Nah, sampai sini, apa Kompasianer sudah dapat inspirasi untuk bahan tulisan?
Sekarang kita berlanjut ke unsur berikutnya.
IMAJINASI
Setelah mendapat inspirasi, tugas kita berikutnya adalah berimajinasi. Imajinasi di sini bisa juga diartikan sebagai, "Apakah cerita yang akan kita buat jalannya sama seperti peristiwa di dunia nyata atau tidak?"
Biarkan otak kita menyusun rangkaian peristiwa dalam kisah yang akan kita buat. Biarkan otak menyusun skenario A, B, bahkan C. Jika imajinasi Kompasianer sedang penuh, tak ada salahnya mencatat garis besar ide ceritanya atau mungkin mencoba membuat sebuah timeline (menurut istilah saya) untuk memudahkan penyusunan kerangka cerita (soal timeline ini pernah saya tulis di sini).
Jika kita kembali pada contoh-contoh inspirasi tadi, imajinasi yang saya terapkan adalah sbb :
- Untuk cerita "Tetanggaku yang Cantik", dikisahkan bahwa tokoh utama terobsesi dengan tetangganya yang cantik. Sementara di kehidupan nyata? Biasa aja keleus hehehe... Tokoh utama juga digambarkan sebagai seorang ayah muda dengan satu anak yang masih bayi, sementara saya adalah seorang ayah dengan dua anak dan satu dekade lagi bakal setengah abad menjalani hidup di dunia. Dari sini sudah terlihat bahwa inspirasi tetaplah inspirasi, dan bukan berarti jalannya cerita harus sama dengan kejadian sebenarnya.
- Untuk cerita "Suatu Hari di Tahun 2034" dan "Clone (Kehidupan Kedua)" saya berimajinasi tentang kehidupan di masa depan sejauh yang saya bisa, itulah sebabnya kedua cerita tersebut mengambil setting tahun yang tidak terlalu jauh dengan masa sekarang supaya pembaca masih bisa memahami teknologi yang digunakan. Modul nano, android, layar holografik, teknologi kloning, semua adalah hal-hal yang mungkin terjadi di masa mendatang. Kemudian supaya ceritanya mudah dicerna, sengaja saya mengambil tema abadi yaitu cinta - atau lebih tepatnya relasi antar personal.
- Untuk "Satu Kisah Tentang Cinta", imajinasinya berawal dari hal sederhana. Menjelang pernikahan, calon pengantin pasti sibuk menyebar bahkan terkadang mengantar sendiri undangan pernikahannya. Imajinasi saya bergerak, "Bagaimana seandainya terjadi hal yang tidak diinginkan terhadap calon pengantin?" Kejam memang, tapi semoga ada hikmah yang bisa diambil.
Nah, sampai sini bagaimana? Sudahkah Kompasianer menemukan imajinasi yang tepat untuk cerita yang akan dibuat?
Kita sekarang berlanjut ke unsur berikutnya.
REFERENSI
Setelah mendapat inspirasi dan menangkap imajinasi, sekarang saatnya kita mencari referensi agar cerita yang kita buat seolah nyata. Referensi bisa hadir berupa nama tokoh dalam cerita yang kita buat, misal jika kita membuat cerita yang berlokasi di Indonesia, nama "Chewbacca" atau "Spock" rasanya tidak cocok. Atau jika kita membuat cerita tentang anak sekolah, bakal aneh jika di bulan Juni-Juli diceritakan bahwa mereka kena setrap guru di sekolah, lha bulan-bulan itu kan biasanya libur tahun ajaran?
Contoh referensi yang saya gunakan dalam cerita adalah sbb :
- Dalam cerita terbaru "The Throne", saya mencari referensi berupa nama tokoh, suku, dan tempat agar sesuai dengan setting abad pertengahan - meski cerita ini terjadi di negeri antah-berantah. Saya juga harus mencari gelar-gelar yang cocok seperti "Grand Commander" sebagai pengganti "Jenderal" untuk pangkat tertinggi dalam kemiliteran, dsb.
Beri Komentar
Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!