Banyak kajian dan ulasan tentang korupsi beredar di tengah masyarakat. Kajian-kajian tentang perilaku korupsi, wacana pemberantasan korupsi, bahkan kiat-kiat menghindari perbuatan korupsi ditambahkan dalam pendidikan anti korupsi di sekolah-sekolah dan perguruan tinggi. Â
Namun hingga kini karya-karya korupsi tetap saja menjadi topik hangat dalam narasi pembangunan. Korupsi dan pembangunan adalah dikotomi dalam pikiran yang adab namun merupakan dua sisi mata uang dalam esensi yang sukar dijelaskan lewat kaidah-kaidah keadaban manusia.
Satu pertanyaan dasar yang belum bisa terjawab dengan baik adalah alasan mengapa orang melakukan korupsi?
Bahkan kajian-kajian dan sosialisasi itu pun tak lantas membuat orang menghindarkan diri dari perbuatan korupsi. Jawaban yang biasa dipakai untuk menangkal pertanyaan ini adalah karena serakah. Di mana letak persoalannya adalah pada aspek nilai dan moralitas.
Tapi apakah benar orang melakukan korupsi karena keserakahan sebagai manusia. Jawaban serakah dengan konsekuensi moralitas akan patah oleh dua hal.  Pertama, kejahatan korupsi hanya bisa dilakukan oleh mereka yang memiliki  pendidikan yang tinggi dan kekuasaan.
Meskipun pada fenomena akhir-akhir ini kita mendapati kasus korupsi datang dari berbagai level struktur kekuasaan, Penggelapan dana desa oleh aparat desa, korupsi disekolah oleh guru, sampai menteri yang harusnya bisa bertindak bijak. Pendidikan yang tinggi itu harusnya membuat mereka lebih mudah untuk hidup sebagai manusia yang bijaksana.
Kedua, Koruptor bukanlah pelaku kejahatan biasa seperti pencuri, pencopet atau jambret yang notabene dilakukan karena kemiskinan dan kelaparan. Malahan kegiatan korupsilah yang menyebabkan kemiskinan dan kelaparan tidak kunjung berhenti sebagai persoalan dasar bangsa ini.
Karena itu, saya mencoba mengajukan jawaban dari alasan kenapa orang melakukan korupsi. Analogi paling sederhana dari korupsi adalah ide tentang jaringan lapar.
Lapar merupakan aksioma manusia  selain esensi otak untuk berpikir dan  hati untuk merasakan. Aksioma lapar inilah yang membuat manusia pada akhirnya memerlukan interaksi dengan sesama. Dari interkasi dengan sesama, terciptalah jaringan ekonomi dengan tujuan mengatasi lapar bersama-sama. Entah komunitas, maupun negara dibangun di atas keinginan untuk mengatasi lapar secara bersama-sama.
Setiap hari orang pasti merasakan lapar. Keadaaan lapar itu menuntut orang menggunakan pikiran dan tubuhnya untuk mencari sesuatu yang dapat mengatasi lapar. Seorang pria menjadi pencopet karena belum makan sejak pagi, misalnya.