Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kisah Dua Hati #29: Aku Sangat Mencintainya; Dulu, Sekarang, dan Nanti…

14 Juli 2014   14:03 Diperbarui: 18 Juni 2015   06:23 611
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Cerita Sebelumnya :

Pesawat yang ditumpangi Lintang sudah berangkat, Rian hanya melihat Aksa di bandara.  Dalam penyesalannya, Rian mengutarakan keinginan untuk bisa menemui Lintang dan menyatakan perasaannya pada gadis yang sangat dicintainya tersebut.  Meski berulangkali menegaskan bahwa dirinya sudah terlambat, Aksa mendorong Rian berharap adanya keajaiban.  Dan tepat pada saat itu, ponsel Rian berdering!

CHAPTER 29

Rian tak percaya pada apa yang dilihatnya.


Ini... telepon dari Lintang?  Kok bisa?  Bukannya dia harusnya ada di pesawat sekarang?

Dengan diliputi keraguan dan harapan, Rian menjawab panggilan telepon tersebut.


“Hallo?” sapanya.


“Rian...” terdengar suara Lintang dari ujung telepon.


“Lintang!” seru Rian, “Kamu di mana?”


“Apa itu penting?”


“Lintang, maaf aku terlambat.”


“Aku ngerti, Rian.  Meski aku sangat berharap kamu datang tadi, tapi itu nggak mungkin ‘kan?”


“Aku minta maaf...” ulang Rian.


“Kamu nggak perlu minta maaf.  Aku tau kamu cinta sama kak Rin, kamu juga pacaran dengannya, dan kamu memang harusnya ngelupain aku," desah Lintang, "Aku juga harusnya ngelupain kamu, tapi aku nggak bisa.  Itu kesalahanku.”


“Lin...”


“Rian, kesalahanku adalah aku nggak bisa ngelupain kamu semenjak kita putus.  Aku masih mencintaimu, dan sejujurnya aku cemburu ngeliat kedekatanmu sama kak Rin.  Karena itu, mungkin inilah yang terbaik untuk kita saat ini.  Kita berpisah dan nggak akan ketemu lagi, tapi...”


“Lin, ada satu hal yang harus aku beritahu ke kamu...” potong Rian.


Di seberang sana, Lintang terdiam.


“Lintang?” panggil Rian.


“Ya?”


“Aku minta maaf sudah mempermainkan perasaanmu dan seolah memberi harapan padamu.  Aku juga bersalah sama Rin karena nggak bisa memberikan hatiku sepenuhnya padanya.”


“Rian, aku...”


“Tunggu sebentar, Lin,” Rian kembali memotong ucapan Lintang, “Aku sekarang sudah putus dari Rin, dan aku ingin menyampaikan perasaanku padamu.”

Rian terdiam sejenak.


“Lintang, aku sadar aku sangat mencintaimu, dulu, sekarang, dan nanti.  Aku mencintaimu.  Selamanya.”


“Rian...”


“Aku nggak minta kamu jadi pacarku.  Aku sungguh nggak berani berharap soal itu.  Aku cuma ingin kamu tau perasaanku saat ini.  Aku cinta kamu.”


Hening sejenak.


“Rian, terimakasih...”

Klik!

Telepon ditutup.

Rian tertegun.

Lintang menutup teleponnya begitu saja.  Hanya ucapan terimakasih yang terdengar dari mulut gadis yang sangat dicintainya itu.  Tak ada ucapan lain, bahkan sekadar salam perpisahan.  Ia mencoba menelepon Lintang kembali, namun berapa kali pun mencoba, yang terdengar hanya nada panggil.

Rian menyerah.


Akhirnya harus usai dengan cara seperti ini...

(Catatan penulis : sebagai musik latar untuk adegan terakhir di bawah ini, saya menawarkan instrumental yang merupakan theme song dari film Korea “A Moment To Remember”, semoga suasananya dapet. Selamat menghayati.)

Rian termangu di hadapan Aksa.  Tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya.

Pikiran Rian saat ini terisi penuh dengan kenangan dirinya bersama Lintang sejak pertemuan pertama di ruang loker waktu mereka masih kelas XI saat Lintang memergoki dirinya yang bermaksud meletakkan surat cinta di loker Rin, kenangan ketika mereka pertama kalinya jalan berdua saja ke Dufan, obrolan di pantai Anyer, kenangan saat mereka jadian di sekolah, serta waktu-waktu kebersamaan mereka berdua hingga pembicaraan terakhir di restoran.  Sebuah kenangan penuh cerita yang takkan mudah terhapus.

Ada sekeping penyesalan dalam hati Rian.


“So?” tegur Aksa.

Rian masih diam.


Yah, seperti kata Lintang tadi, mungkin ini yang terbaik untuk kita bertiga – aku, Lintang, dan Rin.  Biarlah kita menempuh jalan masing-masing.  Kisah cinta ini cukup jadi kenangan, takkan terhapus selamanya.

Dan di masa depan, mungkin kita akan bertemu kembali...


“Kita pulang, Ca...” ujarnya kemudian.


“Oke.”

Meski mengatakan ‘oke’, nyatanya Aksa masih diam di tempatnya.


“Ca?” tegur Rian.


“Oh iya, oke.  Sorry, aku tadi ngelamun...”

Dan...

Tepat saat Rian akan bergerak, terasa olehnya satu pelukan hangat dan erat dari belakangnya.


Siapa?

Rian memutar kepalanya, berusaha melihat siapa yang memeluknya, tapi dia tak bisa.  Akhirnya Rian hanya bisa menundukkan kepalanya, kemudian terlihat olehnya sepasang tangan berkulit putih.  Dan di jari manis kiri orang yang memeluknya tersemat sebuah cincin dengan batu kristal kecil berwarna hitam sebagai ‘mata’nya.


Cincin ini?

Rian teringat pernah memberikan cincin tersebut pada seorang gadis di hari ulang tahunnya, hari yang sama saat dia putus dengan gadis tersebut.  Gadis yang sangat dicintainya! [1]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun