Sisa babak pertama pun kental dengan nuansa pesimisme. Di salah satu adegan, seorang rekan kerja Sancaka mengajaknya pindah ke daerah lain karena menurutnya tak ada lagi yang bisa diharapkan di Jakarta.Â
Mendekati akhir babak kedua, Sedhah Esti Wulan (Tara Basro) mengingatkan Sancaka bahwa harapan sekecil apa pun tetap dibutuhkan untuk tetap bertahan. Percikan harapan inilah yang berusaha dipadamkan oleh sang antagonis untuk melanggengkan agendanya.Â
Dari sisi tematik, keseluruhan cerita akan terasa lebih bermakna jika ditutup dengan momen kemenangan dan optimisme termasuk misalnya menampilkan pedagang pasar yang mampu bangkit dan memulai kembali usahanya. Yang ditampilkan oleh sang sutradara di adegan tengah kredit sebenarnya cukup representatif.Â
Namun, jika film diibaratkan sebuah buku, apa yang disuguhkan setelah kredit ditampilkan tak ubahnya hanya sekadar apendiks.Â
Ada baiknya jika adegan penutup film ini sebenarnya mengurangi makna kepahlawanan Sancaka karena turut berperan membangkitkan kejahatan bertukar posisi dengan adegan tengah kredit.
Sebagai pembanding, akhir 'The Avengers' (2012) yang keseluruhan ceritanya berkutat seputar kolektivitas mampu menjawab pertanyaan: "Dapatkah mereka mengatasi perbedaan untuk kemudian bekerja sama menghadapi serangan dari luar bumi?"Â
Di frame terakhir, tak ada lagi huruf timbul S, T, R, dan K di Stark Tower, yang tersisa hanya huruf A. Tony Stark yang terkenal dengan ego besarnya pun resmi beralih menjadi pemain tim.Â
Pada tengah kredit, barulah Joss Whedon memperkenalkan ancaman lebih besar yang akan dihadapi tim pahlawan super tersebut ke depannya.
Sancaka dan Chaidar Subandi (Bront Palarae) ibarat dua sisi mata koin. Sepanjang babak pertama, kita diajak menyelisik bagaimana masa lalu mereka yang traumatis dan memilukan kemudian berpengaruh besar terhadap cara pandang masing-masing saat beranjak dewasa.Â
Sancaka kecil (Muzakki Ramdhan) harus kehilangan ayahnya (Rio Dewanto) yang tewas saat memimpin pergerakan. Sancaka tahu ayahnya dijebak, tetapi terlambat saat mengejar rombongan demonstran. Ibunya (Marissa Anita) pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dan tak pernah kembali lagi. Sancaka yang cerdas pun harus menghadapi kenyataan pahit.Â