Mohon tunggu...
Ryan M.
Ryan M. Mohon Tunggu... Editor - Video Editor

Video Editor sejak tahun 1994, sedikit menguasai web design dan web programming. Michael Chrichton dan Eiji Yoshikawa adalah penulis favoritnya selain Dedy Suardi. Bukan fotografer meski agak senang memotret. Penganut Teori Relativitas ini memiliki banyak ide dan inspirasi berputar-putar di kepalanya, hanya saja jarang diungkapkan pada siapapun. Professional portfolio : http://youtube.com/user/ryanmintaraga/videos Blog : https://blog.ryanmintaraga.com/

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Pantai Ancol Makin "Eksklusif"?

9 November 2014   02:23 Diperbarui: 17 Juni 2015   18:17 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Kesan pertama setelah memasuki kawasan pantai adalah,

[caption id="attachment_334048" align="aligncenter" width="320" caption="Si sulung dan si bungsu bermain pasir, dilanjut dengan berenang (dokpri)"]

1415449219626310076
1415449219626310076
[/caption]

“Pantai sudah berubah?”

Saat ini ada tembok pembatas antara pantai dengan area komersil (seingat saya dulu tidak ada), mungkin untuk mencegah agar air pasang tidak membanjir. Bibir pantai juga saya lihat semakin sempit (atau mungkin karena tadi air sedang pasang, entahlah). Soal tembok ini nampaknya dikeluhkan beberapa pengunjung – terutama yang anggota keluarganya menyandang disabilitas.

“Dulu nggak ada temboknya, jadi dia (sambil menunjuk seseorang yang duduk di kursi roda) bisa liat pantai.  Kalo sekarang nggak bisa, apalagi harus naik tangga.”

Saya rasa ini pantas jadi catatan bagi pengelola Ancol bahwa pantai bukan hanya milik pengunjung yang sehat (jasmani), bahkan mereka yang kurang beruntung kondisi fisiknya pun seharusnya memiliki hak yang sama untuk menikmati pantai.

Kembali ke topik.

Setelah menyewa tikar seharga Rp 20.000,- kami pun mulai menikmati angin pantai sementara kedua putri kami asyik bermain pasir yang dilanjut dengan berenang. Untunglah kelihatannya matahari sedang sedikit bersahabat sehingga cuaca tidak begitu terik.

Bekal makan siang pun dibuka. Sengaja memang istri saya sudah mempersiapkan semuanya dari rumah termasuk sendok dan dua botol besar air mineral karena rata-rata makanan dan minuman di sini – seperti di tempat wisata lainnya – dijual dengan harga lebih tinggi.  Contohnya saja air mineral 600 ml yang biasanya dijual seharga Rp 3.000,- di sini harus ditebus dengan harga Rp 5.000,-

Singkat cerita, sekitar jam 2 siang kami memutuskan menyudahi kesenangan karena cuaca diprediksi hujan dan saya tidak mau terjebak hujan di daerah Jakarta Utara.

Catatan Akhir


[caption id="attachment_334050" align="aligncenter" width="320" caption="Bergaya di dermaga Ancol (dokpri)"]

1415449300551761575
1415449300551761575
[/caption]

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun