat mencintaimu. Kamulah cintaku...”
“Rian Angkasa, aku juga sangat mencintaimu. Kamulah cintaku...”
(Bersambung)
Setelah melalui berbagai kisah berliku, Rian dan Lintang akhirnya menyadari sebuah kenyataan tak terelakkan bahwa mereka saling mencintai. Setelah melalui perasaan sakit dan terombang-ambing, saat ini hati mereka kembali bertaut. Dan sebuah pelukan erat di bandara menjadi penutup kisah pengejaran cinta mereka, menjadi bukti kuatnya cinta mereka.
Jangan lewatkan kemunculan Rin di chapter terakhir "Kisah Dua Hati" yang sekaligus menutup rangkaian cerbung "Kejarlah Cinta" dan "Kisah Dua Hati". Chapter terakhir direncanakan terbit hari Rabu 16 Juli 2014...
Kisah Dua Hati #30 : Akhir Sebuah Kisah | Kisah Dua Hati #1 : Straight Set!
[1] Cerita soal ini ada di "Kisah Dua Hati" chapter 5
Sumber gambar : tumblr.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H