Perkembangan komunikasi politik dimulai dari penelitian komunikasi massa. Penelitian propaganda dalam ranah massa oleh Harroll Laswell adalah awal mula perkembangan komunikasi politik.
Pemahaman paling sederhana tentang komunikasi politik adalah proses penyampaian dan penerimaan pesan politik. Komunikasi politik sendiri merupakan normative action yang bergerak dalam komponen komunikasi massa yang didefinisikan oleh Harrol Laswell yakni : siapa mengatakan apa, pada siapa, melalui apa dengan efek apa. Dalam situasi inilah komunikasi politik menjadi bingkai yang berkembang bersama wacana publik masa ke masa.
Mengejar eksistensi lewat komunikasi politik
Ada dua hal yang dituju dalam komunikasi politik yakni mengejar esensi dan eksistensi. Esensialisme dalam komunikasi politik adalah bagaimana pesan-pesan penting dapat mengambil tempat dalam wacana publik. Sedangkan eksistensialis menekankan popularitas dari orang yang menyampaikan pesan.
Penggabungan antara dua paradigma ini akan melahirkan tokoh-tokoh komunikasi politik yang tidak lekang oleh  zaman. Sedangkan esensialis yang tidak mampu  eksis akan tenggelam. Eksistensialis tanpa esensi akan berakibat buruk bagi pembangunan. Inilah bagaimana komunikasi politik dikemas sedemikian rupa dalam periodenya.  Propaganda sampai dengan persuasi adalah bentuk komunikasi politik yang bagus dan efektif tergantung pemakaiannya dalam komunikasi massa.
Komunikasi politik hanya dapat berkembang pada negara demokrasi. Melalui ide tentang kebebasan pers, kebebasan berpendapat dan keterbukaan informasi publik yang  kini tersambut baik dalam era media sosial.
Namun demikian  pertanyaan paling menarik adalah apakah Indonesia cocok dengan ide  demokrasi? Karena demokrasi menuntut keberadaan masyarakat madani untuk selalu menjadi lawan dari kapitalisme. Sedangkan negara berkembang masih cukup timpang dalam pendidikan, ekonomi maupun sosial kemasyarakatan.
Salah satu cara melihat keadaan ini adalah dengan memakai ide Antonio Gramsci, tentang Hegemoni. Kedangkalan dalam konsep demokrasi disebabkan oleh kapitalisme yang dengan mudah menguasai ruang publik dan wacana publik. Sedangkan masyarakat madani yang mestinya ada dalam demokrasi  pasif karena kebutuhan ekonomi dan keamanan.
Sehingga yang tersisa dari keadaan ini hanyalah pragmatisme komunikasi dimana komunikasi politik semata demi kebutuhan politis saja. Keadaan ini sangat biasa terjadi di dalam negara dunia ketiga atau negara berkembang yang seringkali menjadi target pasar dan tidak cukup kuat untuk menghalau kepentingan asing.
Setelah kapitalisme menguasai media konvensional, mereka juga berusaha masuk dalam newmedia untuk menguasai ruang itu. Â Esensialisme tidak lagi menjadi variabel penting karena eksistensialisme bekerja dengan baik dalam politik citra.Â