Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Ada Cinta #18: Foto dari Masa Lalu

4 November 2014   15:33 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:43 233
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14150646081527948488

Sinopsis :

Angga seorang siswa kelas XII secara tiba-tiba kedatangan teman masa kecilnya yang bernama Nay.  Setelah melalui berbagai peristiwa bersama-sama, akhirnya tumbuh rasa saling suka antara keduanya.  Kini mereka sudah jadian, namun masih ada satu rahasia yang selama ini disimpan oleh Nay tentang siapa dirinya sebenarnya.

CHAPTER 18

“Nay, kamu nggak apa-apa?”

Mendengar teguran Novan, Nay tersadar dari lamunannya. Saat ini mereka berada dalam kereta eksekutif menuju Jakarta.

“Kamu nggak apa-apa?” Novan mengulang pertanyaannya.

Bukan tanpa alasan jika remaja tinggi besar tersebut mengajukan pertanyaan seperti itu. Sejak kereta bergerak, gadis di hadapannya itu lebih sering diam dan melamun. Ia hanya bicara seperlunya jika ditanya.

Mendengar pertanyaan Novan, Nay hanya menggeleng. Ia kemudian mengambil ponselnya.

Nggak ada sinyal.

Gadis cantik berambut panjang itu menghela nafas. Kesal.

“Kangen sama Angga ya?” goda Novan.

Nay membelalakkan mata kemudian membuang pandangannya ke luar jendela.

“Atau… mungkin kamu sebenarnya berharap bukan aku yang ikut sama kamu, tapi Angga. Ya ‘kan?” lanjut Novan.

“Aku jadi nggak enak sama Angga,” keluh Nay.

“Aku juga sebenarnya nggak enak,” timpal Novan, “Apalagi setelah aku tau kalo kalian belum lama jadian.”

Sembari berkata begitu, Novan menawari Nay sepotong roti.

“Thanks,” Nay menolak dengan halus.

Novan melahap rotinya kemudian meneguk sebotol air mineral.

Di luar jendela kereta terhampar hijaunya persawahan dengan latar belakang gunung menjulang. Sebuah pemandangan klasik yang banyak diabadikan dalam hasil goresan tangan pelukis. Nay masih memandang ke luar jendela.

“Nay,” panggil Novan yang akhirnya ikut-ikutan melihat ke luar jendela.

“Hm?” acuh tak acuh Nay menjawab.

“Kalian jadian, apa Angga sudah tau siapa kamu sebenarnya?”

Nay kembali menghembuskan nafas. Melalui pantulan jendela kereta, Novan melihat gadis itu menggelengkan kepalanya.

“Kenapa?” tanya Novan.

Nay tak menjawab.

Novan menghela nafas.

“Aku bersahabat dengan Angga dari kecil, aku tau beberapa sifatnya.”

Pemuda tersebut menoleh dan memandang Nay yang masih mengarahkan pandangannya ke luar jendela.

“Nay, lebih baik kamu cerita hal yang sebenarnya ke Angga – secepatnya. Ini serius.”

Nay memandang Novan.

“Thanks, Van. Sepertinya habis pulang dari Jakarta nanti aku mau cerita ke dia.”

Novan tersenyum.

Semoga belum terlambat, Nay.

* * *

Sepi rasanya nggak ada Nay.

Angga tak tahu apa yang harus dilakukan. Sedari tadi dia hanya memainkan ponsel duduk-duduk di teras rumahnya.

Mana dari tadi aku telpon nggak nyambung-nyambung pula…

Tepat saat Angga memutuskan untuk masuk ke dalam rumah, ia melihat kedatangan Ami.

“Angga!” panggil gadis berkacamata tersebut.

“Oh, hai Ami,” sapa Angga.

Ami mematikan mesin motor maticnya.

“Nay ada?” tanyanya seraya melepas helm.

“Nay?  Dia baru aja berangkat.”

“Berangkat?” Ami heran, “Ke mana?”

“Ke Jakarta,” jawab Angga, “Liburan tanggal merah ini dia katanya mau ketemu orangtuanya.  Nay nggak ngomong ke kamu?”

Ami menggeleng,

“Yang aku tau malah Novan yang ke Jakarta,” sambungnya.

“Mereka barengan,” timpal Angga.

“Oh? Iyakah?” Ami tak bisa menyembunyikan keterkejutannya, “Tapi… kok kamu nggak ikut?”

“Nggak perlulah,” jawab Angga, “Aku juga kebetulan lagi pengen di rumah aja.”

Nggak mungkinlah aku bilang ke Ami kalo Nay nggak mau aku ikut…

“Oh,” Ami berpikir, “Kalo gitu, apa aku sekarang ngganggu waktu santaimu?”

“Ah nggak kok,” tukas Angga cepat, “Silakan masuk!”

“Hm…” Ami tampak ragu,” Bener nih nggak apa-apa?”

* * *

Masih nggak ada sinyal.  Kok tumben sih?

Rasanya Nay ingin membanting ponselnya yang sepanjang perjalanan ini masih sulit mendapat sinyal, apalagi tatkala ia tahu beberapa penumpang masih bisa berkomunikasi melalui perangkat tersebut.

“Van,” panggilnya pada Novan yang kelihatannya sedang asyik dengan ponselnya.

Novan menoleh.

“Handphone-mu dapet sinyal nggak?” Nay melanjutkan ucapannya.

* * *

“Angga!  Handphone-mu bunyi tuh!” teriak Ami dari ruang tamu.

Angga yang sedang di dapur membuat minuman dingin mendengar seruan Ami dan bunyi ringtone ponselnya.

“Ya, biarin aja!” balas Angga pada Ami.

Ringtone-nya bukan dari Nay, pikirnya.

Tak berapa lama pemuda ini keluar sambil membawa dua gelas minuman dingin.

“Ini, silakan,” ujarnya.

“Thanks, Ngga,” balas Ami, “Handphone-mu bunyi dari tadi, barangkali itu dari Nay.”

“Hm… telepon dari Nay sudah pake ringtone khusus,” ujar Angga.

“Cieee…” goda Ami.

* * *

Teleponnya nggak diangkat!

Sudah dua kali Nay mencoba menghubungi Angga namun telepon itu tak kunjung diangkat.

Huuh!  Angga, kamu ke mana sih?

* * *

Angga dan Ami sedang bercakap ringan ketika pandangan Ami tertumbuk pada sebuah album foto di ruangan tersebut.

“Angga,” ujarnya, “Katanya dulu kamu, Novan, sama Nay itu teman masa kecil.”

“Begitulah,” sahut Angga, “Cuma aku banyakan lupanya daripada ingetnya.  Maklumlah, waktu itu aku masih 5-6 tahun.”

“Aku penasaran,” timpal Ami, “Di situ ada album foto, kira-kira ada foto kecil Nay nggak ya di dalamnya?”

“Ah iya juga ya!” Angga berseru, “Boleh juga idemu. Yuk kita liat!”

Tanpa membuang waktu, Angga segera mengambil album foto tersebut dan bersama Ami mulai membuka halaman demi halaman dalam album tersebut.  Sesekali mereka tertawa lepas ketika melihat satu-dua foto yang lucu.

“Naah, ini nih!” seru Ami, “Apa mungkin ini?”

Foto itu memperlihatkan Ibu saat masih muda, dan ada beberapa foto yang kelihatannya diambil di sebuah Rumah Sakit.

“Menjenguk sahabatku Saras yang baru saja melahirkan bayi kembar”

“Aku, Saras, dan si kembar Nayla-Nayra”

“Tunggu dulu,” ujar Ami setelah melihat foto-foto tersebut, “Nay itu… kembar?”

“Aku juga baru tau kemarin waktu dia mau ke Jakarta,” jawab Angga.

“Oh.”

Mereka berdua terus membuka halaman demi halaman dalam album tersebut.

“Nah, foto ini mungkin!” Ami menunjuk sebuah foto saat Angga berusia sekitar 5 tahun yang sedang bersama seorang anak perempuan seusianya.

Dan di bawah foto tersebut tertulis,

“Angga dan Nayra, hari pertama masuk TK”

Tepat pada saat itu ponsel Angga berdering.

(Bersambung)

Foto di album tersebut menyebutkan nama "Nayra" - bukannya "Nayla".  Apakah Angga pada akhirnya tahu jati diri Nay yang sebenarnya?  Dan bagaimana nanti reaksi Angga, juga Ami?  Ikuti chapter berikutnya saat hubungan mereka berdua memburuk!

“Ada Cinta”, terbit dua kali dalam seminggu, Selasa dan Jumat…

Ada Cinta #19 : Rahasia yang Terkuak |   Ada Cinta #1 : Siapa gadis Itu?

Sumber gambar : photobucket.com
Tulisan ini masuk kategori “Fiksi” dan dipublish pertamakali di www.kompasiana.com, copasing diizinkan dengan mencantumkan URL lengkap posting di atas atau dengan tidak menghapus/mengedit amaran ini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun