Meluncur satu puisi dari mulut Hatta. Sjahrir tercekat sesaat, tak percaya dengan apa yang didengarnya. Dia tersenyum keheranan pada Hatta.
“Kukira kau hanya sibuk dengan teori dan buku-buku tebal, Bung.”
(“Hatta” – halaman 231)
Sebagai pembaca, rasanya kita bisa membayangkan betapa akrabnya mereka berdua. Sebuah hubungan persahabatan yang manusiawi dan tidak melulu diisi dengan diskusi-diskusi serius.
Dalam kata pengantarnya, Meutia Hatta yang bertindak atas nama keluarga besar Bung Hatta menyatakan sama sekali tidak keberatan dengan pendekatan yang digunakan sang penulis, beliau hanya meminta agar data tentang riwayat dan sejarah perjuangan Bung Hatta tidak diubah.
Dan di bagian akhir buku ini, Sergius Sutanto menceritakan bahwa ia mengirimkan naskah novel tersebut pada keluarga Bung Hatta untuk mendapatkan persetujuan. Sedikit informasi, perkenalan Sergius Sutanto dengan keluarga besar Bung Hatta bermula saat ia menjadi sutradara dalam sebuah dokudrama tentang Bung Hatta produksi Trans TV tahun 2002. Ya, Sergius Sutanto memang lebih dikenal sebagai seorang sutradara yang sudah melahirkan banyak karya.
Penutup
Secara fisik, novel berdimensi 13 x 20 cm dan tebal 2,5 cm ini nyaman dibaca. Pemilihan kertas, ukuran dan jenis huruf, jarak antar baris, hingga pemisahan bab membuat “Hatta” tidak melelahkan untuk dibaca – bahkan bagi pembaca yang sudah di ambang usia 40 seperti saya.
Mungkin satu-satunya kelemahan novel ini adalah tidak tersedianya pembatas buku sehingga saya mesti menyelipkan kertas kecil ketika memutuskan untuk rehat sejenak.
Jika tertarik, sampai beberapa waktu lalu saya masih melihat buku ini tersedia di Gramedia dengan harga sekitar Rp 70.000 dan belum masuk golongan buku yang didiskon.
Sekadar catatan narsis, di halaman 349 ada nama saya disebut-sebut lho hehehe…
“Hoe gaat het met jou?” tanya Soekarno lirih.