Bennet dan Segerberg membagi 3 poin utama dari Connective Action, Pertama Pertisipasi bisa dilakukan seseorang tanpa perlu menjadi anggota kelompok tertentu, jika diukur secara ekonomi kepuasan seseorang dapat mengekspresikan diri dalam arus jejaring sosial jadi suatu intensif sendiri terbagi mereka.
Sedangkan jika dikaitkan dengan politik akan menjadi sebuah simpul ketika kesamaan preferensi personal dalam dunia maya, dengan begitu aktivisme politik bersifat fleksibel, cair dan tidak mengikat karena dilakukan secara personal namun terkoneksi antara satu ke yang lainnya oleh keperdulian bersama dalam suatu isu yang sama.
Beberapa contoh yang dapat kita temui seperti kampanye untuk pengurangan sampah plastik di media sosial, kemudian wacana penetapan RUU Cipta Kerja sehingga muncul beberapa penolakan dibeberpa daerah secara serempak untuk melakukan penolak.
Gerakan-gerakan tersebut umumnya disatukan dalam isu atau figur tertentu yang terjaring dalam satu kegelisahan dan keberpihakan yang tersebar dari media sosial. Menyebarnya informasi dari salah satu isu membuat partisipasi dimedia sosial semakin cepat hingga viral dari akun sat uke akun lainnya tanpa menggunakan koordinasi terpusat.
Kedua partisipasi dalam suatu isu di media digital lebih mirip dengan ekspresi personal individu dibanding aksi kelompok, partisipasi yang seperti ini sering beredar dengan menggunakan tagar(hashtag) sebagai kerangka menyatukan isu untuk penanda, meski pemaknaan tiap orang pun berbeda-beda.
Melalui kerangka ini kita dapat tersambung atau terkoneksi, meskipun pandangan, narasi dan makna  yang detujukan bisa secara personal sesuai dengan harapan, aspirasi, keyakinan, keluhan dan permasalahan hidup masing-masing. Seperti contoh tagar sering trending ialah gerakan #kamibersamaKPK #saveKPK yang sering viral tiap kali KPK di kriminalisasi.
Setiap orang dengan narasi tersebut dengan bingkai yang inklusi memungkinkan orang untuk menciptakan aksi-aksi yang berbeda dalam bentuk yang lain seperti video, meme, tweet, dan lain sebagainya.
Ketiga komunikasi dengan jejaring ini berubah menjadi alat pengordinir massa dalam ruang digital menggantikan peran pimpinan dan keanggotaan. Ruang digital kini juga berubah sebagai media yang menyediakan struktur (bentuknya algoritma)untuk membentuk persepsi dan mengkoordinasikan aksi, sehingga bisa dikatakan bahwa media tidak lagi sebagai kanal.
Pengordiniran tersebut menimbulkan pertarungan wacana, penyebaran propaganda, pembuatan petisi, rekruitmen, penggalangn dana, rapat hingga debat kusir yang dilakukan via media sosial.
Era serba digital saat ini proses pengorganisiran dengan pola organisasi aksi kolektif tradisional  juga tidak banyak juga yang meninggalkan, karena beberapa individu seperti belum terbiasa dengan perubahan saat ini,  akan tetapi di media sosial semakin mudah menarik perhatian masyarakat, tidak serta merta juga pola partisipasi individual berdasarkan koneksivitas media sosial atau Connective Action lebih bisa dikendalikan dengan mudah, munculnya berbagai propaganda, penyebaran hoax dan saling debat kusir dalam komentar tak dapat di elakkan.
Maka Sebagai generasi yang hidup di era sekarang perlu menjadi pribadi yang lebih cerdas dalam bermedia sosial, cerdas dalam memilih konten, cerdas dalam memanfaatkan media sosial, dan cerdas dalam menyebarkan informasi yang didapat didalamnya