Kesan pertama setelah memasuki kawasan pantai adalah,
[caption id="attachment_334048" align="aligncenter" width="320" caption="Si sulung dan si bungsu bermain pasir, dilanjut dengan berenang (dokpri)"]
“Pantai sudah berubah?”
Saat ini ada tembok pembatas antara pantai dengan area komersil (seingat saya dulu tidak ada), mungkin untuk mencegah agar air pasang tidak membanjir. Bibir pantai juga saya lihat semakin sempit (atau mungkin karena tadi air sedang pasang, entahlah). Soal tembok ini nampaknya dikeluhkan beberapa pengunjung – terutama yang anggota keluarganya menyandang disabilitas.
“Dulu nggak ada temboknya, jadi dia (sambil menunjuk seseorang yang duduk di kursi roda) bisa liat pantai. Kalo sekarang nggak bisa, apalagi harus naik tangga.”
Saya rasa ini pantas jadi catatan bagi pengelola Ancol bahwa pantai bukan hanya milik pengunjung yang sehat (jasmani), bahkan mereka yang kurang beruntung kondisi fisiknya pun seharusnya memiliki hak yang sama untuk menikmati pantai.
Kembali ke topik.
Setelah menyewa tikar seharga Rp 20.000,- kami pun mulai menikmati angin pantai sementara kedua putri kami asyik bermain pasir yang dilanjut dengan berenang. Untunglah kelihatannya matahari sedang sedikit bersahabat sehingga cuaca tidak begitu terik.
Bekal makan siang pun dibuka. Sengaja memang istri saya sudah mempersiapkan semuanya dari rumah termasuk sendok dan dua botol besar air mineral karena rata-rata makanan dan minuman di sini – seperti di tempat wisata lainnya – dijual dengan harga lebih tinggi. Contohnya saja air mineral 600 ml yang biasanya dijual seharga Rp 3.000,- di sini harus ditebus dengan harga Rp 5.000,-
Singkat cerita, sekitar jam 2 siang kami memutuskan menyudahi kesenangan karena cuaca diprediksi hujan dan saya tidak mau terjebak hujan di daerah Jakarta Utara.
Catatan Akhir
[caption id="attachment_334050" align="aligncenter" width="320" caption="Bergaya di dermaga Ancol (dokpri)"]