Mohon tunggu...
RYAN FEBIANTO
RYAN FEBIANTO Mohon Tunggu... Mahasiswa - UNIVERSITAS MUHAMADIYAH JAKARTA

Saya mahasiswa Universitas Muhamadiyah Jakarta Prodi Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Menggali Rahasia Komunikasi antara Orangtua dan Anak

16 Januari 2024   22:44 Diperbarui: 16 Januari 2024   22:50 116
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Ryan Febianto (23010400175)

Mata Kuliah : Pengantar Ilmu Komunikasi

Dosen Pengampu : Dr. Nani Nurani Muksin, M.Si.

Prodi Ilmu Komunikasi, FISIP dan UMJ.

Latar Belakang

Banyak pengalaman menarik yang dapat dihadapi setiap saat dalam kehidupan keluarga, seperti kebersamaan, dukungan timbal balik, dan saling menghormati di antara anggota keluarga. Orang tua secara bersama-sama berusaha mencapai tujuan keluarga, seperti membesarkan anak-anak agar bahagia, mudah beradaptasi, dan berprilaku baik. Saat membesarkan anak-anak, kewajiban tersebut tidak hanya menjadi tanggung jawab seorang ibu, melainkan juga merupakan prioritas bagi seorang ayah sebagai mitra sejati.

Orang tua, baik ayah maupun ibu, diharapkan bekerja sebagai satu tim untuk membentuk keluarga yang sehat secara emosional. Dalam keluarga ini, setiap anggota saling mencintai, bertanggung jawab, dan bersama-sama meraih kebahagiaan melalui pengalaman dan kasih sayang. Hal ini sejalan dengan penelitian Ornish yang menyatakan bahwa orang yang merasa dicintai, diberi perhatian, dan memiliki dukungan serta kedekatan, cenderung menjadi lebih bahagia dan sehat. Untuk mencapai kebahagiaan tersebut, harmonisasi komunikasi antara anggota keluarga, termasuk ayah, ibu, dan anak, sangat penting. Meskipun pasangan suami-istri mungkin saling peduli, namun tidak selalu otomatis mereka mendukung satu sama lain dalam berkomunikasi dengan anggota keluarga mereka.

Salah satu tantangan yang dihadapi oleh orang tua masa kini dalam berkomunikasi dengan anak, terutama anak remaja, adalah bagaimana menciptakan sikap patuh agar mereka mengikuti nasihat orang tua demi mengembangkan potensi mereka secara optimal. Mencapai hal ini menjadi suatu hal yang sulit dijumpai pada anak-anak di era sekarang. Kendala ini mungkin muncul karena adanya perbedaan pandangan antara orang tua dan anak, yang seringkali menyebabkan konflik; beban pelajaran yang berat mengakibatkan keterbatasan waktu bermain bagi anak; kesibukan orang tua dalam pekerjaan sehingga menyisakan sedikit waktu untuk bertemu dengan anak; dan kurangnya kesempatan bagi anak untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya ketika menghadapi suatu masalah. Bahkan, terkadang sebagai orang tua, kita bisa mengabaikan perasaan anak dalam berkomunikasi. Padahal, sebagai manusia, penting untuk menghormati anak-anak, sebagaimana kita menginginkan penghormatan dan memberikannya kepada orang lain.

Sebagai ilustrasi, bagaimana keluarga memberikan dukungan untuk mencapai kesuksesan dalam pembelajaran dapat dilihat pada Ananda Sukarlan, seorang pianis muda Indonesia yang telah mencapai keberhasilan di tingkat internasional. Dia memiliki kepribadian yang sukses dalam memahami identitasnya dan menemukan perannya dalam kehidupan dengan jelas dan mantap. Ananda Sukarlan menyatakan bahwa menulis karya adalah suatu tanggung jawab moral baginya, dengan tekad untuk memajukan musik sastra Indonesia yang tertinggal. Keberhasilannya merupakan hasil dari perjuangan, kerja keras, dan disiplin yang ditanamkan oleh keluarga, guru, dan dosennya.(Ratnasari, 2007:345)

