Mohon tunggu...
Rian Diaz
Rian Diaz Mohon Tunggu... Mahasiswa - Menulis banyak, membaca juga banyak

Pegiat teater dan menulis fiksi, pelajar etnografi dan pemerhati masalah-masalah bangsa

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Teringat Masyarakat Desa Watanhura di Solor Gara-gara "Grebeg Sudiro" di Solo

21 Januari 2023   19:00 Diperbarui: 21 Januari 2023   19:01 336
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ornamen Imlek di Kota Surakarta. Dokpri

Tahun pertama saya tinggal di Solo, diwarnai dengan warna-warna lampion  khas Imlek di seputaran kawasan Balai kota Surakarta dan Pasar Gede. Ribuan Lampion dan pernak-pernik khas Imlek itu sangat indah, dipadu dengan jajanan dan ragam atraksi kebudayaan. Terus terang itu merupakan pemandangan baru dalam hidup saya.

Demi mencerna rasa penasaran, saya pun bertanya kepada sopir BST yang sedang saya tumpangi. “Ia Mas, di sini lagi ada perayaan tahunan, namanya  Festival Lampion dan Grebeg Sudiro.”

 “Grebeg Sudiro itu apa?” tanya saya makin penasaran.

“ Perayaan tahunan menyongsong Imlek Mas,” lanjutnya.

“Kok ada ya masyarakat Jawa melakukan itu?” Saya pun membatin.

...

Dalam pandangan saya,  Indonesia sedang tidak baik-baik saja dalam toleransi sejak hari-hari penistaan agama oleh Ahok. Belum lagi media yang suka dengan isu intoleransi dan konsep politik identitas yang masih saja menciptakan kecanggungan dalam hubungan bermasyarakat.

Makna politik identitas hanya di bawa masuk dalam ruang tunggu pemilihan kepala negara atau daerah, sementara hal-hal buruk, norma, nilai yang diyakini baik untuk kemaslahatan hidup malah ditanggalkan begitu saja di luar. Identitas kesukuan dan agama tidak dipakai untuk mengatasi segala kejahatan, maka korupsi, kolusi,  dan nepotisme tetap saja tumbuh bebas tanpa halangan.

Lihat saja bagaimana para aktor politik berdebat tentang politik agama, konsep agama dalam hubungan politik di kanal-kanal media akhir-akhir ini.

Intoleransi masih saja menjadi isu panas dan sensitif. Mulai dari penolakan bantuan dengan label gereja pada gempa Cianjur,  jebakan fanatisme dan keyakinan kelompok tertentu, yang diedarkan terus -menerus menjadi post truth di dalam  masyarakat, terutama masyarakat di daerah-daerah.

Gara-gara Grebeg Sudiro di Solo ini, saya pun teringat pernah menulis skripsi tentang kehidupan masyarakat muslim dan katolik di Solor. Saya meyakini hubungan antara Islam dan Kristen di daerah saya, berada dalam suasana yang kontra dari pemberitaan media kala itu.

Tulisan itu menjelaskan  keterhubungan yang indah antara masyarakat muslim dan kristen (katolik) dalam kebudayaan Lamaholot di sebuah desa bernama Watanhura di pulau Solor. Di mana masyarakatnya melepas seluruh atribut keagamannya, hidup berdampingan dalam tradisi  dan kekeluargaan.

Ide tentang agama kekeluargaan dalam tradisi juga akhirnya saya temukan di Jawa. Grebeg Sudiro merupakan kontra narasi dari berbagai  dialektika tentang  politik identitas yang dibicarakan aktor –aktor kanal media yang membawa pengaruh buruk bagi pikiran masyarakat terhadap kehidupan di Jawa.

Tak ubahnya konsep hubungan masyarakat dalam skripsi saya dulu, tema utama dalam perayaan Grebeg Sudiro adalah keberagaman dan kebhinekaan. Grebeg Sudiro adalah perayaan grebeg yang menggabungkan budaya Jawa dan budaya Tionghoa di Sudiroprajan-Surakarta.

Kata grebeg sendiri berarti perayaan untuk memperingati suatu peristiwa penting yang awalnya dilakukan untuk tradisi Islam seperti Maulid Nabi Muhammad, Muharram, Idul Fitri dan Idul Adha.  Grebeg Sudiro merupakan salah satu penggambaran akulturasi budaya Jawa dan Tionghoa di Kota Surakarta.

Tradisi ini kemudian berkembang menjadi acara kampung yang dilaksanakan menjelang Imlek yang acara utamanya adalah karnaval dan gulungan. Masyarakat Tionghoa, Jawa dan etnis lainnya turut serta dalam penyelenggaraan Grebeg Sudiro yang menjadi acara tahunan Kota Surakarta. Grebeg Sudiro 2023 mengangkat tema Merajut Harmoni dalam Kebhinnekaan, yang merupakan acara puncak dalam perayaan Imlek 2574.

Grebeg Sudiro di Solo dan tatanan kehidupan masyarakat muslim dan katolik yang langgeng dalam kehidupan sebagai masyarakat Lamaholot menawarkan   peluang-peluang interaksi antar masyarakat yang tidak memandang suku dan agama tertentu. Hubungan berdasarkan agama, memberikan keterbatasan yang besar dalam suatu jalinan.

Bagaimana pun juga kehidupan masyarakat Jawa adalah acuan bagi daerah lain karena merupakan mayoritas dan pusaran segala interaksi sosial. Sedangkan hubungan kekerabatan yang indah dalam masyarakat Lamaholot di Desa Watanhura merupakan ornamen kecil, yang dapat menjadi contoh  indah bagi hubungan antar warga negara.

Sekian.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun