Penulis : Ryan M. | No. : 4
Sirine itu meraung keras menemani pendar cahaya dari lampu rotator mobil polisi, ambulans, dan regu penolong yang terlihat menyilaukan.
Gene tak bisa bergerak, tak bisa melihat, bahkan tak bisa merasakan apapun.
Ia hanya bisa mendengar.
“C’mon boy, can you hear me?” terdengar di telinganya suara seorang laki-laki.
Gene hanya bisa mengangguk – atau begitulah menurut perasaannya.
“Oke. Bertahanlah! Kamu kuat, Nak! Hang on!”
Berikutnya ia hanya tahu tubuhnya terguncang ditimpali suara beberapa orang dan derit roda dari tandu yang membawanya.
Setelah itu ia tak tahu apa-apa lagi.
Semua gelap. Kosong.
* * *
“Gene?”
Satu suara memanggilnya.
Di mana aku?
Gene tak tahu bagaimana ia bisa sampai di tempat seperti ini – sebuah pantai dengan pasirnya yang halus. Di kejauhan tampak matahari berada di garis batas cakrawala – entah terbit atau tenggelam – Gene tidak tahu.
Di mana ini?
Langit berwarna jingga saat itu. Ia bisa merasakan angin bertiup lembut. Sangat menenangkan.
Begitu tenang di sini.
Gene berjalan menyusuri garis pantai, menikmati keindahan yang tersaji di sekitarnya.
“Gene?”
Suara itu terdengar lagi.
Gene menghentikan langkahnya.
“Gene?”
Saat itu Gene baru sadar.
Ia hanya sendirian di situ. Tidak ada manusia ataupun makhluk lain.
Aku sendirian?
Dan ada banyak hal yang sangat mengganggu pikirannya.
Tidak ada suara ombak.Tidak ada suara gemericik air.
Tidak ada suara angin.
Bahkan angin pun bertiup ke arah yang salah.
Aku di mana?
Tempat apa ini?
Suara itu terdengar lagi. Kali ini Gene merasa dirinya terhempas kuat.
* * *
Greenrose Medical Center, Cormount.
Sambil memasuki rumah sakit tersebut, Gene mengingat kejadian 21 tahun yang lalu. Malam itu motor yang dikendarainya bertabrakan dengan sebuah truk kontainer dan ia terpental. Kecelakaan itu membuatnya koma selama beberapa minggu.
“Selamat siang,” sapa Gene pada perawat yang bertugas di situ, “Saya sudah ada janji dengan Tuan Robert Cross.”
Dia yang berusaha mengembalikan hidupku.
Robert Cross berusia sekitar 78 tahun. Saat peristiwa 21 tahun lalu, dia adalah dokter yang menangani Gene.
“Halo, dok,” sapa Gene ketika ia melihat orang yang menyelamatkan nyawanya itu.
Cross menoleh dan mengangguk lemah. Berbagai selang menancap di seluruh tubuhnya. Ketika melihat Gene, ia memaksakan diri untuk bangkit namun Gene buru-buru mencegahnya dan membantu tubuh renta itu untuk duduk bersandar.
Cross melepas masker yang membantunya bernafas.
“Halo, Gene,” sapanya, “Sudah lama sekali ya.”“Bagaimana kondisimu?” tanya Gene.
“Yah seperti yang kau lihat,” Cross terkekeh kemudian terbatuk-batuk.
“Jangan memaksakan diri,” ujar Gene sambil memegang pundak Cross.
Untuk beberapa menit, Cross berusaha mengatur nafasnya.
“Semua alat ini percuma,” katanya sambil melihat berbagai peralatan penunjang hidupnya.“Dok, mereka bermaksud baik,” ujar Gene.
“Aku tahu, Nak. Hanya saja ini percuma. Kau tahu aku ‘kan?”
Gene mengangguk mendengar perkataan Cross barusan.
Kita sama.Kita berbeda dari orang lain.
“Kau tahu?” ucap Cross, “Alasan aku berkeras menarikmu dari keadaan koma waktu itu adalah karena aku tahu kondisimu baik-baik saja.”
“Aku hidup berkat pertolonganmu, dok,” balas Gene.
Cross mengibaskan tangannya,
“Aku tidak melakukan apa-apa. Aku hanya tahu bahwa saat kematianmu belum tiba. Itu saja.”
Orang tua itu menatap Gene,
“Dengan profesiku sebagai dokter, aku terikat sumpah untuk menyelamatkan nyawa manusia, meskipun kadang bertentangan dengan suara hatiku. Dan itu membuatku merasa bersalah.”“Maksudmu?” Gene tak mengerti.
“Begitu menyentuh seseorang yang sedang sakit atau sekarat, aku tahu apakah saat itu dia masih bisa diselamatkan atau tidak. Tapi, bisnis tetap bisnis. Sebagai dokter, aku dibayar untuk memberikan harapan pada keluarga pasien, bukan untuk menyampaikan kebenaran yang aku tahu. Tapi sudahlah, saat menyentuhmu waktu itu, aku juga tahu bahwa kau sama sepertiku.”
Cross tersenyum samar,
“Aku tahu waktuku sudah dekat,” bisiknya, “Karena itu aku memanggilmu kemari. Kau bisa menolongku untuk terakhir kalinya?”
Gene melihat orang tua itu mengulurkan tangan padanya. Gene pun menggenggam tangan Cross.
“Ah, rasanya sudah lama sekali,” gumam Cross, “Ijinkan aku mengucap terimakasih padamu sebelum semua ini berakhir, Gene.”
Beberapa menit kemudian, keriput di tangan Cross perlahan menghilang. Gene memandang takjub perubahan tubuh Cross dari seorang kakek menjadi seorang laki-laki muda berusia sekitar 30 tahun.
“Masa muda yang menyenangkan, bukan?” gumam Cross tetap terbaring di tempatnya, “Tapi ini baru awalnya. Nah sekarang kau lihat, Gene.”
Tiba-tiba entah dari mana datangnya, di hadapan Cross berdiri seorang perempuan yang usianya sebaya dengan Cross muda. Perempuan itu kelihatannya cerdas.
Mungkin dia berprofesi sebagai pengacara? Pikir Gene.“Ya, kau benar,” jawab Cross menjawab rasa penasaran Gene.
Perempuan itu menghampiri Cross dan tersenyum.
“Robert,” katanya, “Aku datang.”“Aku tahu kau akan datang, Ann,” ujar Cross, “Akhirnya kita bisa bersama.”
“Ya, Robert. Aku sudah lama menunggumu.”
“Ann, I love you...”
“I love you, too, Robert,” sahut Ann yang kemudian membungkuk dan memeluk Robert, “Kita pulang sekarang?”
“Of course, my dear,” ujar Cross, “Kita pulang sekarang.”
Cross menoleh pada Robert,
“Terimakasih, Gene. Sekarang kau bisa melepaskan tanganmu. Waktuku sudah hampir tiba.”
Gene melepaskan satu tangannya pada Cross agar pria muda di hadapannya ini bisa memeluk Ann yang sangat berarti baginya.
Untuk beberapa saat lamanya Cross dan Ann berpelukan.
Beberapa menit kemudian Cross menutup matanya, nafasnya terhenti.
Ia meninggal dalam senyuman.
Gene menghela nafas dan melepaskan tangan Cross.
Tubuh pria muda itu perlahan kembali menua, dan sosok Ann perlahan menghilang.
=====&=====
Catatan Penulis :
Untuk lebih memperkuat suasana, tulisan ini bisa dibaca sambil mendengarkan lagu "Leave Out All The Rest" dari Linkin Park di bawah ini (mulai dari adegan di mana Cross mengulurkan tangan pada Gene) :
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com
untuk event FIKSI FANTASI yang diadakan oleh FIKSIANA COMMUNITY.
Untuk membaca karya peserta lain, silakan menuju akun FIKSIANA COMMUNITY
Silakan bergabung di grup FB FIKSIANA COMMUNITY
Sumber gambar : newsnetwork.mayoclinic.org
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H