Pembahasan

 Kreadillibitas Orang Tua

Kredibilitas orang tua sangat mempengaruhi perilaku anak-anak, terutama dalam konteks komunikasi dan penerapan aturan keluarga. Tingkat kredibilitas tergantung pada sejauh mana orang tua mematuhi nilai-nilai seperti kerja keras, disiplin, jujur, dan tanggung jawab dalam berkomunikasi. Konsistensi dan komitmen orang tua dalam menerapkan nilai-nilai ini menjadi kunci keberhasilan. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan orang tua dalam membimbing anak juga terkait erat dengan kredibilitas mereka. Kredibilitas, menurut Suhendi & Wahyu, mencakup kemampuan bersikap konsisten, tegas, dan bekerja sama, yang menjadi contoh bagi anak dalam membentuk kehidupan mereka. Komunikasi persuasif, yang berfokus pada perubahan sikap dan perilaku, juga dipandang sebagai upaya orang tua untuk memengaruhi anak. Dalam hal ini, sikap, kepercayaan, dan perilaku orang tua menjadi faktor utama. Anak-anak cenderung meniru perilaku baik atau buruk orang tua mereka, tergantung pada contoh yang diberikan. Jagaan kesehatan dan perilaku positif orang tua dapat membentuk kebiasaan baik pada anak-anak, sementara perilaku negatif juga dapat ditiru. Dalam menghadapi perilaku buruk, pendekatan yang lemah lembut dan dukungan saling mendukung antar anggota keluarga dianggap sebagai upaya yang efektif. Interaksi orang tua dianggap sebagai contoh bagi hubungan orang tua-anak, dan cara orang tua berinteraksi akan diingat anak saat menghadapi kesulitan. Pujian dan reputasi baik menjadi cara untuk memotivasi dan memberikan apresiasi kepada anak-anak agar mereka mengadopsi perilaku. (Ratnasari, 2007:346)

Pesan Verbal Dan Non Verbal

Pesan lisan dapat diidentifikasi melalui penggunaan "pesan aku" (I-Message), seperti "beginilah perasaanku" atau "ini adalah pendapatku". Selain itu, penyampaian pesan dapat melibatkan solusi yang menguntungkan semua pihak (win-win solution) dan menggunakan humor. Dalam menggunakan "pesan aku," disarankan bagi orang tua untuk terbuka mengenai dampak perilaku tertentu terhadap diri mereka. Contohnya, jika anak mengotori meja makan, seorang ibu dapat menyampaikan kekecewaannya dengan mengatakan bahwa dia harus membersihkan meja lagi setelah membersihkannya pagi tadi.

Pujian langsung diberikan ketika anak melaksanakan tugas yang diberikan oleh orang tua, menciptakan suasana yang menyenangkan dan memberikan apresiasi terhadap usaha anak. Pendapat Purnawan menunjukkan bahwa memberikan pujian dan reputasi positif membuat seseorang merasa dihargai dan cenderung melakukan tindakan yang mendapatkan pujian tersebut. Komunikasi seperti mengatakan, "Ibu tahu kamu memang anak yang baik," bisa menggerakkan hati nurani anak dan menciptakan hubungan yang positif antara orang tua dan anak.

Pentingnya empati dalam komunikasi diakui oleh Backrack, di mana empati diartikan sebagai kemampuan seseorang untuk memahami pengalaman orang lain dari perspektif mereka. Hal ini melibatkan merasakan dan menahan diri untuk tidak menilai atau mengkritik. Komunikasi efektif juga terjadi ketika suasana setara, di mana setiap pihak diakui memiliki nilai dan kontribusi yang berharga. Masing-masing pihak dihargai, menciptakan hubungan yang seimbang dan berkontribusi positif.

Jika orang tua menggunakan kata-kata negatif atau ancaman saat berkomunikasi dengan anak, dampaknya bisa signifikan. Contohnya, ketika anak mendapat nilai rendah, ucapan seperti "kamu bodoh" atau "anak nakal" dapat memengaruhi keyakinan diri anak. Menurut Gordon, psikolog klinis, kata-kata penolakan semacam itu membuat anak percaya pada label yang diberikan orang tua, dan cenderung bertindak sesuai dengan label tersebut. Selain itu, bahasa penolakan membuat anak menjadi tertutup dan enggan berbagi cerita, karena takut akan celaan dan kritikan.

Pentingnya keterbukaan anak terhadap orang tua diakui sebagai syarat interaksi harmonis dalam keluarga. Menurut DeVito, mengungkapkan perasaan secara terbuka mendorong dialog yang jujur dan positif di dalam keluarga. Hopson & Hopson juga menekankan bahwa orang tua sebaiknya menghindari membuka diskusi dengan pernyataan negatif, karena hal itu dapat membuat anak merasa tersudut dan memperuncing konfrontasi.

Sebagai alternatif, orang tua lebih efektif menggunakan pendekatan "Saya" dalam berkomunikasi, seperti mengungkapkan kekecewaan dengan pernyataan seperti "Saya kecewa karena kamu tidak memberi tahu bahwa kamu akan pulang terlambat." Dengan cara ini, orang tua mengakui perasaan mereka sendiri dan sekaligus menghargai perasaan anak.

Namun, jika orang tua memilih menggunakan kata-kata yang mengandung ancaman, perlu berhati-hati. Konsep fear arousing, yaitu usaha memengaruhi dengan menakut-nakuti, harus disampaikan dengan jelas mengenai konsekuensi yang akan terjadi. Ancaman sebaiknya realistis dan adil, dan orang tua harus siap menjalankannya agar efektif. Hindari memberikan ancaman yang tidak jelas atau dengan konsekuensi yang tidak pasti.

Mendengarkan Secara Aktif

Kemampuan mendengar merupakan aspek fundamental dari keterampilan dasar manusia. Hasil penelitian Rankin & Barker menunjukkan bahwa sebagian besar waktu manusia dihabiskan untuk mendengarkan (53%), sementara sisanya digunakan untuk membaca (17%), berbicara (16%), dan menulis (14%). Meskipun orang tua sering mendengarkan anak, tidak selalu membuat mereka menjadi pendengar yang efektif. Beberapa keluhan sering muncul, seperti kesulitan memahami pesan anak karena kekurangan kemampuan mendengar.

Menjadi pendengar aktif adalah keterampilan yang dapat dipelajari untuk mencapai tujuan komunikasi, yaitu agar pendengar dapat mendengar atau melihat apa yang disampaikan oleh pembicara. Unsur-unsur mendengarkan melibatkan proses mendengar, memperhatikan, memahami, dan mengingat. Mendengar diartikan sebagai proses fisiologis otomatis penerimaan rangsangan pendengaran, namun gangguan fisik pada alat pendengaran dapat menyulitkan proses ini.

Brook menyatakan bahwa frekuensi bicara manusia berkisar antara 125 hingga 8000 putaran per detik, yang merupakan wilayah kritis kemampuan pendengaran. Telinga manusia mampu mengatasi suara antara 55 hingga 85 desibel, dan kecepatan kata-kata pembicara dapat memengaruhi kemudahan pendengar dalam menangkap makna pesan. Perhatian selektif, di mana orang cenderung memusatkan perhatian pada satu suara daripada memecah perhatian ke suara lainnya, juga memainkan peran penting dalam mendengarkan.

Memahami merupakan proses pemberian makna pada kata yang didengar sesuai dengan makna yang dimaksud pengirim pesan. Ini melibatkan hubungan pesan dengan pengalaman di masa lalu. Dalam konteks ini, penting bagi pendengar untuk memahami dan memberikan makna pada pesan yang diterimanya.

PENUTUP

Seperti yang dijelaskan sebelumnya, dapat disimpulkan hal berikut:

  • Orang tua perlu memiliki komitmen yang tinggi dan konsisten dalam menerapkan nilai-nilai keluarga untuk membimbing anak mereka. Hal ini dapat dicapai dengan terus meningkatkan kredibilitas mereka melalui peningkatan pengetahuan dan keterampilan dalam membimbing anak.
  • Penggunaan pesan verbal melibatkan penyampaian "pesan aku" (I-Message), penerapan solusi win-win, dan pesan dengan elemen humor. Orang tua juga disarankan untuk melatih kemampuan komunikasi nonverbal mereka, termasuk memberikan sentuhan penuh kasih sayang kepada anak, karena kasih sayang ini dapat menjadi kekuatan dalam penyesuaian diri bagi orang tua dan anak. 
  • Mendengarkan secara aktif oleh orang tua melibatkan mengulangi pemikiran anak dengan kata-kata mereka sendiri, menunjukkan pemahaman terhadap perasaan anak dengan memberinya kesempatan untuk melihat perasaannya secara lebih objektif, dan mengajukan pertanyaan untuk memastikan pemahaman orang tua terhadap pikiran dan perasaan anak serta mendapatkan informasi tambahan.

DAFTAR PUSTAKA

Ratnasari, A. (2007). Komunikasi Harmonis Orang Tua dengan Anak. Mediator: Jurnal Komunikasi, 8(2), 345--352. https://doi.org/10.29313/mediator.v8i2.1247

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun